Perempuan itu berlari di tengah hujan deras. Di laluinya jalan kawasan pabrik dan pergudangan di pinggiran kota besar. Di seberang rumah-rumah reot berebut berdiri di atas sungai dengan mata lampu samar-samar saling merangkul. Diam menggigil kedinginan.
Perempuan itu terus berlari. Menembus percikan air hujan. Menentang hembusan angin yang melesat kencang. Tidak ada siapapun yang di jumpainya di jalan. Semua nampak sepi dan lengang. Sesekali halilintar menyambar memecut keheningan.
Hujan deras malam itu membuat setiap orang akan mengurung dirinya di dalam rumah untuk mencari perlindungan. Bahkan saat itu hantu-hantu sekalipun tidak akan mau keluar mengganggu orang.
******
"Ayolah Aminah, jangan malu-malu. Suamimu yang supir truk itu juga sama kok. Suka nakal. Suka colak-colek wanita bila tugas perjalanan luar kota".
"Begini saja. Hitung-hitung membayar hutang-hutang keluargamu kepadaku, asal kau mau menuruti semua yang aku inginkan akan ku anggap hutang-hutang keluargamu lunas".
"Bagaimana Aminah, kamu setuju. Ingat, tujuh turunan kamu tidak akan sanggup bayar hutang-hutang keluargamu itu".
"Aku ingin sekali mencicipi bibir manismu itu. Aku membayangkan madu Sumbawa atau kurma Arabia yang legitnya tiada terkira".
Perempuan berambut lurus sebahu itu hanya diam menunduk. Ia sangat tahu sedang berhadapan dengan siapa. Lawan yang bukan tandingannya. Singa kampung yang berlaga lugu namun culas dan licik.Â
Segelas kopi di gelas plastik di sodorkan Aminah ke hadapan lelaki itu tanpa berani menatap wajah lawan bicaranya. Kali ini ia harus lebih waspada sebab ini bukan pertama kalinya lelaki berwajah kasar tersebut berlaku demikian.
Aminah mencium firasat tak sedap. Seperti bau amis bangkai isi perut ikan-ikan yang di buang di selokan pasar. Seperti bau lumpur sungai di tengah kota saat musim kering berkepanjangan. Seperti luka-luka di tubuh maling yang tertangkap basah mencuri di angkutan perkotaan.