Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Diteror dan Dilecehkan Secara Seksual Selama 10 Tahun

24 Mei 2024   20:45 Diperbarui: 24 Mei 2024   21:13 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diteror Dan Dilecehkan Secara Seksual Selama 10 Tahun

Oleh Handra Deddy Hasan

Mungkin saat ini wanita dengan initial NRS telah merasa lega karena lepas dari jeratan teror dan pelecehan seksual yang dilakukan Adi Pradita (AP) selama 10 tahun yang nota bene merupakan temannya sewaktu sekolah di SMP.

Berita tentang teror dan pelecehan ini menjadi viral ketika NRS curhat di media sosial atas penderitaan dialaminya karena dilecehkan secara seksual dengan dikirimi photo alat kelamin pria dan juga kata-kata jorok dan ancaman secara verbal di akunnya.

Kejadian berawal di tahun 2014 ketika korban sudah menginjak kelas dua SMA.
NRS menceritakan total ada 440 akun media sosial digunakan AP untuk menerornya.

Korban akhirnya merasa sudah sangat tidak nyaman dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan pria tersebut ke polisi.

Tidak disebutkan kenapa korban tahan menderita sampai menunggu 10 tahun dan baru melaporkan peristiwa tersebut kepada Polisi.

Secara teoritis ada berbagai alasan mengapa seseorang bisa membiarkan dirinya diteror dalam jangka waktu yang lama misalnya sampai 10 tahun.

Bisa saja awalnya korban mungkin merasa takut akan konsekuensi jika mereka melawan atau melaporkan pelaku.

Korban mungkin merasa bahwa kalau melawan atau melaporkan akan membahayakan keselamatan mereka sendiri atau orang yang mereka cintai.

Atau bisa juga korban mungkin merasa malu atau bersalah atas situasi yang dialami, akibatnya membuat korban merasa sulit untuk mencari bantuan atau berbicara kepada orang lain tentang apa yang terjadi.

Dalam kasus korban NRS, mungkin ini yang terjadi. Setelah curhat ke media sosial dan ternyata respons netizen sangat positif, membuat keberaniannya timbul untuk melapor kepada Polisi.

Seperti dalam film-film bergenre thriller yang yang diproduksi Hollywood biasanya pelaku yang psikopat dengan lihai memanipulasi emosional untuk mempertahankan kekuasaan dan kontrol atas korban.

Pelaku bersikap dan bertindak dengan sedemikian rupa sehingga membuat korban merasa bahwa tidak memiliki pilihan lain selain membiarkan perilaku tersebut berlanjut.

Biasanya hal tersebut akan efektif apabila pelaku dapat mengisolasi korban dari dukungan sosial dan keluarga mereka, sehingga korban merasa bahwa mereka tidak memiliki tempat untuk mencari bantuan atau perlindungan.

Kita tidak tahu persis, apakah AP selihai itu memainkan peranannya yang bisa bertahan selama 10 tahun.

Hal terakhir yang secara teori kenapa orang bisa diteror melalui media sosial dalam waktu lama adalah kurangnya literasi atau akses terhadap sumber daya.

Korban mungkin tidak menyadari sumber daya atau bantuan yang tersedia bagi mereka, atau mungkin tidak memiliki akses ke bantuan tersebut karena berbagai alasan.

Penulis, tidak bisa menyimpulkan dengan pasti kenapa bisa NRS bisa bertahan diteror dan dilecehkan secara seksual selama 10 tahun, karena tidak ada informasi apapun di media yang menjelaskan hal tersebut terjadi.

Terlepas dari masalah tersebut tindakan meneror lawan jenis karena menaruh hati (kabarnya dengan alasan cinta) dengan cara mengirim ancaman, dan foto alat kelamin sendiri merupakan perilaku yang tidak normal, tidak etis, dan jelas melanggar hukum.

Pelaku dengan perilaku seperti itu mungkin mengalami gangguan mental atau memiliki masalah perilaku yang serius.

Apakah perilaku menyimpang ini merupakan perilaku yang sedang tren dan dibicarakan masif ditengah masyarakat saat ini yaitu gangguan mental yang dinamakan gangguan Obsessive-Compulsive Disorder (OCD), gangguan kepribadian antisosial, atau gangguan kecemasan tertentu.

Konon kabarnya gangguan mental OCD banyak diidap oleh anak muda zaman sekarang, termasuk artis-artis dan pemengaruh (influencer) terkenal.

Secara umum yang dimaksud dengan OCD adalah gangguan kecemasan yang ditandai oleh munculnya pikiran obsesif yang mengganggu (obsesi) yang diikuti oleh tindakan berulang-berulang yang dilakukan sebagai respons terhadap pikiran tersebut (kompulsi). 

Orang yang mengidap OCD mungkin merasa terjebak dalam siklus obsesi dan kompulsi yang sulit untuk dihentikan.

UU Yang Dilanggar Oleh Pelaku.

Akibat dari perbuatan Adi Pradita (AP) meneror dan melecehkan secara seksual NRS, maka akan ada pertanggung jawabannya secara hukum.

AP akan dijerat dengan beberapa Undang-Undang karena perbuatannya yang meneror dan melecehkan NRS secara seksual selama 10 tahun

Polisi akan  menjerat AP dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 29  juncto Pasal 45 Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan perubahan kedua berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Pasal 14 ayat (1) huruf b dan c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU Kekerasan Seksual).

Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi)

Dengan meneliti satu persatu Undang-Undang yang akan dikenakan kepada AP dapat dikatakan, tindak pidana yang dilakukan oleh AP kepada NRS bukanlah merupakan tindak pidana traditional sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Hal tersebut karena perbuatan teror dan pelecehan seksual yang dilakukan AP kepada NRS menggunakan teknologi mutakhir yang kita kenal dengan media sosial.

