Kemudian dalam peristiwa sehari-hari kita mendengar tentang Nikah Siri yang merupakan nikah yang tidak dicatatkan secara resmi oleh Pegawai Pencatat Nikah dalam hal ini di Kantor Urusan Agama (KUA).
Sehingga Nikah Siri tidak mempunyai kekuatan hukum dan tentunya akan merugikan bagi ibu dan anaknya (kalau ada) karena tidak akan mempunyai hak mendapatkan kehidupan yang layak, hak pendidikan, hak waris dan lain-lain.
Jangan tertipu dengan adanya buku nikah (Kutipan Akta Nikah) walaupun buku nikah merupakan salah satu bukti adanya pencatatan perkawinan.Â
Hal ini dikarenakan banyaknya buku nikah palsu yang beredar, sehingga ada beberapa perkawinan siri menggunakan buku nikah, namun tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah di KUA.
Padahal secara hukum bentuk formalitas yang diinginkan adalah pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah di KUA (agama Islam) atau Kantor Pencatatan Sipil (agama selain Islam).
Kembali kepada kasus Suriani, asumsi skenario pertama perkawinan Suriani dengan suami kedua AS dan suami ketiga SN tidak pernah tercatat (suami pertama meninggal) sehingga pada dasarnya tidak pernah ada perkawinan diantara mereka sebagaimana yang dimaksud UUP.Â
Sehingga ketika mereka dulu melangsungkan perkawinan tidak bisa dilakukan pencegahan akan terjadinya poliandri sebagaimana yang bisa dilakukan berdasarkan Pasal 13 dan Pasal 11 UUP.
Dalam skenario pertama ini Suriani tidak bisa dijangkau dengan Undang-Undang Perkawinan Indonesia, karena perkawinannya baik dengan suami kedua maupun suami ketiga dianggap tidak pernah ada.
Bagaimana dengan kenyataannya bahwa Suriani mempunyai dua orang suami saat bersamaan?
Sebagaimana kita ketahui masyarakat tidak hanya terikat dengan hukum positif (hukum negara), namun juga terikat dengan norma lain seperti norma sosial dan agama.
Sudah selayaknya Suriani yang hidup dalam lingkungan sosial yang beragama di Bone Sulawesi Selatan akan dikontrol tingkah lakunya oleh masyarakat/ulama dimana dia bertempat tinggal.Â