Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjumpaan Terakhir

20 Juni 2022   03:35 Diperbarui: 20 Juni 2022   06:37 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari pixabay.com

Jalan batu halaman depan rumahmu tertutup oleh rumput. Ranting-ranting mawar tumbuh liar memanjat tembok pagar yang catnya terkelupas dan berkarat. Berderet tanaman-tanaman hias di dalam pot yang tersusun di rak besi dan juga sepanjang pinggiran tembok nampak kering dan sebagian lebat tak di gunting. 

Kolam ikan Koi keruh. Jembatan kecil di atas kolam di lilit tanaman anggur yang daun-daunnya di gerogoti ulat, buahnya pun nampak kering tak di petik. Guguran buah jambu kancing berwarna merah bertebaran di tanah. Kandang-kandang burung semuanya kosong yang tersisa hanyalah ranting-ranting kayu dan tempat makan minumnya yang kotor. Tidak ada lagi burung-burung kepunyaanmu yang harganya mahal-mahal itu. 

Seorang perempuan paruh baya yang setia bekerja di rumahmu bilang sebagian dari burung-burung tersebut di berikan kepada teman bisnismu yang hobinya sama dan sebagian lagi di lepaskan ke alam liar. Maksudnya di lepaskan di halaman depan rumahmu. Sekarang tidak ada lagi terdengar suara-suara merdu bersahutan dari burung-burung peliharaanmu itu. 

Di halaman rumahmu yang cukup besar ini hanya tersisa satu ayam hutan yang sudah tua, lelah dan bosan. Sama seperti hidupmu. Menjelang tua, lelah dan membosankan. Ayam hutan tersebut tak banyak bergerak hanya sesekali pandangan matanya ke arahku seperti hendak mengatakan sesuatu.

" Bapak tak mau keluar kamar Om, bapak tak mau di ganggu oleh siapapun dan dari kemarin katanya memilih mati saja".

" Hahaha, katakan kepada bapak matinya nanti saja dan katakan lagi kepadanya yang datang sekarang ini bukan malaikat maut, bukan penarik pajak juga bukan team sukses yang dulu gerogoti harta miliknya melainkan sahabatnya yang pernah di bantu keluar penjara olehnya". 

Kelihatan jelas halaman depan rumah sudah tidak lagi terawat. Meja dan kursi kayu tempat biasa kami duduk menghabiskan waktu bersama nampak kusam sendirian, kedinginan. Tapi tentu saja meja kursi kayu itu tak akan lapuk sebab dari bahan kayu jati terbaik yang di pernis dan di cat. 

Kamu sengaja pesan dari Jepara dengan ukiran tangan seorang lelaki tua yang dianggap punya ilmu batin hingga lelaki tersebut kamu angkat sebagai guru spiritualmu. Lelaki tua yang kesehariannya memakai sorban tersebut kamu jadikan sebagai penasehat saat kamu mencalonkan diri menjadi anggota wakil rakyat di pemilihan tahun lalu. 

Kamu memang gila, jabatan wakil rakyat kamu kejar-kejar padahal sebagai pengusaha batu bara mesti kecil-kecilan penghasilanmu cukup lumayan. Punya tiga mobil mewah satu rumah besar serta dua lantai kost-kostan dengan 20 pintu di dekat kampus ternama di salah satu bagian wilayah Jakarta. 

Belum lagi tanah warisan kedua orang tuamu di kampung yang berhektar-hektar. Menurutku untuk apa kamu repot-repot mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Tujuh turunan harta benda milikmu tak akan habis di makan apalagi anakmu cuma satu seorang. 

Berulang-ulang kali aku ingatkan, modal pernah ikut demo dan mulut berkoar di tahun 98 tidak cukup dan bukan jadi patokkan apalagi jurusan kuliahmu bukan ilmu sosial politik melainkan ilmu teknik mesin, itu juga kamu tidak lulus. Sebagai anak orang kaya hidupmu memang cukup senang, kamu tidak pernah kesusahan. 

Pekerjaan yang kamu dapatkan sekarang ini pun tidak lain tidak bukan lantaran ayahmu yang banyak kenal dengan para pengusaha besar di negeri ini. Ayahmu dulu mantan pegawai minyak di perusahaan negara dan punya jabatan strategis.

" Kalau saya jadi wakil rakyat kamu tahu kan segalanya akan mudah, bisnis-bisnis akan lancar, aturan-aturan bisa jadi cingcai. Urusan negara, urusan rakyat itu sih gampang".

" Macam mereka benar saja kelakuannya selama ini".

" Siapa yang kamu maksud mereka?"

" Ya pejabat-pejabat itu".

" Terus, kamu juga mau seperti mereka, sama kelakuaanya dengan mereka yang suka menyelewengkan amanat rakyat".

" Kalau ada kesempatan kenapa tidak".

Dua buah patung batu berupa malaikat kecil bersayap menunduk lesu di pinggir kolam. Matanya tak berkedip, mereka telanjang tak punya malu. Seluruh badannya kotor berdebu. Mereka diam saja bahkan cenderung tak perduli dengan keadaanmu saat ini padahal dulu seminggu sekali tepat di malam Jumat kamu selalu memandikan mereka dengan rendaman air bunga lalu kamu keringkan badan mereka dengan kain batik. 

Patung-patung batu tersebut buatan penasehat spritualmu dan katanya bisa terbang bila malam terang bulan. Dasar tak masuk di akal. Dan seandainnya benar patung-patung tersebut dapat terbang maka saat ini tentu saja mereka akan minggat ke halaman rumah orang lain. 

Seperti istrimu yang minggat ke pelukan teman bisnismu sendiri lantaran terlalu diberi kebebasan kepadanya dan juga kamu terlalu sibuk dengan angan-anganmu menjadi wakil rakyat. Entah ratusan juta mungkin juga milyaran rupiah kamu habiskan demi terpilih dan menduduki kursi di sana. 

Bagaimana bisa kamu memikirkan rakyat kalau saja untuk mencapai jabatan tersebut harta bendamu terkuras banyak. Memangnya untuk bisa berguna bagi rakyat harus jadi wakil rakyat. Apalagi kalau niat untuk menduduki jabatan tersebut demi kepentingan bisnis pribadi. 

Untung saja anak perempuanmu masih mau mengurusimu, masih mau mengurus harta bendamu yang tersisa, masih mau menjenguk dirimu meski seminggu sekali. Dan kini di garasi hanya satu tersisa mobil buatan Jepang itu pun katanya akan di jual. Nasibmu sungguh sial kawan.

" Kata bapak, lain kali saja datang ia benar-benar tak mau di ganggu hari ini".

"Baiklah kalau begitu besok saya akan kembali datang dan katakan kepadanya, urusan mati hanya Tuhan yang memutuskan dan saya  kesini tidak untuk menagih hutang. Saya juga bukan seorang dari team kampanye pemilihan. Saya sahabatnya yang pernah menyelamatkan hidupnya saat demonstrasi 98 di Jakarta.

Perempuan paruh baya itu kembali masuk ke dalam rumah. Lampu-lampu di halaman depan menyala, lampu teras serta dua buah lampu di garasi mobilnya. Sebentar lagi langit menutup mata. Meski dengan hati yang berat kulangkahkan kaki ini menuju pintu gerbang rumahnya yang megah. Namun belum saja meninggalkan halaman rumahnya aku mendengar seseorang memanggilku dengan terbata-bata. Tidak begitu kencang pula suaranya.

Aku menoleh kebelakang dan aku di kejutkan oleh penampakan seorang lelaki yang layu berdiri dengan wajah yang tak lagi simetris namun masih tegas kukenali. Ia berusaha berjalan dengan susah payah di teras rumahnya. Dari kejauhan matanya nampak berkaca-kaca dan ia berusaha kembali menggerakkan mulutnya. Namun kali ini tidak terdengar suara yang keluar. 

Malam akhirnya datang penuh suka cita. Bulan purnama menyembul dari arah timur. Bulat dan megah dengan awan tipis di sekitarnya. Cahayanya berkilau keemasan jatuh di halaman rumahmu. Ku lihat dua malaikat kecil di pinggir kolam yang tadi terlihat lesu nampak berputar-putar mengelilingi tubuhmu tak lama kemudian mengangkatmu terbang.

Handy Pranowo

20-Juni-2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun