Kita pernah berjumpa di sini, di jalan inspeksi kanal selagi senja berpamitan pulang dan jejeran lampu mekar berkilau.
Segenap pedagang kopi, penjaja makanan serta penyanyi dangdut keliling dengan speakernya yang bising semarak memeriahkan suasana seakan semua saling berjamahan.
Air kali mengalir nampak tenang di permukaan sinar lampu genit bergoyang-goyang dan kelelawar-kelelawar melintas di antara kanal.
Di dalam keremangan antara bayangan pohon dan rembulan dirimu yang baru saja aku kenal ku buat pasrah sambil duduk di selembar tikar kita berpeluk mesra.
Kataku kamu cantik, alismu menyatu bagai sodetan kali yang lurus menawan, tubuhmu nampak bercahaya dari gelora asmara yang datang tiba-tiba.
Bibirmu bening bagai tepian kali dengan air yang jernih seakan mengajak aku untuk menyelami hingga basah dan menggigil.
Dan aroma tubuhmu tercium bagai rerumputan yang baru saja di sabit, hijau menyegarkan.
Maka ku dekap engkau dalam keremangan dan katamu ini sebuah pengalaman lalu janji-janji bertebaran di bawa angin jatuh ke kanal.
Mengalirlah, mengalirlah ke lautan yang dalam.
Kita masih muda, darah kita tengah mengalir ke arah-arah yang tidak terduga toh inilah masa remaja.
Dunia yang di tempuh penuh harapan, suka cita dan cinta.
Adapun bila di tafsirkan tak ada yang bisa mengerti dan jalannya waktu tak ada yang dapat menduga.
Dan di dalam ketidaktahuan itu kita masih terus berbincang, berpelukkan di tepi kanal yang nyaman.
Lalu saat engkau membetulkan ikatan rambutmu diam-diam bulan naik ke ranting pohon sambil tersenyum girang.
Tak terasa malam semakin meninggi, angin dingin mendesir mengusir pulang sebelum berpamitan engkau bisikan kalimat ke telingaku, apakah dosa kalau kita berciuman?.
Handy Pranowo
07032022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H