KPK percaya diri (pede)Â menjadikan HA dan ABC menjadi tersangka karena berdasarkan OTTnya, KPK telah menemukan minimal dua alat bukti yang kuat.
Apakah dengan adanya dua alat bukti versi KPK, Â POM TNI mempunyai keberanian mempunyai sikap yang berbeda dengan menghentikan perkara ditengah sorotan masyarakat banyak.
Jadi menurut penulis segala kekisruhan yang terjadi adalah merupakan skenario dan upaya spekulasi dan strategi KPK agar bisa menjadikan dugaan perkara suap yang terjadi di Bakamla naik ke Pengadilan dan berakhir dengan dihukumnya pihak-pihak yang terlibat.
Mundurnya Direktur Penyidikan KPK merupakan misteri.
Hal lain yang merupakan keanehan dalam kasus ini dan membuat tanda tanya adalah beredarnya issue Direktur Penyidikan KPK mengundurkan diri karena adanya kesalahan dalam penyelidikan kasus pengadaan barang di Bakamla.
Brigjen Asep Guntur Rahayu dikabarkan mengundurkan diri dari jabatan Direktur Penyidikan sekaligus Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.
Pengunduran diri ini merupakan buntut dari polemik operasi tangkap tangan atau OTT terhadap perwira TNI dalam kasus dugaan suap di Basarnas.
Pola dan etika mengundurkan diri ketika ada kesalahan, rasanya belum merupakan adab dan kebiasaan pejabat di Indonesia.
Selain itu seandainya memang dicari siapa yang bersalah sebenarnya dalam kasus ini berdasarkan UU KPK adalah para petinggi KPK.
Kesalahan dalam melakukan wewenang penyelidikan dan menetapkan seseorang berdasarkan Pasal 6 ayat c UU KPK terletak di Lembaga KPK itu sendiri, bukan tanggung jawab penyidik.
Artinya secara teknis yang menentukan apakah seseorang menjadi tersangka adalah pimpinan KPK, sedangkan penyidik sekedar menjalankan tugas menyajikan data.
Hal demikian selaras dengan Pasal 3 dan Pasal 21 ayat 1 UU KPK yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Lembaga KPK adalah Pimpinan KPK bersama dengan komisioner lainnya, sedangkan Pegawai KPK hanya sebagai pelaksana tugas.