Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Di Jepang, Sampah Disimpan Di Dalam Kulkas

25 Juni 2023   09:04 Diperbarui: 25 Juni 2023   10:25 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Jepang, Sampah Disimpan Di Dalam Kulkas.

Oleh Handra Deddy Hasan

Penulis punya kebiasaan rutin minimal 3 kali seminggu berjalan kaki untuk menjaga kebugaran dan kesehatan.

Setiap melakukan aktifitas jalan kaki penulis melakukannya kira-kira dalam jangka waktu 40 menit untuk menempuh jarak sekitar 4 km-5 km di lingkungan perumahan penulis bertempat tinggal di salah satu perumahan di Bekasi.

Penulis melakukannya dengan sukarela dan senang hati, kecuali ada momen-momen tertentu, dimana kegiatan jalan kaki menjadi menyebalkan dan tidak sehat.

Biasanya terjadi pada musim panas seperti bulan Juni saat ini, banyak warga yang membakar sampah di depan rumahnya. Apalagi sampah yang dibakar berupa sampah plastik, asapnya sangat menusuk hidung dan membuat sesak paru-paru, sehingga sukar untuk bernafas dengan nyaman.

Alih-alih menjadi sehat dan bugar dengan berjalan kaki, malah bisa-bisa dapat penyakit pernafasan yang serius. 

Kalau sudah kejadian begini penulis pasrah, berusaha untuk menahan nafas ketika melewati asap pembakaran sampah, namun kalau ternyata pembakaran sampahnya dilakukan oleh beberapa rumah tangga secara masif dan serentak, terpaksa penulis membatalkan agenda jalan kaki hari itu.

Padahal sesuai dengan  ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UU Pengelolaan Sampah) Pasal 29 Ayat 1 huruf g menegaskan, setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.

Terkait dengan larangan pembakaran sampah Pemprov DKI Jakarta menetapkan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Sementara itu, di Jawa Barat, Pemprov setempat telah menetapkan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah di Jawa Barat.

Sehingga dengan demikian di Bekasi berlaku Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 12 tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah Di Jawa Barat (Perda Pengelolaan Sampah Jabar), yang melarang membakar sampah di ruang terbuka yang tidak sesuai dengan persyararan teknis pengelolaan sampah.

Bagi siapa saja yang melanggarnya berdasarkan ketentuan Pasal 57 Perda Pengelolaan Sampah Jabar dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah).

Bahaya Membakar Sampah.

Terlepas dari masalah aturan Undang-undang berikut sanksinya, seharusnya masyarakat paham bahwa membakar sampah bukanlah  cara pengelolaan sampah yang benar dan tidak menyehatkan baik bagi manusia maupun lingkungan.

Membakar sampah memiliki banyak bahaya dan dampak negatif, baik bagi lingkungan maupun kesehatan manusia.

Proses pembakaran sampah menghasilkan emisi berbahaya seperti partikel-partikel debu, zat kimia beracun, dan gas beracun seperti karbon monoksida, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida.

Pencemaran udara ini dapat menyebabkan masalah pernapasan, iritasi mata, gangguan kesehatan kronis, dan peningkatan risiko penyakit pernapasan seperti asma, bronkitis, dan kanker paru-paru.

Apalagi pembakaran sampah dilakukan disekitar orang yang sedang melakukan olah raga seperti berlari atau berjalan kaki, maka efeknya akan lebih signifikan, karena ketika sedang berolah raga pernafasan akan terjadi lebih cepat untuk memenuhi kebutuhan oksigen lebih banyak.

Ada lagi resiko bahaya yang tidak terduga, yaitu pembakaran sampah yang tidak terkendali dapat menyebabkan kebakaran yang serius.

Jika api tidak dikendalikan dengan baik, dapat dengan cepat menyebar ke area sekitarnya, termasuk bangunan rumah yang menyebabkan kerugian properti dan bahkan mengancam nyawa.

Budaya Masyarakat Membakar Sampah Di Perkotaan.

Sebagaimana kita ketahui masyarakat perkotaan Indonesia yang berada di Jakarta dan sekitarnya seperti Bekasi mayoritas imigran dari desa awalnya.

Kebiasaan dan budaya membakar sampah yang dilakukan didesa asal terbawa-bawa otomatis ketika sudah bermigrasi ke kota seperti Jakarta, Bekasi dan sekitarnya.

Kalau di desa membakar sampah, mungkin masih bisa kita terima karena kurangnya akses ke fasilitas pengolahan sampah yang memadai dan jarak antar rumah yang relatif jauh (tidak padat).

Beberapa daerah terpencil atau kawasan pedesaan mungkin tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk mengelola sampah secara efektif. Akibatnya, orang-orang di wilayah-wilayah tersebut mungkin merasa bahwa membakar sampah adalah satu-satunya cara yang mereka miliki untuk menghilangkan limbah mereka.

Efek negatif membakar sampah didesa tentunya tidak seganas kalau kita membakar sampah di perumahan kota yang padat penduduk.

Selain itu, kurangnya kesadaran akan dampak negatif dari pembakaran sampah juga menjadi faktor penting yang membuat perilaku membakar sampah di kota terjadi.

Beberapa orang mungkin tidak menyadari bahwa membakar sampah dapat menghasilkan polusi udara yang merugikan kesehatan manusia dan merusak lingkungan.

Padahal di perkotaan sudah diatur sedemikian rupa dimana Pemerintah kota telah menyediakan mekanisme pengelolaan sampah dengan menerjunkan secara berkala petugas berikut truk-truk sampah mengumpulkan dan memungut sampah warga di daerah perumahan yang sudah tertata.

Sehingga dibutuhkan edukasi masyarakat tentang dampak negatif dari pembakaran sampah dan pentingnya pengelolaan sampah yang bertanggung jawab untuk mengubah perilaku dan budaya meminimalkan penggunaan metode pembakaran sampah yang berbahaya.

Budaya Masyarakat Jepang Dalam Mengelola Sampah.

Penulis tidak tahu persis apakah di Jepang ada Undang-Undang yang mengatur tentang Pengelolaan Sampah.

Akan tetapi penulis sempat merasakan dan terlibat secara langsung bagaimana budaya masyarakat Jepang dalam mengelola sampah sehari-hari.

Pengalaman tersebut penulis rasakan ketika penulis mengunjungi anak sulung penulis bernama Anisa yang telah bertahun-tahun study dan bekerja di Jepang.

Pada bulan Maret musim semi tahun 2018 sebelum pandemi penulis mengunjungi Anisa di Jepang dan sempat tinggal 10 (sepuluh) hari di apartemennya berlantai 5 di kota Nagoya.

Nagoya adalah kota dengan nomor urutan keempat terbesar di Jepang berdasarkan populasi setelah Tokyo, Yokohama dan Osaka.

Pada waktu itu suhu berkisar 12C hingga 15C, cukup dingin bagi penulis yang berasal dari daerah khatulistiwa. Cuaca umumnya cerah dengan sinar matahari yang lebih sering muncul, tetapi masih ada turun hujan sesekali.

Nagoya berjarak sekitar 366 kilometer dan terletak di sebelah Barat Daya Tokyo.

Perjalanan dari Tokyo ke Nagoya dapat dicapai dengan perjalanan kereta api cepat Shinkansen dengan memakan waktu sekitar 1,5 hingga 2 jam.

Pengalaman menarik, mengagetkan yang pertama penulis temui masalah sampah adalah ketika suatu malam ketika semua orang sudah tidur pulas penulis merasa kelaparan.

Mulailah penulis berkeliaran dalam apartemen untuk mencari makanan dan berakhir dengan mulai membuka kulkas.

Setelah melihat-lihat sebentar dan mulai membongkar isi kulkas, penulis tertarik kepada satu plastik yang tertutup rapat.

Penasaran dan mengira didalam plastik tersebut ada makanan yang bisa dimakan, penulis membukanya dan alangkah mengagetkan bahwa isinya dipenuhi dengan sayur mentah busuk, kulit buah, kulit telur dan sampah organik lainnya.


Besok paginya, penulis punya kesempatan untuk bertanya kepada Anisa kenapa ada sampah di dalam kulkas. Sambil tertawa Anisa menjelaskan bahwa kebudayaan masyarakat Jepang sangat jauh berbeda dengan masyarakat Indonesia mengelola sampah.

Di Jepang sistim pemilahan mengelola sampah rumah tangga dibagi dalam 4 (empat) katagori Moeru Gomi, Moenai Gomi, Shigen Gomi dan Sodai Gomi.

Di Indonesia berdasarkan UU Pengelolaan Sampah dan Perda masing-masing daerah juga mengenal pemilahan, pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai jenis, jumlah dan/atau sifat sampah. Perbedaannya antara Jepang dan Indonesia adalah terletak dalam pelaksanaan sehari-hari masyarakatnya.

Di Indonesia ketentuan pemilahan katagori sampah sekedar tercantum dalam aturan Undang-undang dan Perda sedangkan di Jepang merupakan budaya dan perilaku masyarakat yang dikerjakan setiap hari dalam pengelolaan sampah.

1. Moeru Gomi, merupakan sampah utama yang dihasilkan rumah tangga, seperti sisa makanan dan kertas bekas, termasuk ke dalam sampah yang dapat dibakar.

2. Moenai Gomi merupakan sampah seperti logam, kaca, dan sampah lainnya yang tidak bisa didaur ulang termasuk ke dalam sampah yang tidak dapat dibakar. Wajan dan cangkir kaca sudah pasti masuk ke dalam kategori ini.

3. Shigen Gomi merupakan sampah daur ulang terdiri dari kaleng, botol plastik, botol kaca, tutup botol, bungkus makanan ringan, dan lain-lain.

4. Sodai gomi merupakan sampah barang-barang besar yang sudah tidak terpakai. Umumnya, dianggap barang besar jika ukuran panjangnya lebih dari 50 cm. Contohnya seperti lemari, selimut, sepeda dan lain-lain.

Di Nagoya tempat lokasi apartemen Anisa bertempat tinggal  menetapkan hari-hari tertentu untuk membuang sampah. Yaitu sampah utama rumah tangga sehari-hari yang dapat dibakar (Moeru Gomi) dikumpulkan pada hari Rabu, sampah yang tidak dapat dibakar (Moenai Gomi) pada hari Jumat, dan seterusnya katagori Shigen Gomi pada hari lain.

Menurut penuturan Anisa pemerintah daerah setempat menetapkan waktu pembuangan sampah sampai dengan pukul 8.00 pagi di hari pengambilan. Selain itu pemerintah setempat juga melarang warganya untuk membuang sampah sehari sebelum jadwal pengambilan.

Jadi kita tidak bisa membuang sampah ke tempat sampah sesuka hati. Misal sampah organik rumah tangga seperti sayur busuk, kulit telur dan lain-lain yang masuk ke katagori sampah yang dapat dibakar (Moeru Gomi) akan diambil tukang sampah pada hari Rabu jam 8.00 pagi.

Sehingga setiap warga yang akan membuang sampah katagori Moeru Gomi pada hari Rabu harus menaruh sampahnya di tempat sampah pada hari Rabu sebelum jam 8.00 pagi.

Penulis sempat merasakan pada hari Rabu pagi di Nagoya terbirit-birit menggotong sampah Moeru Gomi dari lantai 4 apartemen karena sudah dekat tenggat waktu jam 8.00 pagi.

Kalau lewat waktunya terpaksa menunggu pengambilan sampah Moeru Gomi hari Rabu minggu depan.

Selama menunggu selama 7 (tujuh) hari pengambilan minggu depan kita tidak boleh meninggalkan sampah tersebut di tempat sampah yang disediakan apartemen, karena aturannya warga tidak boleh membuang sampah sehari sebelum jadwal pengambilan.

Konsekwensinya semua sampah yang belum jadwal pengambilan harus disimpan didalam apartemen masing-masing  warga.

Inilah rupanya penjelasan logis kenapa orang Jepang menyimpan sampah di dalam kulkas.

Bisa dibayangkan kalau sampah organik disimpan didalam apartemen secara terbuka selama 1 minggu, seperti apa bau yang akan dihasilkannya, sehingga akhirnya disimpan dalam kulkas.

Hal lain yang membikin kagum penulis tentang kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Jepang dalam mengelola sampah adalah ketika melihat Anisa memperlakukan sampah dimana semua sampah yang akan dibuang harus dicuci dan dibersihkan dahulu. Misalnya botol-botol baik plastik ataupun kaca sebelum dibuang, sisa isinya harus dikeluarkan,  dicuci bersih.

Setelah selesai dicuci dan dibersihkan serta dikeringkan kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik sampah sesuai katagori dan warnanya yang disediakan pemerintah.

Selanjutnya akan ditaruh di pojok apartemen untuk menunggu jadwal pengambilan, sedangkan yang organik disimpan dalam plastik dan ditaruh di dalam kulkas agar baunya tidak mengganggu seluruh apartemen.

Khusus untuk sampah besar Sodai gomi berupa barang-barang besar yang sudah tidak terpakai perlakuannya berbeda.

Khusus untuk setiap kali akan membuang sampah besar, hanya dibatasi maksimal 3 (tiga) barang per hari. Sebelum membuangnya harus menghubungi pusat pengumpulan sampah terlebih dahulu untuk menentukan jadwal pengambilan sebelum membuangnya keluar.

Tidak semua sampah besar dapat kita buang begitu saja. Jepang sangat ketat dalam memberlakukan aturan dalam membuang sampah besar.

Jika mempunyai barang-barang elektronik yang telah rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi dan akan dibuang. Kalau di Indonesia tinggal panggil tukang loak dan masih ada harga dan memperoleh uang dari tukang loak atas barang-barang rongsok tersebut. Berbeda dengan di Jepang malah kita harus membayar biaya daur ulang sebesar 1.000 (seribu) hingga 6.000 (enam ribu) yen setara dengan Rp 105.000,- (seratus Lima ribu rupiah) hingga Rp 630.000,- (enam ratus tiga puluh ribu rupiah) ke toko di mana kita membeli barang elektronik tersebut. Sampah besar berbayar tersebut contohnya seperti AC, kulkas, mesin cuci, televisi, dan lain-lain

Hal yang tidak pernah penulis lupakan adalah ketika suatu hari penulis jalan bareng dengan Anisa melihat musium Tokugawa Art Museum di Nagoya bareng teman-teman Jepangnya.

Tokugawa Art Museum menyimpan koleksi seni dan artefak budaya dari periode Edo. Pengunjung dapat melihat karya seni, kerajinan, perhiasan, dan peralatan yang dihubungkan dengan keluarga Tokugawa, yang merupakan keluarga samurai yang berkuasa di Jepang pada masa itu.

Salah satu teman Anisa orang Jepang asli sebut saja namanya Kenta, termasuk perokok berat. Menjadi perokok di Jepang akan jadi kelompok minoritas karena tempat merokok sangat terbatas.

Jadi kasihan kalau lihat perokok yang nagih pengen merokok mencari tempat merokok karena Tokugawa Art Musium yang kami kunjungi tidak menyediakan tempat merokok. Ketika itu penulis walau tidak merokok lagi ikut-ikutan mencari tempat merokok yang memungkinkan agar Kenta bisa merokok.

Akhirnya kami menemukan tempat merokok yang masih diperbolehkan di suatu tempat di pinggir jalan terpencil diluar Musium. 

Dengan terburu-buru Kenta berusaha mengisap nikotin dalam waktu singkat agar terpenuhi keinginan addictnya dalam waktu relatif singkat. 

Kalau di Indonesia selesai merokok di pinggir jalan, pasti membuang sampah puntung rokoknya kemana saja di jalanan, tapi Kenta tidak melakukan demikian karena tidak membuang puntung rokoknya ke jalanan. Yang dilakukan Kenta adalah setelah memadamkan api puntung rokoknya langsung mengantongi sisa puntung rokok yang telah padam tersebut ke kantong jas yang dipakainya. 

Penulis terkesima melihatnya dan berusaha memandang Anisa minta penjelasan. Karena Anisa masa kecilnya di Indonesia dia memahami keterkejutan penulis dan menjelaskan bahwa di Jepang tidak boleh membuang sampah sembarangan, kecuali di tempat sampah yang disediakan. 

Di pinggir jalan tersebut memang tidak ada tempat sampah, sehingga Kenta mengantongi sampah puntung rokoknya, untuk nanti dibuang ke tempat sampah kalau sudah ada nanti.

Saat itu penulis jadi merenung, kapan ya masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan dan kebudayaan mengelola sampah seperti yang telah dilakukan masyarakat Jepang?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun