Namun ia mengatakan kepadaku bahwasanya " sepeda ini masih layak pakai untuk keperluan sehari-hari dan lantaran sepeda ini lah kita saling kenal hingga menjalin kehidupan rumah tangga".
Ia juga bilang bahwa dengan bersepeda hidup jadi sehat lagian keperluan rumah tangga kita masih banyak belum waktunya untuk menyicil motor, rumah saja masih ngontrak kecuali kalo aku ini bos atau pejabat". Â
Aku terdiam sejenak sambil membayangkan apa yang ada di pikirannya saat itu lalu aku bertanya  " Kalo kamu jadi pejabat, aku ini jadi apa Mas?
Segera ia pun menjawab " Ya kamu jadi istri pejabat toh yu".Â
Kemudian ia tertawa lepas terbahak seakan mentertawai nasibnya sendiri, aku hanya bisa tersenyum sambil tak lepas tangan kananku memeluk erat pinggangnya. Sepanjang perjalanan yang terlewati menuju rumah selalu saja ada bahan cerita untuk di obrolkan dan ia tak pernah mengeluh dengan kenyataan hidupnya. Meski hanya sebagai buruh di sebuah pabrik kertas.
Aku bersyukur mendapatkan lelaki seperti dia, penuh tanggung jawab, jujur serta rendah hati. Aku tak berpikir dua kali ketika ia berniat mengawiniku empat tahun yang lalu. Dia seperti malaikat kurus bagiku meskipun tak mempunyai sayap namun cukup tangguh dan sabar, aku kagum kepadanya dan aku berhutang budi kepadanya.
*****
 " Mas Dwi, bangun mas, kayak ada orang ketuk pintu kita di luar." bisikku membangunkan suamiku yang tengah lelap tertidur.
" Kenapa, ada apa." sahut suamiku.
" Ada orang yang mengetuk pintu rumah kita kayaknya mas " sahutku.
" Jam berapa ini yu."Â
" Jam satu mas."