Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jebakan KPK dengan Menjadikan Personil TNI Aktif sebagai Tersangka Korupsi

29 Juli 2023   22:16 Diperbarui: 29 Juli 2023   22:51 1696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jebakan KPK Dengan Menjadikan Personil TNI Aktif Sebagai Tersangka Korupsi

Oleh Handra Deddy Hasan

Pada hari Selasa tanggal 25 Juli tahun 2023 sekitar pukul 2 siang di Jalan Raya Mabes Hankam wilayah Cilangkap, Jakarta Timur, dan wilayah Jatiraden, Jatisampurna, Kota Bekasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Dalam OTT, KPK telah menggiring 11 (sebelas) orang ke kantor KPK dan mengamankan uang senilai hampir Rp 1 milyar (satu milyar rupiah).

Setelah memeriksa sejumlah orang yang ditangkap dalam  (OTT) proyek pengadaan barang dan jasa di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Republik Indonesia (Basarnas RI), KPK telah menetapkan 5 orang yang ditangkap sebagai tersangka.

Kelima tersangka tersebut di antaranya Kepala Basarnas (Kabasarnas) Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi (HA), Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan (MG), Dirut PT Intertekno Grafika Sejati, (IGS) Marilya (MR), Dirut PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil (RA), dan Korsmin Kabasarnas RI Afri Budi Cahyanto (ABC).

Atas dasar kebutuhan penyidikan, Tim Penyidik menahan para Tersangka untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 26 Juli 2023 sampai dengan 14 Agustus 2023.

Kisruh Penetapan Tersangka perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI Aktif).

Kekisruhan dimulai  ketika KPK menetapkan orang-orang yang tertangkap OTT menjadi Tersangka karena 2 (dua) orang (HA dan ABC) diantara 5 (Lima) Tersangka perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif.

Atas jadi tersangkanya HA dan ABC oleh KPK mendapat respons langsung dari Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI, Marsekal Muda R Agung Handoko.

Danpuspom TNI langsung menggelar jumpa pers resmi di Mabes TNI yang isinya menyatakan status tersangka terhadap HA dan ABC menyalahi aturan.

Atas keberatan Danpuspom terhadap penetapan tersangka HA dan ABC, kemudian KPK dengan mudahnya meminta maaf kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono karena telah menangkap tangan dan menetapkan tersangka pejabat Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) karena berasal dari lingkup militer.

Permintaan maaf dari KPK dengan mudah atas OTT dan penetapan seseorang menjadi tersangka merupakan hal yang tidak lazim.

Biasanya KPK selalu dengan gagah berani selalu siap menghadapi segala serangan atas kinerjanya dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Jangankan meminta maaf malah KPK menantang siapapun kalau merasa tidak benar dalam penetapan jadi tersangka dengan beradu argumen di Pengadilan dengan menantang dan mempersilakan mengajukan Praperadilan.

Apakah KPK takut karena kedua Tersangka adalah TNI aktif dengan menetapkan Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi (HA) setelah menangkap tangan bawahannya, Letkol (Adm) TNI Afri Budi Cahyanto (ABC) ?

Tindak Pidana Koneksitas

Sebetulnya apabila suatu tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang dimana pelakunya ada orang sipil dan sebagian lagi berasal dari militer bukanlah suatu masalah, karena sudah diatur dalam Undang-undang dan dinamakan dengan perkara koneksitas.

Kasus OTT dugaan Korupsi pengadaan barang yang ada di Bakamla dari 5 orang telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka terdiri dari 3 orang sipil dan 2 orang militer.

Merujuk kepada aturan Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) peristiwa dimana tersangkanya ada yang berasal dari sipil dan ada juga yang berasal dari militer dikatagorikan sebagai perkara koneksitas yang akan diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum (bukan Pengadilan Militer).

Memang bisa saja suatu tindak pidana koneksitas diadili di lingkungan Pengadilan Militer, namun harus ada keadaan khusus berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Pertahanan (Menkopolhukam) serta dengan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham).

Penulis tidak melihat bahwa kasus dugaan Korupsi Di Bakamla mempunyai alasan khusus sehingga Menkopolhukam membuat Keputusan dan disetujui oleh Menkumham untuk diadili di Pengadilan Militer.

Dengan diadilinya perkara dugaan Korupsi pengadaan barang di Bakamla di Pengadilan Negeri, maka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan seharusnya dilakukan oleh penyidik dan penuntut KPK.

Masalahnya apakah KPK mempunyai kewenangan untuk menyelidiki, menyidik dan menuntut suatu perkara koneksitas ?

Pertama, oleh karena tindak pidana yang terjadi adalah tindak pidana korupsi maka berdasarkan Pasal 6 ayat c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), KPK berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutannya.

Sedangkan khusus untuk peristiwa koneksitas dimana melibatkan juga pelaku militer KPK berdasarkan Pasal 42 UU KPK mempunyai kewenangan mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.

Artinya KPK memang tidak punya kewenangan untuk menyatakan tersangka suatu perkara koneksitas sendirian, tanpa Polisi Militer (POM) TNI.

Berdasarkan Pasal 42 UU KPK, penyidik KPK harus bersama-sama dengan Polisi Militer (POM) TNI untuk menetapkan Personil Militer menjadi tersangka dalam perkara koneksitas karena kewenangannya adalah mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan dengan pihak Polisi Militer (POM) TNI.

Tentunya terlalu naif menduga bahwa KPK tidak mengetahui ketentuan Pasal 42 UU KPK, sehingga berani memutuskan HA dan ABC Militer aktif sebagai tersangka korupsi, tanpa melibatkan sama sekali POM TNI.

Menurut hemat penulis, KPK sengaja mentersangkakan HA dan ABC walaupun dengan konsekwensi bahwa putusan tersebut menjadi cacad hukum.

Penulis menduga dengan akal sehat berdasarkan sejarah ada kekawatiran dari pihak KPK apabila melibatkan POM TNI dalam penyelidikannya akan terjadi penghentian perkara seperti kasus perkara dugaan Korupsi pengadaan Helikopter angkut Agusta Wetland AW-101 di TNI Angkatan Udara tahun 2016-2017.

Modus permintaan maaf dari KPK kepada POM TNI dan menyerahkan berkas HA dan ABC sebagai tersangka, nampaknya telah diperhitungkan oleh KPK sebelumnya. Sehingga sekarang tinggal menunggu apa tindakan POM TNI berikutnya.

KPK sengaja nampaknya membuat jebakan batman untuk POM TNI, yaitu  dengan strategi mendahului menyatakan HA dan ABC menjadi tersangka, dengan maksud selanjutnya apakah POM TNI berani mengambil putusan berbeda dengan menghentikan perkaranya.

Sekarang fokus masyarakat beralih kepada POM TNI, mempelototi apa langkah dan sikap POM TNI setelah menerima berkas HA dan ABC yang telah dijadikan tersangka oleh KPK. 

KPK percaya diri (pede) menjadikan HA dan ABC menjadi tersangka karena berdasarkan OTTnya, KPK telah menemukan minimal dua alat bukti yang kuat.

Apakah dengan adanya dua alat bukti versi KPK,  POM TNI mempunyai keberanian mempunyai sikap yang berbeda dengan menghentikan perkara ditengah sorotan masyarakat banyak.

Jadi menurut penulis segala kekisruhan yang terjadi adalah merupakan skenario dan upaya spekulasi dan strategi KPK agar bisa menjadikan dugaan perkara suap yang terjadi di Bakamla naik ke Pengadilan dan berakhir dengan dihukumnya pihak-pihak yang terlibat.

Mundurnya Direktur Penyidikan KPK merupakan misteri.

Hal lain yang merupakan keanehan dalam kasus ini dan membuat tanda tanya adalah beredarnya issue Direktur Penyidikan KPK mengundurkan diri karena adanya kesalahan dalam penyelidikan kasus pengadaan barang di Bakamla.

Brigjen Asep Guntur Rahayu dikabarkan mengundurkan diri dari jabatan Direktur Penyidikan sekaligus Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.

Pengunduran diri ini merupakan buntut dari polemik operasi tangkap tangan atau OTT terhadap perwira TNI dalam kasus dugaan suap di Basarnas.

Pola dan etika mengundurkan diri ketika ada kesalahan, rasanya belum merupakan adab dan kebiasaan pejabat di Indonesia.

Selain itu seandainya memang dicari siapa yang bersalah sebenarnya dalam kasus ini berdasarkan UU KPK adalah para petinggi KPK.

Kesalahan dalam melakukan wewenang penyelidikan dan menetapkan seseorang berdasarkan Pasal 6 ayat c UU KPK terletak di Lembaga KPK itu sendiri, bukan tanggung jawab penyidik.

Artinya secara teknis yang menentukan apakah seseorang menjadi tersangka adalah pimpinan KPK, sedangkan penyidik sekedar menjalankan tugas menyajikan data.

Hal demikian selaras dengan Pasal 3 dan Pasal 21 ayat 1 UU KPK yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Lembaga KPK adalah Pimpinan KPK bersama dengan komisioner lainnya, sedangkan Pegawai KPK hanya sebagai pelaksana tugas.

Kenapa dalam kasus kesalahan prosedur menetapkan HA dan ABC sebagai tersangka yang mengundurkan diri adalah Direktur Penyidikan KPK yang nota bene hanyalah pegawai KPK, bukan Pimpinan KPK.

Kalau berdasarkan ketentuan UU KPK seharusnya yang mengundurkan diri adalah Pimpinan KPK.

Keanehan pengunduran diri Direktur Penyidikan KPK merupakan hal yang perlu dipertanyakan dan membutuhkan jawaban yang masuk akal agar perkara ini jadi transparan dan dimengerti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun