Mohon tunggu...
Dannu W
Dannu W Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Natural Talent

Suka nulis, fotografi, bersepeda, kadang nongkrong sambil ngopi kalau gak ada ganti teh anget

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ini Tentang Dia

15 Mei 2013   22:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:31 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Detak jam dinding terdengar keras ketika malam sudah menjemput dan suara suara dari ruang tamu sudah mulai hilang. Kulihat anak-anakku mulai beranjak tidur. Satu persatu mereka mulai masuk ke kamar di ikuti oleh ibu mereka. Anak-anak ku memang agak manja, mereka tidak bisa tidur kalau belum bercerita panjang lebar dengan ibu mereka. Apalagi anak perempuan sulung ku Nirina, meskipun usianya sudah menginjak masa-masa menikmati hiruk pikuk tugas kampus. Berbeda dengan adiknya Rani yang baru duduk di bangku kelas 3 SMP, dia lebih suka menyendiri dibanding kakaknya. Aku kadang suka penasaran mengenai apa yang Nirina tanyakan padaku. Sebelum aku mengantar anakku tidur, aku antar suami ku dulu ke tempatnya beristirahat. Kemudian beranjak ke kamar Rani kemudian Nirina untuk memastikan mereka berdua nyaman di kamarnya.

"Ibu, boleh aku bertanya sesuatu padamu ? " - tanya Nirina.

"Kau memang seperti itu. Tanya apa lagi ? Tentang Ronald anak berambut merah di kampus mu itu ? "

"Bukan...apa sih ibu, dia hanya teman satu fakultas !"
"Ibu, ini mengenai dirimu dan ayah ! "

"Memang ada apa dengan kami ? " - kata Salma.

"Ibu kan sudah menikah lama dengan ayah. Dan, jika boleh tahu kenapa kau mau menikahi dia ? "

Aku hanya tersenyum sambil mulai mendekat dan duduk di tepi tempat tidurnya.
"Kau tahu, cinta yang sesungguhnya diwujudkan dengan pernikahan ! Jika kamu pacaran dengan seorang pria tapi tidak berujung pada pernikahan itu seperti kau kuliah tanpa wisuda. "- kataku pelan sambil menyelimutinya.

"Tapi, ibu kan bisa menemukan pria yang lebih baik dari ayah waktu itu. Kenapa ibu memilih ayah ? Kalau aku jadi ibu, mungkin aku tidak akan memilihnya." - kata Nirina.

"Kau tahu, Tuhan tidak pernah salah dalam memilihkan pasangan untuk kita. Dan asal kau tahu, ayah adalah sosok hebat. Itu sebabnya dia bisa menikahi ibu. Padahal dulu ibu disukai banyak pria loh ! " - kataku dengan senyum bangga dan bercanda.

"Nirina, kau pernah dengar kalau Orang yang baik pasti akan mendapatkan yang baik pula ! Dan ternyata itu memang benar. Ayahmu sosok yang baik bagi ibu. Sosok yang dapat mengusap tangannya dipipi ketika air mata ibu jatuh ketika yang lain sibuk mencari sapu tangan untuk membasuhnya. "

"Tapi, kau tahu kan Bu ayah itu kurang sempurna ! Maksudku, kau tahu kan ! "- katanya agak pelan sambil memeluk guling kecilnya.

"Di dunia ini tidak ada yang sempurna. Manusia diciptakan bukan untuk itu. Mereka sengaja diciptakan dengan kekurangan. Dan untuk melengkapi kekurangan itu manusia harus mampu menemukan sosok yang mampu menutupi semua itu. Kau fikir manusia dapat menjadi sempurna ? Tidak ! Mereka tidak sempurna, mereka hanya menutupi kekurangan itu dengan hal yang lebih baik sehingga mereka terlihat lebih sempurna. Ayahmu memang tidak sempurna, tapi di mata ibu ia nyaris sempurna. "

"Kenapa bisa begitu ? "

"Pernahkah kau lihat ayahmu mengeluh karena ia menggunakan kaki palsu ? "

"Tidak. . ."

"Pernahkah ia marah marah karena ia tidak bisa mengejar kalian berlarian di lapangan ? "

"Tidak... " - kata Nirina sambil menggeleng kecil.

"Itu yang ayah tunjukkan pada ibu waktu itu. Ia tidak malu berdiri tegak di antara kawan-kawannya yang memiliki fisik lebih baik dari dirinya. Bahkan kau tahu, ayah mu lebih baik dari mereka. Ia terkenal dengan orang yang rajin kuliah. Bahkan dia dikenal orang sebagai orang yang kuat. Ketika pria lain berpura-pura sempurna dihadapan ibu kala itu dengan kebohongan mereka, ayahmu malah berkata yang sejujurnya. Itu yang membuat hati ibu bersemayam di hatinya."

"Ibu, aku bangga pada ayah. Kelak aku ingin menemukan pasangan hidup yang seperti ayah. Yang berkata jujur walau itu harus membuat muka mereka merah."

"Dan satu lagi, ayahmu orang yang sangat setia. Dia tidak akan meninggalkanmu walau ia tahu seharusnya ia harus pergi. Jadi, apa pelajaran dari cerita ini ? "

"Jangan  kau pandang orang dari fisiknya ! "

"Lalu . . . ? " - kataku.

"Jadilah orang yang baik, maka kau akan mendapatkan yang baik pula ! "

"Ya. . . apa lagi ? "

"Aku mengantuk ibu . . . ! " - katanya sambil merengek.

"Dasar kamu ini, berbanggalah kau memiliki ayah seperti dia ! "

"Aku sangat bangga ! " katanya mantap. Kemudian aku mengusap rambutnya dan beranjak dari kamarnya sambil pelan menutup pintu. Sampai di kamar, kulihat Mas Ramdhan sedang mengusap matanya dengan tissue berwarna putih. Kemudian ia berkata ,

"Terima kasih banyak Salma, untuk tidak pernah kecewa dan menyesal hidup disampingku ! Dan kau mau berlari sejauh ini bersamaku walau kau tahu aku tak akan pernah bisa menyusulmu dengan kaki seperti ini."

Aku memeluknya erat. Kemudian memandangnya dengan senyuman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun