Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Dear Carla

13 Juli 2017   12:44 Diperbarui: 14 Juli 2017   01:40 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jika ada waktu dan umur panjang aku ingin kembali mengunjungimu, 

mengunjungi perasaanmu, mengunjungi tatap matamu, mengunjungi keindahan wajahmu 

serta mengunjungi ketulusan hatimu yang teramat lugu. Sungguh kamu tak bisa terlupakan.

Aku senang datang kepadamu, seperti datang kepada kesadaran yang baru 

namun berlama-lama dekat denganmu, mencium harum rambutmu, mencium wangi aroma kulitmu,

membuatku semakin tak menentu, rasa-rasanya tak puas bila hanya mampu mengecup keningmu.

Tetapi Carla, aku tak mampu.

Aku tahu kau tak memberi batas kepadaku bahkan kau biarkan aku leluasa mendekatimu, 

seperti merpati yang telah jinak, di usir terbang pun tak akan pergi jauh, malah semakin mendekat, 

kembali mendekat hingga dapat ku tangkap apa yang ada dalam pikiranmu. Katamu " lakukanlah "

Sementara aku tak tahu harus mulai dari mana, aku tak tahu cara mengisi kekosongan kata-kata, 

aku tak bisa memainkan nada, suaraku sumbang dan pada akhirnya aku tak paham arti dari kedipan mata, 

rasanya tanganku terasa berat untuk bisa memulai meraba dada mu yang mulai gatal karena rindu. 

Aku tahu Carla, sungguh aku tahu, tapi aku tak bisa.

Hmmm. Di ruang tamu tak ada mata, tak ada telinga, di tempat tinggalmu hanya ada satu pintu, itu pun telah rapat terkunci. 

Tak ada orang lain, kamu tinggal sendiri dan sangat menyukai sunyi. 

Terlebih sunyi di dalam gemericik gerimis. Sunyi di dalam gelap yang sepi. Dan suara kebisingan hanya ada di dalam hati.

Di rumahmu aku akan selalu bilang bahwasanya aku kagum cara kamu merawat rumahmu, 

aku kagum cara kamu menata dapur dan ruang kamarmu, sepasang pigura besar foto ayah ibumu, 

cukup serasi menempel di dinding di apit hiasan bunga-bunga kertas buatan tanganmu. 

Katamu kamu terbiasa sejak kecil dulu. Kamu sungguh luar biasa.

Ini bahkan kunjungan yang ketiga ke rumahmu, sejak aku bertemu dua bulan yang lalu denganmu,

di sebuah stasiun di kota Bandung, kala itu kamu sibuk mencari sesuatu yang terjatuh di ruang tunggu peron. 

Aku membantumu dan ternyata kita sama satu tujuan dengan kereta yang sama.

Lalu kita cair dan saling bertanya.

Ini apa, takdir atau hanya bualan belaka, atau Tuhan sedang bermain-main dengan hatiku agar lebih bisa menjaga sikap dan waspada. 

Tiba-tiba kamu seperti matahari, kamu seperti bintang, kamu seperti bulan, kamu seperti kunang-kunang, 

kamu seperti lampu temaram bagiku di tengah hati kesendirian yang remuk redam.

Namun seringkali aku tak bisa menduga hatimu, kejujuran, keluguanmu, membuat diriku tak sanggup menyakitimu.
Kamu memang asing bagiku, seperti sebuah piring terbang yang tiba-tiba muncul di hadapanku. 

Atau seperti suara klakson kereta yang berbunyi kencang hingga membuatku terperanjat jatuh. 

Atau memang kamu alien yang bisa berkata " Hai apa kabar?

Kamu bisa seperti apa saja bagiku dan tak dapat ku hentikan langkah pikiranku darimu, 

banyak hal dan aku tak perduli siapa kamu. Aku akan sibuk mengingatmu bila jauh. 

Tetapi masing-masing dari kita punya tujuan yang pada akhirnya membuat kita akan berpisah suatu waktu nanti. 

Kesalahanku adalah begitu cepat mencintaimu. Secepat bayanganmu yang tiba-tiba muncul di hadapanku, secepat kamu membaca kalimat 

dengan huruf-huruf braille. Hingga akhirnya aku yang benar-benar buta dari pada dirimu. 

Aku yang sejatinya tak mampu melihat, dan aku ingin selalu dekat denganmu agar kamu bisa menuntun jalan hidupku.

pranowohandy
130717

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun