Bayi Tertukar Di Rumah Sakit, Apa Dampak Jangka Panjangnya?
Oleh Handra Deddy Hasan
Kasus dugaan bayi tertukar ketika lahir di Rumah Sakit di Kabupaten Bogor yang menarik perhatian masyarakat masih diselidiki polisi.
Sedangkan suster Rumah Sakit Sentosa yang menangani bayi tertukar sudah diberi sanksi oleh pihak rumah sakit dengan Surat Peringatan 1 (SP 1).
Kisah ini mengingatkan kita akan peristiwa Dewi dan Cipluk yang terjadi kira-kira 30 tahun yang lalu di Jakarta. Peristiwa Dewi-Cipluk sangat terkenal karena terjadi sengketa perebutan anak akibat tertukar ketika bayi dan sempat diangkat ke layar lebar berupa film komersial di Indonesia.
Kisah ini juga mengingatkan tentang legenda penyelesaian sengketa perebutan anak pada zaman dahulu kala.
Suatu ketika nabi Sulaiman yang bijak dihadapkan kepada kasus seorang bayi yang diperebutkan dua wanita yang sama-sama mengaku ibu kandung.
Dan kisah itu berakhir bahagia karena begitu si bayi akan dibelah dua, ibu kandung yang asli berteriak dan merelakan anaknya diambil daripada harus dipotong.
Sedangkan kasus bayi tertukar di Bogor, berdasarkan pemberitaan dari media, polisi secara aktif telah mendatangi pihak rumah sakit untuk menyelidiki bayi Siti Mauliah (37) yang tertukar di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Kepolisian menelusuri siapa saja tenaga medis yang terlibat saat persalinan terjadi dan juga mengumpulkan data siapa saja yang melahirkan pada waktu yang bersamaan dengan Siti Mauliah.
Sejauh ini Polisi mengedepankan restorative justice untuk kasus ini dibandingkan dengan menggali dan mencari tersangka dalam kasus pidananya.
Polisi bisa saja memulai penyelidikan berdasarkan Pasal 277 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana seseorang yang dengan sengaja menggelapkan asal usul seseorang diancam dengan pidana penjara maksimal selama 6 tahun.
Atau Polisi juga bisa mengancam orang tua yang tidak mau melakukan tes DNA berdasarkan Pasal 278 KUHP, dengan alasan siapa yang mengakui seseorang sebagai anaknya, padahal bukan, diancam dengan pidana penjara maksimal selama 3 tahun.
Dalam hal ini Polisi mencoba mencari kebenaran material tanpa harus melalui proses Pengadilan dengan menghukum, memenjarakan siapa yang salah.
Bahkan Polisi dalam mencari keadilan agar perkara bisa memuaskan para pihak dengan menggunakan bantuan teknologi masa kini.
Upaya tersebut jelas dengan aktifnya Polisi menawarkan Pemeriksaan DNA Â kepada orang tua pelapor dan orang tua yang dicurigai bayinya tertukar serta dibantu oleh pihak Rumah Sakit dengan Pemeriksaan DNA gratis.
DNA adalah singkatan dari deoxyribonucleic acid dimana pemeriksaannya bisa digunakan untuk menentukan asal usul keturunan seseorang.
Atau dengan bahasa sederhana, Â metode Pemeriksaan DNA bisa menentukan dengan gampang dan akurat siapa orang tua bayi yang baru dilahirkan.
Metode Pemeriksaan Asal Usul Manusia Yang Telah Maju.
Polisi sebagai pihak penyidik yang sedang menjalani dan mencari restorative justice sangat terbantu dengan adanya metode pemeriksaan DNA untuk menentukan asal usul seseorang.
Pemeriksaan DNA memiliki tingkat keakuratan yang tinggi dalam membuktikan asal usul seseorang.
DNA merupakan materi genetik yang unik bagi setiap individu, walau bagi saudara kembar identik sekalipun.
Oleh karena itu, analisis DNA dapat memberikan informasi yang sangat akurat tentang hubungan keluarga seperti siapa orang tua seseorang dan asal usulnya.
Sehingga tes DNA saat ini sangat lazim digunakan dalam masyarakat untuk mengidentifikasi hubungan keluarga, seperti antara orangtua dan anak, saudara kandung, atau kerabat jauh.
Tes DNA juga selain dapat  mengonfirmasi hubungan seseorang juga sekaligus bisa membuktikan bahwa seseorang tidak mempunyai hubungan  kekerabatan antara individu dengan individu lainnya dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Tes DNA tidak hanya membuktikan asal usul atau etnis seseorang. DNA juga bisa mengungkap  mengenai banyak karakteristik genetik lainnya, termasuk ciri fisik, adanya penyakit bawaan tertentu, dan lain-lain.
Tanpa adanya tes DNA, maka untuk penentuan asal usul seseorang hanya dengan meraba-raba berdasarkan pengamatan ciri-ciri pisik.
Namun metode ini tidak disarankan untuk menyelesaikan masalah bayi yang tertukar di Rumah Sakit karena metode ini tidak selalu akurat dan dapat dipengaruhi oleh faktor genetik yang kompleks, sehingga kadang-kadang tidak memberikan solusi, malah menimbulkan perdebatan baru.
Beberapa ciri-ciri fisik yang biasanya dapat diamati meliputi, Warna Mata, Rambut, dan Kulit.
Kemiripan dalam warna mata, rambut, dan kulit antara orang tua dan anak dapat memberikan petunjuk tentang hubungan genetik.
Selain itu dengan melihat ciri wajah. Beberapa ciri wajah seperti bentuk mata, hidung, bibir, atau dagu dapat menunjukkan kemiripan antara orang tua dan anak.
Walaupun semua ciri-ciri tersebut sudah ada pada tubuh bayi baru lahir, namun kadang-kadang sukar untuk dideteksi secara akurat.
Sedangkan untuk ciri lain seperti tinggi badan dan bentuk badan belum bisa digunakan untuk bayi yang baru lahir.
Derita Korban Bayi Tertukar
Polisi sampai saat ini dalam meyelesaikan masalah bayi tertukar di Rumah Sakit mengedepankan restorative justice dan bagi pelaku  hanya diberi ganjaran administratif berupa SP 1 dari pihak Rumah Sakit Sentosa tempatnya bekerja.
Seharusnya Polisi sebagai Penyidik tetap melanjutkan perkara pidananya setelah mengembalikan masing-masing bayi kepada orang tua yang sebenarnya.
Dengan melanjutkan proses pidananya akan membuat para tenaga medis dan Rumah Sakit mendapat pelajaran berharga betapa pentingnya masalah bayi yang tertukar.
Ancaman pidana juga diharapkan akan membuat efek jera dan sekaligus menjadi perhatian bagi semua tenaga medis dan Rumah Sakit untuk masa mendatang agar perkara yang sama tidak terulang.
Korban yang mengalami penggelapan asal usul (tertukar ketika bayi) ketika suatu saat  dirinya mengetahui bahwa orang tuanya bukan orang tua yang sebenarnya akan menghadapi masalah identitas dan kepribadian yang kompleks.
Kemungkinan akan terbongkarnya penggelapan asal usul seseorang sangat besar akan terjadi, pada saat korban sudah besar.
Berdasarkan kasus-kasus yang telah terjadi, biasanya pihak korban mulai mencurigai orang tua yang mengasuhnya bukanlah orang tua biologisnya ketika ada keanehan bahwa mereka sangat berbeda secara fisik dan tingkah laku serta sikap.
Kecurigaan ini biasanya berlanjut, ketika korban penasaran dan secara diam-diam melakukan tes DNA atas dirinya.
Apabila ternyata berdasarkan tes DNA dan terbukti orang tua yang mengasuhnya bukanlah orang tua biologisnya, maka bagi korban dunia serasa sudah kiamat dan penderitaan psikologis dimulai saat itu.
Korban penggelapan asal usul bisa merasa kebingungan, kehilangan jati diri, dan kesulitan dalam memahami diri mereka sendiri dan gamang melihat sekitar. Apalagi dalam keluarga ada anak lain berupa kakak atau adik yang secara genetika sangat berbeda dengan dirinya.
Dampaknya bisa berupa stres emosional, perasaan terisolasi, dan kesulitan membentuk hubungan sosial yang kuat dengan orang lain, bahkan bisa jadi hubungan dengan orang tua yang mengasuhnya atau saudara selama ini baik-baik saja dan harmonis bisa menjadi berantakan.
Selain mempengaruhi kesehatan mentalnya secara hukum korban penggelapan asal usul juga akan kesulitan untuk memperjuangkan hak Perdatanya seperti hak mewaris dari orang tua biologisnya.
Terkuaknya kebenaran asal usul korban bayi tertukar akan menimbulkan persoalan hukum waris yang dilemmatis. Di satu sisi sesuai dengan hukum Islam (apabila korban dan keluarganya Muslim) hak mewaris dari keluarga yang mengasuhnya menjadi pupus, sementara bagi keluarga biologisnya (apabila ada kakak dan adik) bisa-bisa dianggap sebagai musuh yang datang tiba-tiba.Â
Biasanya berkaitan dengan harta waris, apabila muncul ahli waris baru yang tidak diduga sebelumnya, dianggap sebagai perampok yang datang pada siang hari bolong.
Agar korban bisa mendapatkan hak waris dari orang tua biologisnya akan membutuhkan upaya hukum panjang dan berat melalui proses Pengadilan.
Seandainya tidak terungkapnya borok telah terjadi bayi tertukar, tetap saja menyimpan potensi masalah. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam hukum agama dilarang untuk menikah sesama saudara sekandung (inces).
Pernikahan demikian dikatagorikan sebagai perbuatan haram. Kasus bayi tertukar berpotensi akan terjadi perkawinan sedarah tanpa sengaja, karena biasanya lokasi kelahiran juga biasanya merupakan lokasi kehidupan, sehingga sangat memungkinkan akan terjadi perkawinan haram yang dilarang oleh agama untuk kasus bayi yang tertukar.
Penulis mendapatkan info dari teman yang mempunyai pengalaman pribadi, dimana dia mengalami tertukar pada waktu bayi dan untung cepat diketahui kekeliruannya.Â
Namun pada waktu itu ibu kandung teman tersebut telah sempat menyusukan bayi orang lain. Kemudian ketika sudah besar ternyata saudara sesusuannya satu kelas dan duduk dibangku sebelahnya ketika belajar di sekolah tingkat Menengah Pertama (SMP).
Jadi peristiwa tertukarnya bayi ketika ibunya melahirkan di Rumah Sakit bukanlah perkara sepele, seperti tertukarnya barang.
Sudah seharusnya pihak Rumah Sakit memperhatikan dengan serius dengan menciptakan standard operating yang ketat dan konservatif dalam pelaksanaannya.
Begitu juga bagi tenaga medis yang terlibat agar bersungguh-sungguh dan serius dalam bekerja, karena masalah tertukarnya bayi merupakan masalah yang juga serius dampaknya bagi korban dalam kehidupannya nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H