Putusan Pelanggaran Etik Firli Bahuri, Ketua KPK Non Aktif Segera Akan Dijatuhkan.
Oleh Handra Deddy Hasan
Masalah etika (etik) telah menjadi topik pembicaraan hangat di Indonesia.
Saking populernya suku kata etik, banyak lelucon yang beredar di media sosial menggunakan kata "etik", baik yang disuguhkan oleh pelawak stand up comedy, maupun berupa narasi cerita tertulis.
Bahkan dalam pergaulan sehari-hari, apabila seseorang melakukan kesalahan akan dituduh secara bercanda telah melakukan pelanggaran etik.
Maraknya masalah etik dimulai ketika Ketua Mahkamah Kontitusi (MK) Â Anwar Usman diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat terkait uji materi perkara persyaratan umur untuk maju berkontestasi menjadi Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum.
Berlanjut sekarang dengan banyak dibahasnya masalah proses sidang etik Firli yang sedang berlangsung.
Menurut informasi Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi ( Dewas KPK), mereka telah membuat putusan terkait pelanggaran etik yang diduga dilakukan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK.Â
Putusan tersebut rencana akan dibacakan pada tanggal 27 Desember 2023 (Kompas, Sabtu 23 Desember 2023)
Apa Yang Dimaksud Dengan Etik.
Ketentuan etik merupakan sekumpulan perangkat berupa norma, nilai, dan prinsip yang mengatur perilaku (tingkah laku) dan perbuatan seseorang yang mempunyai profesi tertentu.
Jadi ketentuan etika ini menentukan standar perilaku yang diharapkan dari individu atau kelompok suatu organisasi dalam berinteraksi dengan orang lain dalam suatu lingkungan dan  situasi tertentu.
Hampir setiap profesi memiliki kode etik yang mengatur perilaku anggotanya. Contohnya, kode etik Hakim, Dokter, Pengacara, Insinyur, Jurnalis, Guru, Dosen dan lain-lain.
Begitu juga Lembaga/Institusi, misalnya Lembaga Pendidikan: Sekolah, Perguruan Tinggi  juga  memiliki kode etik yang harus diikuti oleh siswa, mahasiswa, dan staf pengajar. Staf Pengajar/Guru yang berani menampar murid/mahasiswanya atau sebaliknya selain akan dijerat dengan sanksi hukum pidana juga akan dikenakan dengan sanksi etik.
Perusahaan tertentu di Indonesia juga mempunyai kode etik. Beberapa perusahaan memiliki kebijakan dan kode perilaku etik internal yang menetapkan aturan etik bagi karyawan dan anggotanya. Misalnya aturan etik tingkah laku yang berkaitan masalah melakukan ibadah, aturan etik tindakan rasial, pelecehan seksual dan lain-lain. Hal tersebut dikarenakan norma-norma yang dianut oleh masyarakat dan budaya juga sering menjadi panduan perilaku etis dalam interaksi sehari-hari di Perusahaan.
Aturan etik dapat saja bervariasi dari satu tempat atau situasi yang berbeda, namun tujuannya adalah untuk membimbing individu atau kelompok dalam berperilaku dengan cara yang dianggap tepat dan bertanggung jawab dalam situasi tertentu.
Desakan Firli Agar Dijatuhkan Sanksi Etik.
Firli Bahuri (Ketua KPK Non Aktif) secara hukum sebetulnya telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Polda Metro Jaya, dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi terkait dengan pemeriksaan dugaan Korupsi di Kementrian Pertanian yang ditangani KPK.
Firli melakukan perlawanan atas penetapannya jadi tersangka oleh Polda Metro Jaya, karena menurut Firli dan Kuasa hukumnya penetapan jadi tersangka tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Oleh karena itu untuk mendukung argumen yang dibangunnya, bersama-sama  dengan Tim hukumnya yang diketuai oleh Ian Iskandar mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Namun upaya perlawanan Firli ternyata kandas ketika Hakim tunggal Imelda Herawati menolak permohonan praperadilan tersebut.
Alasan Hakim PN Jaksel Imelda Herawati menolak karena dalam permohonannya Firli dan Tim Kuasa hukumnya telah mencampur materi formil dan materil dalam permohonannya. Padahal dalam permohonan suatu praperadilan yang diadili adalah masalah formal (cara-cara menetapkan jadi tersangka). Sedangkan masalah materi (pokok perkara) bukanlah kewenangan Pengadilan praperadilan (Kompas, Rabu 20 Desember 2023).
Dengan demikian, kelangsungan dan kelanjutan atas tuduhan kepada Firli berkaitan dengan perkara korupsi tetap berlanjut, walaupun sampai saat ini Firli masih belum ditahan oleh Polda Metro Jaya.
Walaupun masalah hukum yang dituduhkan kepada Firli tidak berhenti, masyarakat sipil tetap mendesak agar masalah etik Firli tetap harus dilanjutkan sampai didapat adanya Keputusan oleh Dewas KPK.
Hal ini berkaitan dengan sejarah proses sidang etik Pimpinan KPK yang lalu ketika  Wakil Ketua KPK sebelumnya Lili Pintauli Siregar yang dihentikan proses pemeriksaan etiknya dihentikan.
Alasan pemberhentian sidang etik Lili pada waktu itu karena ketika proses pemeriksaan etik akan dimulai, Lili langsung mengajukan pengunduran diri berupa Keppres (Keputusan Presiden) kepada Dewas KPK.
Akibatnya sidang etik Lili gugur karena adanya pengunduran diri tersebut. Dewas KPK akan kehilangan jurisdiksi untuk menggelar sidang etik apabila seseorang tidak lagi menjadi bagian organisasi KPK.
Banyak pihak yang menduga bahwa Firli akan menggunakan jurus yang sama untuk menghindari sidang etik karena juga telah mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden. Namun sampai sejauh ini belum ada Keppres pemberhentian Firli.
Untuk menjawab desakan masyarakat sipil antara lain seperti Zaenur Rohman sebagai Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada agar sidang etik Firli berakhir dengan adanya suatu putusan, maka Ketua Dewas Tumpak Hatorangan Panggabean mengkonfirmasi khusus perkara Firli tetap dilanjutkan
Menurut Ketua Dewas KPK perkara etik Firli akan tetap berproses sampai adanya putusan karena belum ada Keputusan Presiden (Keppres) yang menetapkan pemberhentian untuk Firli.
Bahkan Ketua Dewas KPK memastikan terkait pelanggaran etik Firli menurut rencana akan dibacakan Keputusan dalam beberapa lagi yaitu pada tanggal 27 Desember 2023 (Artikel ditulis tanggal 23 Desember 2023)
Pihak istana melalui Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana menyampaikan berita senada dan seirama dalam kasus Firli dengan menyatakan bahwa Keppres pemberhentian Firli belum bisa diproses karena surat yang diajukan kepada Presiden tidak disebutkan pengunduran diri tetapi pernyataan berhenti (Kompas, Sabtu 23 Desember 2023)
Sebagaimana kita ketahui berdasarkan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) tidak mengenal berhentinya seorang Ketua KPK dengan Pernyataan Berhenti.
Salah satu syarat pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan dalam butir e Pasal 32 ayat 1 UU KPK adalah "mengunduran diri". Istana melihat bahwa Pernyataan Berhenti tidak sama dengan pengunduran diri, sehingga sampai sejauh ini Keppres pemberhentian Firli belum bisa diproses.
Sehingga dengan demikian akal-akalan Firli meniru modus Lili Pintauli Siregar mantan Wakil KPK untuk menghentikan proses sidang etik berkaitan dengan dirinya boleh dikatakan akan gagal.
Mengapa Banyak Pihak Menuntut Firli Agar Diadili Secara Etik.
Proses pelanggaran hukum seharusnya lebih kejam baik dari segi proses maupun dari sanksi dibandingkan dengan pelanggaran etik.
Dalam proses pelanggaran hukum tersangka bisa ditahan dan ancaman hukuman berupa hukuman pidana penjara, sedangkan dalam persidangan etik tidak mengenal penahanan dan hukuman penjara.
Namun demikian kenapa dalam kasus-kasus tertentu, misalnya kasus Firli banyak pihak yang menuntut agar proses persidangan etiknya tetap harus dilaksanakan, walaupun proses hukumnya masih berlanjut.
Hal ini bisa terjadi karena pandangan masyarakat terhadap pelanggaran etik dan pelanggaran hukum seringkali berbeda.
Beberapa alasan mengapa masyarakat lebih mendahulukan pelanggaran etik dibandingkan dengan pelanggaran hukum atas peristiwa yang sama adalah karena moralitas.
Pelanggaran etik seringkali dianggap sebagai penampakan langsung dari karakter pribadi dan moralitas seseorang.
Masyarakat lebih gampang memahami aturan nilai moral  terhadap pelanggaran etik, karena dianggap sebagai gambaran kejujuran dari seseorang.
Berbeda dengan nilai hukum yang rumit, kadangkadang masyarakat terombang-ambing dalam memberikan penilaian tergantung kepada siapa yang menyampaikan.Â
Pada waktu Jaksa Penuntut yang berbicara, mereka percaya bahwa terdakwalah yang bersalah, sebaliknya ketika Pengacara Pembela yang memberikan argumentasi mereka merasa terdakwa tidak pantas untuk dihukum.
Selain itu orang-orang yang berada dalam suatu organisasi profesi dianggap masyarakat sebagai manusia istimewa.Â
Oleh karena mereka dianggap sebagai orang-orang pilihan yang istimewa diharapkan mereka juga patuh untuk mengikuti standar etik yang tinggi. Pelanggaran terhadap kode etik dalam profesi tertentu seringkali dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan norma yang seharusnya dipegang teguh.
Sehingga pelanggaran etik walaupun tidak memberikan sanksi pidana penjara sering memiliki dampak yang lebih berarti pada reputasi seseorang.
Masyarakat akan puas melihat dijatuhkannnya sanksi pelanggaran etik karena dianggap akan mempermalukan pelaku dan dapat merusak kepercayaan dan reputasi pelakunya secara lebih luas.
Argumentasi ini tentunya dengan catatan bahwa seandainya Pelaku memang masih mempunyai rasa malu.
Alasan berikutnya adalah masalah jangkauan atau yurisdiksi kasus. Kadang-kadang dalam kasus tertentu, suatu tindakan yang dianggap tidak etis mungkin tidak memiliki dasar hukum yang jelas atau tidak secara eksplisit diatur oleh hukum.
Dalam kasus seperti itu, meskipun tindakan itu dianggap tidak etis dan dapat dihukum secara etik tetapi tidak selalu dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Misalnya dalam kasus Ketua Mahkamah Kontitusi (MK) Â Anwar Usman walaupun diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat, namun tidak bisa dijangkau dengan hukum pidana karena tidak ada aturan yang mengaturnya.
Atau misalnya dalam kasus Firli itu sendiri, seandainya dalam persidangan korupsi yang dituduhkan padanya tidak terbukti, maka Firli bisa bebas dari sanksi hukum, sedangkan dari segi etik bisa saja ternyata Firli terbukti misalnya melakukan pertemuan dengan pihak tersangka Korupsi atau tidak benar melaporkan harta kekayaan, atau manipulasi utang yang terkait dengan penyewaan rumah di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H