Belum lagi tanah warisan kedua orang tuamu di kampung yang berhektar-hektar. Menurutku untuk apa kamu repot-repot mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Tujuh turunan harta benda milikmu tak akan habis di makan apalagi anakmu cuma satu seorang.Â
Berulang-ulang kali aku ingatkan, modal pernah ikut demo dan mulut berkoar di tahun 98 tidak cukup dan bukan jadi patokkan apalagi jurusan kuliahmu bukan ilmu sosial politik melainkan ilmu teknik mesin, itu juga kamu tidak lulus. Sebagai anak orang kaya hidupmu memang cukup senang, kamu tidak pernah kesusahan.Â
Pekerjaan yang kamu dapatkan sekarang ini pun tidak lain tidak bukan lantaran ayahmu yang banyak kenal dengan para pengusaha besar di negeri ini. Ayahmu dulu mantan pegawai minyak di perusahaan negara dan punya jabatan strategis.
" Kalau saya jadi wakil rakyat kamu tahu kan segalanya akan mudah, bisnis-bisnis akan lancar, aturan-aturan bisa jadi cingcai. Urusan negara, urusan rakyat itu sih gampang".
" Macam mereka benar saja kelakuannya selama ini".
" Siapa yang kamu maksud mereka?"
" Ya pejabat-pejabat itu".
" Terus, kamu juga mau seperti mereka, sama kelakuaanya dengan mereka yang suka menyelewengkan amanat rakyat".
" Kalau ada kesempatan kenapa tidak".
Dua buah patung batu berupa malaikat kecil bersayap menunduk lesu di pinggir kolam. Matanya tak berkedip, mereka telanjang tak punya malu. Seluruh badannya kotor berdebu. Mereka diam saja bahkan cenderung tak perduli dengan keadaanmu saat ini padahal dulu seminggu sekali tepat di malam Jumat kamu selalu memandikan mereka dengan rendaman air bunga lalu kamu keringkan badan mereka dengan kain batik.Â
Patung-patung batu tersebut buatan penasehat spritualmu dan katanya bisa terbang bila malam terang bulan. Dasar tak masuk di akal. Dan seandainnya benar patung-patung tersebut dapat terbang maka saat ini tentu saja mereka akan minggat ke halaman rumah orang lain.Â