AP telah menggunakan total 440 akun-akun yang dimilikinya sebagai alat kejahatan. Caranya dengan menyampaikan teror dan pelecehan seksual dengan cara mentransmisikan kontennya melalui media elektronik.

Perbuatan demikian tentu sukar dirumuskan sebagai tindak pidana apabila menggunakan pasal-pasal  pidana traditional yang ada di KUHP.

Namun dengan menggunakan UU ITE sangat mudah mengkatagorikan perbuatan-perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur tindak pidana.

Setiap orang dilarang untuk mentransmisikan dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan serta konten yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti (Pasal 27 ayat 1 juncto. Pasal 29 UU ITE).

Apabila melanggar larangan-larangan tersebut dapat diganjar dengan hukuman pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp 1 Miliar (Pasal 45 UU ITE)

Perbuatan yang dilakukan oleh AP kepada NRS sangat layak masuk kedalam unsur-unsur pidana sebagaimana dirumuskan dalam UU ITE.

AP telah mengirimkan kata-kata narasi berisi ancaman dan photo-photo alat kelamin yang melanggar kesusilaan dengan cara mentransmisikan konten-konten tersebut secara elektronik melalui media sosial.

Perbuatan AP juga melanggar ketentuan UU Kekerasan Seksual karena setiap orang dilarang untuk mentransmisikan tanpa hak informasi elektronik yang bermuatan seksual diluar kehendak dari sipenerima. Begitu juga dilarang melakukan perbuatan penguntitan dan atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi elektronik untuk tujuan seksual (Pasal 14 ayat 1 b dan c UU Kekerasan Seksual.

Perbuatan demikian diancam dengan pidana penjara 4 tahun dan/atau denda Rp200 juta.

Selain daripada itu perbuatan AP mengirimkan photo alat kelaminnya kepada NRS telah telak melanggar ketentuan yang dimaksud dalam UU Pornografi. Setiap orang dilarang untuk menyebarkan, menyiarkan pornografi secara ekspilisit antara lain yang berisi konten alat kelamin (Pasal ayat 1 butir e UU Pornografi).

Apabila larangan tersebut dilanggar bisa dikenai dengan sanksi pidana 12 bulan maksimal, minimal 6 bulan dan/atau pidana denda  Rp6 miliar maksimal, minimal Rp250 juta (Pasal 29 UU Pornografi).

Memperhatikan rentetan pasal-Pasal dan Undang-Undang yang akan dikenakan kepada pelaku AP, nampaknya mempunyai sanksi pidana yang cukup berat.

Ancaman-ancaman sanksi yang dikenakan kepada pelaku cukup serius dan tidak akan seimbang apabila perbuatan didasarkan dengan motif keisengan.

Dapatkah Pelaku (AP) Lolos Dari Hukuman Dengan Alasan Pemaaf.

Melihat kasus AP sebagai pelaku yang diduga mempunyai masalah kejiwaan, sehingga tindakannya meneror NRS merupakan perbuatan gila diluar perbuatan orang normal, maka pihak Polisi tentu akan mendatangkan ahli.

Ahli yang dimaksud disini adalah ahli kejiwaan untuk memeriksa dan melakukan observasi terhadap pelaku AP.

Hasil observasi ahli kejiwaan menjadi masukan yang berharga bagi Hakim nantinya apakah AP akan dihukum atau hanya akan direhabilitasi.

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia (hampir dianut diseluruh dunia), ada pertimbangan yang harus dilakukan terkait kemampuan seseorang untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Apabila seorang pelaku kejahatan mengidap gangguan mental yang membuatnya tidak dapat memahami atau mengendalikan perilakunya,  dapat menjadi faktor yang diperhitungkan dalam proses hukum.

Maksudnya, apabila pelaku kejahatan dianggap tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka karena gangguan mental yang signifikan menurut pendapat ahli, bisa saja dalam hal akan direkomendasikan untuk perawatan medis atau terapi daripada dijatuhi hukuman pidana.

Dalam sistim hukum pidana Indonesia, seorang yang mengalami gangguan jiwa dengan alasan pemaaf tidak dikenakan hukuman, walaupun perbuatan pidananya terbukti.

Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, walaupun perbuatannya terbukti melawan hukum.

Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif), bukan dari sisi perbuatannya. Misalnya, lantaran pelakunya tidak waras atau gila sehingga tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.

Aturan tentang alasan pemaaf dalam pidana dapat dilihat pada Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 44 ayat (1) KUHP

Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Jadi terhadap kelangsungan kasus AP yang meneror dan melecehkan teman SMPnya NRS secara seksual sangat tergantung kepada hasil observasi dan rekomendasi ahli jiwa.

Apabila menurut ahli jiwa ternyata bahwa AP mengidap sakit jiwa yang signifikan sehingga dianggap tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya dan direkomendasikan untuk perawatan, maka berpotensi AP akan lolos dari sanksi pidana.

Hal tersebut berlaku, apabila Majelis Hakim yakin terhadap pendapat ahli tersebut.

Apabila timbul keraguan dalam diri Hakim atas pendapat ahli, bisa saja Hakim melanjutkan proses persidangan pidana AP atau Hakim juga leluasa untuk meminta opini kedua (second opinion) kepada ahli lain.

Jadi dalam menerapkan alasan pemaaf, sehingga dibatalkannya peristiwa pidana bagi terdakwa berdasarkan Pasal 44 ayat 1 KUHP tergantung penuh kepada keyakinan Hakim untuk melaksanakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun