Jenis narkotika yang aku pakai selama ini memang telah merenggut sebagian kebebasanku bahkan aku telah kehilangan pekerjaanku lantaran kecanduanku terhadap putaw tidak bisa tertahankan.Â
Hingga pada hari yang naas, aku menyebutnya Rabu sial. Polisi mendapati aku di rumah dalam keadaan mabuk dengan sejumlah barang bukti sisa pakai di temukan di jaket kulit millikku. Aku pasrah pasang badan.Â
Duit tebusan untuk bisa terlepas dari dakwaan mana bisa aku dapatkan. Delapan puluh juta rupiah mustahil bisa di dapatkan dalam waktu dua jam. Tak akan ada yang membantuku lagi pula apalagi ini kasus narkoba.
Aku masih ingat saat kamu menangis memeluk tubuhku ketika aku di gelandang polisi masuk ke dalam mobil kijang berwarna hitam kamu bilang kepada polisi bahwa suamimu ini hanyalah pecandu bukan pengedar. Hanyalah korban.Â
Aku mencoba untuk tegar saat melihatmu menangis menarik tanganku tetapi air mataku jatuh pula saat melihat anak lelakiku berlari menghampiri mobil yang berjalan pelan meninggalkan kerumunan orang-orang.Â
Jiwaku seakan menangkap sebuah kata-kata dari tatapan matanya yang jernih tak bernoda namun entah apa rasanya penuh tanda tanya. Dan mobil terus berjalan menjauh, hatiku remuk redam dan aku terus di cecar dengan ribuan pertanyaan.
Aku di vonis dua tahun penjara, aku pasrah. Keluarga besarku pun begitu, mereka berharap setelah ini aku bisa sembuh dan penjara adalah satu-satunya yang mereka yakini akan membuatku jera.
Kepada seorang sahabat yang aku kenal dekat ku titipkan istriku beserta anakku. Ia bukan saja seorang sahabat namun sudah ku anggap saudara. Keputusanku mutlak dan aku tak mau membebani keluargaku yang sudah muak dengan kebiasaan burukku.Â
Aku di cap anak durhaka, mereka selalu mengungkit-ungkit kalau kepergian ibu di karenakan aku yang tak mau berhenti memakai narkoba. Ibu, maafkanlah anakmu ini.Â
Kini aku menjalani rasa sakit dan dinginnya dinding penjara. Hampir setiap hari aku berteriak menahan rasa ketagihan yang begitu menyiksa, rasanya remuk semua tulang-tulang di badan. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap hidup, dirimulah beserta anak lelaki kecil itu yang membuat semangatku terus menyala.Â
Kita masih bisa berkomunikasi lewat media sosial dan pesan singkat di telepon genggam yang setiap bulan kamu isikan pulsanya. Aku tahu sahabatku pasti yang mendanai hidupmu saat ini.Â