Dor, dor, dor.
Setelah beberapa kali tembakan di tujukan ke arahku.
Tubuhku pun koyak terluka. Aku tembok tak berdosa.
Namun tanpa darah dan aku tetap berdiri kokoh.
Hanya sisa-sisa selongsong peluru berserakkan di kakiku tanpa kata-kata.
Tanpa penyesalan dan air mata.
Jam dinding yang menempel di tubuhku tepat menunjukan pukul lima.
Sore hari yang nyaris sempurna.
Ke dua mataku menyimpan bayang-bayang kejahatan.
Histeris dan tangisan.
Jantungku berdebar namun lebih kencang gelombang gusar ketakutanmu.
Sementara itu tubuhku yang terluka, riang bermain dengan skenario gila yang kau buat.
Tanpa alibi yang kuat. Karanganmu terlalu mudah di tebak.
Seperti cerita anak kecil yang baru belajar menulis dan membaca abjad.
Sesungguhnya, aku tak mengerti kenapa pula aku harus kau tembak.
Apakah ini semacam siasat. Persekongkolan jahat.
Maka aku menarik kesimpulan. Kamu terlalu terburu-buru. Terlalu gegabah memutuskan sesuatu.
Bukankah kau tahu bahwa kejahatan tak pernah ada yang sempurna.
Dan bangkai yang telah tergeletak aromanya terlalu busuk hingga menyebar curiga ke setiap hidung dan telinga.
Semisal bila aku menjadi dirimu. Aku lebih senang meledakkan ingatanku.
Dari pada harus mencium caci maki dan kenangan buruk sepanjang umur.
Begitulah kiranya cara terbaik menghapuskan jejak.
Dari pada hidup berkalang kabut. Nista dan gelap.
Kini tubuhku yang terluka atas bidikan kekecewaanmu.
Memilih membisu.
Dan tak mau lagi mengingat rasa sakit akibat terjangan peluru.
Handy Pranowo
13 Agustus 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI