Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sambat

30 November 2021   16:42 Diperbarui: 30 November 2021   16:53 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. Sambat/pixabay.com

Memasuki pintu kuburan aku baca mantra yang telah lelaki itu ajarkan .

"Dut surudut bocah tengik baris di depan".

" Dut ular kadut numpang-numpang mau jalan".

Kuburan sepi dan lengang tak terdengar sebuah percakapan.

Selain suara angin beradu kencang dengan teriakan anjing di seberang jalan.

Pohon-pohon besar bentuknya bagai arwah gentayangan, hitam dan kekar.

Kulit bulan mengelupas cahayanya jatuh berterbangan menyebar ke segala arah.

Menerangi batu-batu nisan yang gompal, di kejauhan sepasang mata muncul dari semak-semak liar.

Dengan lantang aku panggil.

" Hai itukah mata kucing atau mata ular, tunjukan aku ke makam yang sering di sembah dan di minta bantuan".

Aku perantau yang lupa jalan pulang, hidup tersesat dan sering di tipu orang.

Datang dari jauh sekedar mencari keberuntungan seperti orang-orang kebanyakan yang kenyang makan.

Aku tidak bisa menipu juga tidak bisa korupsi uang, aku tidak tahu hukum selalu salah dan menjadi bulan-bulanan.

Hidup di paksa tunduk oleh kekuasaan yang hanya memikirkan raja dan bangsawan.

Aku tidak percaya lagi kepada Tuhan seperti mereka yang rakus tidak pernah percaya lagi pada kematian.

Awan bergerak menutupi cahaya bulan langkahku gemetar entah ke utara entah ke selatan.

Lampu di tanganku berpendar redup dan murung menurut sebuah peta makam itu ada di sudut arah timur.  

Di kepalaku terbayang anak istri di rumah, tagihan bulanan menumpuk serta segala pahit kutuk mulut penagih hutang sialan.

Asap kemenyan membumbung ke udara, suara anjing masih terdengar, suara jangkerik terinjak ketakutan.

Keringat menderas di tubuhku bagai air hujan dan di depan makam yang penuh kembang-kembang.

Langkahku berhenti lalu duduk bersimpuh dengan rokok kemenyan yang terus terbakar.

 

"Dut surudut kuda lari ke tanah lapang.

"Rejeki di cari semoga datang".

"Dut surudut bocah tengik mandi di sungai".

"Badannya kotor kakinya korengan".

"Mbah dermawan dan tersohor ijinkan hamba minta keberkahan."

Tak lama berselang angin datang berputar-putar.

Menggertak ranting-ranting pohon yang kering.

Daun-daun lepas berterbangan.

Malam seakan ingin menerkam.

Suara burung hantu bagai lonceng kematian.

Bau bangkai merebak terasa di mulut.

Tiba-tiba terdengar suara mengaum seperti suara harimau di tengah hutan.

Kuburan di depan terbelah dua, aku menelan ludah yang getir di lidah.

Cahaya bulan masih terkurung.

Langit menyerang dengan halilintar ketakutanku semakin berkobar.

Dan dari arah depan nampak sesuatu seperti orang tapi bertanduk membawa kepala manusia.

Dengan darah segar yang masih menetes ke tanah.

Ke dua kakiku tak kuasa berlari, merasa inilah ajal akan menjemput. 

Aku tak dapat menangis ataupun menjerit.

Seketika badanku rubuh ke tanah, seseorang entah malaikat atau hantu membangunkan aku. 

Aku lihat anak istriku menangis dengan pakaian yang tak pernah aku lihat sebelumnya.

Lalu seseorang yang ku kenal sebagai penagih hutang masuk ke dalam rumahku, wanita itu juga ikut-ikutan menangis.

Setelah itu tak ada cahaya, aku tak melihat apa-apa lagi di sana.

Dan aku bertanya di dalam hati, ini di kuburankah atau di istana para iblis.

Sebab aku rasakan denyut nadiku tak lagi bergetar.

Tubuhku kaku dan dingin.

 

Handy Pranowo

30112021 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun