Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melepas Dirimu

7 November 2021   14:31 Diperbarui: 7 November 2021   14:35 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. Melepas Dirimu/pixabay.com

Aku lelaki kasar tak berpendidikan penuh kecewa dan dendam namun keputusanku kali ini berdasarkan akal sehat dan juga perasaan. Perasaan seorang suami yang hatinya telah hancur berantakan. 

Perasaan seorang lelaki yang tidak punya harga diri, di khianati, di tikam dan terbuang. Serta perasaan teramat sayang kepada perempuan yang selama ini telah menemani hidupku. Berjuang dalam debur gelombang lautan terdalam.

Tadinya aku berniat untuk membunuhmu serta kekasihmu itu namun setelah ribuan kali aku berpikir ternyata aku masih sayang kepadamu maka ku urungkan niatku. Ku biarkan kamu berlari jauh meninggalkan aku, merelakanmu menempuh gelombang hidup yang lain. Semoga kamu bahagia sayang, aku mencintaimu.

Lima tahun hidup bersama denganku memang bukan perkara yang mudah butuh kesabaran serta perjuangan panjang untuk bisa menerima keadaanku yang sedemikian rupa tidak menentu. Kamu benar-benar perempuan yang hebat.

Setidaknya kamu pernah mencobanya, mencintaiku untuk segala hal yang aku kira tak bisa orang lain terima. Sebagai lelaki aku memang tidak sempurna dan kamu perempuan yang begitu mempesona. Apakah aku terlalu memaksakan diri untuk mencintaimu?

Aku belajar menerima kenyataan hidup, menjalaninya sebagaimana mestinya meski tidak selalu sesuai dengan harapan. Aku mencoba untuk tegar dan berusaha selalu mantap dengan apa yang aku lakukan. Kamu pernah berusaha mengimbangi kehidupanku dan sebagai seorang istri kamu tahu kewajibanmu kepada suami.

Anak lelaki kita kini genap lima tahun matanya mirip sekali denganmu. Aku selalu memberikan kebebasan kepadanya untuk bisa mengenal ibunya lebih dalam. Kamu lihat sendiri bukan tak pernah aku menghalangimu datang.

Aku pernah merasakan bagaimana sedihnya di tinggalkan seorang ibu dan aku tak ingin hal itu terjadi kepada anakku. Aku ingin ia tumbuh besar dan mengenali ibunya seperti apa karena bagaimanapun juga ia lahir dari rahimmu dan ia anakmu juga.

******

Jenis narkotika yang aku pakai selama ini memang telah merenggut sebagian kebebasanku bahkan aku telah kehilangan pekerjaanku lantaran kecanduanku terhadap putaw tidak bisa tertahankan. 

Hingga pada hari yang naas, aku menyebutnya Rabu sial. Polisi mendapati aku di rumah dalam keadaan mabuk dengan sejumlah barang bukti sisa pakai di temukan di jaket kulit millikku. Aku pasrah pasang badan. 

Duit tebusan untuk bisa terlepas dari dakwaan mana bisa aku dapatkan. Delapan puluh juta rupiah mustahil bisa di dapatkan dalam waktu dua jam. Tak akan ada yang membantuku lagi pula apalagi ini kasus narkoba.

Aku masih ingat saat kamu menangis memeluk tubuhku ketika aku di gelandang polisi masuk ke dalam mobil kijang berwarna hitam kamu bilang kepada polisi bahwa suamimu ini hanyalah pecandu bukan pengedar. Hanyalah korban. 

Aku mencoba untuk tegar saat melihatmu menangis menarik tanganku tetapi air mataku jatuh pula saat melihat anak lelakiku berlari menghampiri mobil yang berjalan pelan meninggalkan kerumunan orang-orang. 

Jiwaku seakan menangkap sebuah kata-kata dari tatapan matanya yang jernih tak bernoda namun entah apa rasanya penuh tanda tanya. Dan mobil terus berjalan menjauh, hatiku remuk redam dan aku terus di cecar dengan ribuan pertanyaan.

Aku di vonis dua tahun penjara, aku pasrah. Keluarga besarku pun begitu, mereka berharap setelah ini aku bisa sembuh dan penjara adalah satu-satunya yang mereka yakini akan membuatku jera.

Kepada seorang sahabat yang aku kenal dekat ku titipkan istriku beserta anakku. Ia bukan saja seorang sahabat namun sudah ku anggap saudara. Keputusanku mutlak dan aku tak mau membebani keluargaku yang sudah muak dengan kebiasaan burukku. 

Aku di cap anak durhaka, mereka selalu mengungkit-ungkit kalau kepergian ibu di karenakan aku yang tak mau berhenti memakai narkoba. Ibu, maafkanlah anakmu ini. 

Kini aku menjalani rasa sakit dan dinginnya dinding penjara. Hampir setiap hari aku berteriak menahan rasa ketagihan yang begitu menyiksa, rasanya remuk semua tulang-tulang di badan. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap hidup, dirimulah beserta anak lelaki kecil itu yang membuat semangatku terus menyala. 

Kita masih bisa berkomunikasi lewat media sosial dan pesan singkat di telepon genggam yang setiap bulan kamu isikan pulsanya. Aku tahu sahabatku pasti yang mendanai hidupmu saat ini. 

Satu bulan sekali kamu datang menjengukku dan tak pernah lupa aku katakan bahwasanya aku sangat mencintaimu. Aku selalu memintamu agar anak lelaki kita jangan pernah di ajak kunjungan ke penjara. Aku takut berpengaruh buruk pada kehidupannya nanti.

Di dalam penjara aku selalu berdoa untuk keselamatanmu serta anak kita yang terlanjur tahu bahwa ayahnya seorang narapidana. Kamu mengatakan kepadaku bahwa anak lelaki itu selalu bertanya, apakah di penjara ada televisi ? 

Tak lupa pula rasa terimakasihku kepada sahabat yang mengerti keadaanku. Aku tak pernah berpikiran macam-macam apalagi curiga sebab aku percaya kalian berdua yang akan membantuku lepas dari semua belenggu ini. Aku percaya kalian tidak akan mengkhianati aku selama aku di dalam penjara.

Setelah hampir setahun dan aku mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan penjara, aku berharap bisa mendapat keringanan hukuman agar bisa secepatnya berkumpul kembali bersama keluarga kecilku dan menjalani kehidupan sewajarnya. 

Aku berjanji tidak akan mengulangi lagi kesalahan-kesalahan masa laluku, aku berjanji kali ini akan lebih memperhatikan keluarga ketimbang urusanku sendiri. Aku ingin sembuh dan harus sembuh. 

Aku akan mencari pekerjaan baru selepasku keluar dari penjara begitulah keinginanku dan memulai lagi hidup yang baru. Aku sangat mencintai anak dan istriku.

Hingga kabar terakhir dari pesan singkat yang kamu kirim kepadaku bahwa saat ini kamu telah bekerja sebagai penjaga toko mainan anak-anak yang berlokasi di dalam mall. Katamu mungkin kita akan jarang bertemu namun tetap berhubungan lewat handphone. Kamu berjanji bila hari lbur kerja akan menjengukku dan membawakan roti keju kesukaanku. 

Semua ini demi keluarga, demi aku yang ada di dalam penjara, demi anak lelaki yang cepat sekali tumbuh besarnya. Terlalu banyak bertanya, bertanya tentang ayahnya. Katamu pula rasanya tidak enak selalu merepotkan sahabatku itu yang juga mempunyai hal penting yang mesti di kerjakannya.

Aku gembira, sangat gembira mendengar kabar kamu mendapatkan pekerjaan namun di dalam pesan itu pun aku tuliskan bahwa kehadiranmu tetap pula ku nantikan dan kamu tahu bagaimana rasanya rindu di dalam hasrat lelaki yang sekian lama tak bertemu.

Sebulan, dua bulan hingga tiga bulan lamanya kamu tidak pernah lagi menjengukku, apakah kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, apakah kamu melupakan suamimu ataukah ada hal yang lain. Meski di dalam pesan singkat kamu selalu berjanji pasti akan datang, tunggu saja. Selalu begitu.

Sampai suatu hari keluargaku datang menjenguk, adik dari ibu beserta suaminya. Ia mengatakan bahwa istriku tengah hamil 4 bulan dan ia katakan sahabatku lah yang menghamilinya. Rasanya ingin meledak tubuh ini, aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Berita itu bagai merenggut nyawaku. Aku lemas terkulai.

Ia kini, istriku telah di bawa pergi oleh kekasihnya dan tak ada satupun keluargaku yang tahu di mana keberadaannya. Seorang perempuan yang masih sangat muda, teramat muda untuk di tinggalkan suaminya yang penuh celaka dan tak mempunyai masa depan cerah gemilang. Pesakitan karena narkoba, pengangguran pula. 

Meski di hati ini berkecamuk rasa dendam, kecewa dan juga rasa penyesalan namun aku tak tahu mesti bagaimana bertindak sedangkan aku terkurung dan masih menjalani hukuman satu tahun lagi. Aku hampir saja gila, percobaan bunuh diriku gagal karena di selamatkan teman sekamar.

Aku di larikan ke sebuah rumah sakit dengan urat nadi yang terus mengeluarkan darah segar. Dalam keadaan setengah sadar aku membayangkan istriku yang tega meninggalkan aku dalam kondisi terpuruk. Betapa hancurnya hidupku.

Seminggu setelah kejadian itu, aku di pindahkan ke ruangan khusus hampir sebulan lamanya, ruangan yang lebih kecil, terkunci rapat dan tak bisa menerima kedatangan tamu. Namun di situlah aku menyadari akan segala kesalahan hidupku selama ini. Aku banyak berdosa dan banyak menyakit hati orang lain.

Handy Pranowo

07112021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun