Jika mempunyai barang-barang elektronik yang telah rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi dan akan dibuang. Kalau di Indonesia tinggal panggil tukang loak dan masih ada harga dan memperoleh uang dari tukang loak atas barang-barang rongsok tersebut. Berbeda dengan di Jepang malah kita harus membayar biaya daur ulang sebesar 1.000 (seribu) hingga 6.000 (enam ribu) yen setara dengan Rp 105.000,- (seratus Lima ribu rupiah) hingga Rp 630.000,- (enam ratus tiga puluh ribu rupiah) ke toko di mana kita membeli barang elektronik tersebut. Sampah besar berbayar tersebut contohnya seperti AC, kulkas, mesin cuci, televisi, dan lain-lain
Hal yang tidak pernah penulis lupakan adalah ketika suatu hari penulis jalan bareng dengan Anisa melihat musium Tokugawa Art Museum di Nagoya bareng teman-teman Jepangnya.
Tokugawa Art Museum menyimpan koleksi seni dan artefak budaya dari periode Edo. Pengunjung dapat melihat karya seni, kerajinan, perhiasan, dan peralatan yang dihubungkan dengan keluarga Tokugawa, yang merupakan keluarga samurai yang berkuasa di Jepang pada masa itu.
Salah satu teman Anisa orang Jepang asli sebut saja namanya Kenta, termasuk perokok berat. Menjadi perokok di Jepang akan jadi kelompok minoritas karena tempat merokok sangat terbatas.
Jadi kasihan kalau lihat perokok yang nagih pengen merokok mencari tempat merokok karena Tokugawa Art Musium yang kami kunjungi tidak menyediakan tempat merokok. Ketika itu penulis walau tidak merokok lagi ikut-ikutan mencari tempat merokok yang memungkinkan agar Kenta bisa merokok.
Akhirnya kami menemukan tempat merokok yang masih diperbolehkan di suatu tempat di pinggir jalan terpencil diluar Musium.Â
Dengan terburu-buru Kenta berusaha mengisap nikotin dalam waktu singkat agar terpenuhi keinginan addictnya dalam waktu relatif singkat.Â
Kalau di Indonesia selesai merokok di pinggir jalan, pasti membuang sampah puntung rokoknya kemana saja di jalanan, tapi Kenta tidak melakukan demikian karena tidak membuang puntung rokoknya ke jalanan. Yang dilakukan Kenta adalah setelah memadamkan api puntung rokoknya langsung mengantongi sisa puntung rokok yang telah padam tersebut ke kantong jas yang dipakainya.Â
Penulis terkesima melihatnya dan berusaha memandang Anisa minta penjelasan. Karena Anisa masa kecilnya di Indonesia dia memahami keterkejutan penulis dan menjelaskan bahwa di Jepang tidak boleh membuang sampah sembarangan, kecuali di tempat sampah yang disediakan.Â
Di pinggir jalan tersebut memang tidak ada tempat sampah, sehingga Kenta mengantongi sampah puntung rokoknya, untuk nanti dibuang ke tempat sampah kalau sudah ada nanti.
Saat itu penulis jadi merenung, kapan ya masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan dan kebudayaan mengelola sampah seperti yang telah dilakukan masyarakat Jepang?.