Misalnya diketahui, sedikitnya 41 orang santri menjadi korban pencabulan di pondok pesantren di Sakra Timur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dua orang pelaku pemerkosaan merupakan pimpinan pondok pesantren.
Modus yang digunakan pelaku adalah dengan membuka kelas pengajian seks khusus untuk santri yang diincar. Pelaku memberi materi pengajian tentang hubungan intim suami-istri.
Dilaporkan usia korban rata-rata masih 15-16 tahun dan duduk di kelas 3 MTs/SMP.
Seluruh korban juga dijanjikan mendapatkan wajah berseri dan berkah untuk masuk surga oleh pelaku. (Regional.kompas.com 23/5/2023).
Selain itu contoh lain, sebelumnya, Â kasus pelecehan seksual juga terjadi di pondok pesantren di Provinsi Lampung.
Modusnya yang dilakukan dengan mengiming-imingi santriwati akan mendapat berkah jika bersetubuh dengan pelaku. (Cnnindonesia.com 12/1/2023)
Selain itu, terjadi kekerasan seksual kepada belasan santriwati di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, yang mana pelakunya adalah pengasuh ponpes. (Regional.kompas.com 17/4/2023).
Biasanya hingga saat ini, aparat penegak hukum biasanya menggunakan Undang-Indang Nomor 1 tahun 2016 tentang Undang-undang Perlindungan Anak dalam kasus kekerasan seksual di bawah umur karena belum adanya aturan turunan UU TPKS.
Menurut beberapa pengamat bahwa penanganan kasus kekerasan seksual seharusnya bisa lebih efektif apabila penegak hukum menerapkan pasal-pasal dalam UU TPKS.
Kekerasan Seksual Di Pondok Pesantren.
Kekerasan seksual adalah masalah yang sangat serius dan kompleks, dan bisa terjadi di berbagai tempat, termasuk di lingkungan pendidikan pondok pesantren.