Sambungan dari artikel sebelumnya berjudul Kasus Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Merupakan Kasus Penipuan Terbesar Dalam Sejarah Indonesia.
oleh Handra Deddy Hasan
Kejadian tersendatnya kewajiban pembayaran terhadap nasabah penyimpan uang Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Cipta (KSP Indosurya) pada awal tahun 2020, seharusnya sudah merupakan tanda-tanda samar ada masalah pidana yang tersembunyi.
Harapan besar dari nasabah bahwa uangnya aman dan kembali utuh dan beranggapan ketersendatan kewajiban pembayaran KSP Indosurya hanyalah masalah minor membuat masalah pidananya tenggelam tertutupi.
Akhirnya permasalahan ini diselesaikan secara hukum bisnis, yaitu dengan penyelesaian secara kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan).
Pada pasal 222 ayat (2) UU Kepailitan menyebutkan bahwa ;
"debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor".
Berdasarkan UU Kepailitan dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) posisi nasabah menjadi kreditor yang berhak atas uang simpanannya (deposito dan lain-lain) terhadap KSP Indosurya. Sedangkan KSP Indosurya sebagai debitor yang berkewajiban mengembalikan uang simpanan nasabah.
Setelah berisik dan ribut di kalangan terbatas, kasus KSP Indosurya mulai menyeruak terbuka secara nasional sekitar bulan Juni 2021. Isu KSP Indosurya menyeruak ketika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) memanggil pihak Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM). Dari acara dengar pendapat tersebut terungkap, rupanya KSP Indosurya telah gagal bayar hingga masuk dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Sebagaimana diketahui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan homologasi sebagai penyelesaian kesepakatan PKPU kasus KSP Indosurya berdasarkan Putusan Homologasi/Perdamaian Nomor. 66/PDT.SUS-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 17 Juli 2020.
Kemudian dilanjutkan dengan proses kasasi yang akhirnya mempunyai kekuatan yang pasti (in kracht van gewijsde) akhir Desember 2020 karena perkara kasasinya diputuskan oleh Mahkamah Agung.
Oleh karena telah ada Putusan Mahkamah Agung atas homogolasi PKPU KSP Indosurya maka secara hukum perdamaian antara Koperasi Indosurya dan seluruh Kreditor (nasabah penyimpan-baik yang ikut dalam Proses PKPU atau tidak) telah mengikat (Vide Pasal 286 UU Kepailitan).
Karena pada dasarnya kasus KSP Indosurya bukan masalah kesalahan bisnis yang tidak terduga dan memang senyatanya masalah penipuan, kejahatan keuangan dari awal, maka tentu saja penyelesaian perdamaian homologasi PKPU bukan penyelesaian yang memuaskan bagi para nasabah.
Ketidak puasan nasabah terefleksi ketika Menkop UKM, Teten Masduki, mengkiritik bahwa putusan PKPU tidak  ada dalil yang mengatur sanksi dalam hal kewajiban pembayaran yang dilaksanakan sesuai dengan perjanjian perdamaian saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI.
Menurut Teten, setidaknya ada empat faktor penyebabnya. Pertama, aset bukan dalam kepemilikan koperasi. Selain itu, laporan pidana membuat aset tersangka dan koperasinya disita, sehingga sulit untuk dijual. Ketiga, ada proses swap asset dengan simpanan yang dilakukan oleh anggota koperasi di luar skema homologasi, dan cara-cara lainnya," terang Teten.
Faktanya, tak bisa dipungkiri bahwa realisasinya pembayaran ganti rugi yang berasal dari PKPU, sangat rendah. Pembayaran ganti rugi baru sekitar 15,56%. Padahal, nominal kerugian kasus ini mencapai Rp 106 triliun atas 23.000 nasabah.
Sebetulnya kritik Teten atas PKPU yang lemah tidak tepat, justru terhambatnya penyelesaian PKPU dengan masalah yang diungkap Teten merupakan indikator bahwa KSP Indosurya telah digunakan untuk kejahatan pencucian uang.
Koperasi telah digunakan sebagai sarana untuk mencuci uang hasil kegiatan ilegal pidana penipuan skema Ponzi. Dalam kasus ini, koperasi telah terlibat  transaksi fiktif atau mengubah sumber dana yang berasal dari kegiatan ilegal kejahatan keuangan penipuan skema ponzi kemudian dialirkan secara tidak sah ke perusahaan lain diluar koperasi.
Kemungkinan lain bisa saja  pengurus koperasi juga telah  menyalahgunakan dana koperasi untuk membiayai gaya hidup mewah, melakukan manipulasi keuangan, atau melakukan penyelewengan dana koperasi. Semua kegiatan tersebut merupakan modus kejahatan pencucian uang.
Kritikan Teten Masduki atas PKPU, Â dimana aset KSP Indosurya menjadi tidak jelas dan pihak KSP Indosurya masih berusaha meredam nasabah yang marah dengan melakukan penipuan lagi dengan mengiming-imingi nasabah tertentu untuk membuat kesepakatan diluar homologasi resmi PKPU, justru memperlihatkan KSP Indosurya tidak akan mampu membayar kewajibannya berdasarkan aset yang ada.
Ribetnya Proses Pidana KSP Indosurya.
Sebagaimana telah disinggung di atas sebetulnya gagal bayar KSP Indosurya bukan karena masalah gagal bisnis biasa. Masalah KSP Indosurya sebetulnya murni masalah pidana penipuan dengan skema ponzi yang dilanjutkan dengan pencucian uang agar dana nasabah yang terkumpul menjadi raib.
Kasus pidana yang dilaporkan oleh para nasabah ketika menyadari mereka telah tertipu oleh KSP Indosurya berujung pada penahanan dua orang tersangka. Keduanya adalah, Ketua KSP Indosurya, Henry Surya dan Head Admin Indosurya, June Indri. Adapun satu tersangka lainnya, yaitu Suwito Ayub Direktur Operasi KSP Indosurya masih berstatus buronan.
Namun, keduanya bebas dari penahanan pada Juni tahun 2022. Alasannya karena masa penahanan 120 hari sudah habis.
Proses jalannya penyidikan mulai terasa aneh, bebasnya tersangka karena habis masa penahanan, menunjukkan penyidik tidak tangkas, atau sengaja mengulur waktu yang tidak perlu sehingga tersangka habis masa penahannya.
Beruntung masalah ini menarik perhatian Menko Polhukam Mahfud MD yang membuka suara terkait dibebaskannya dua tersangka KSP Indosurya dari rutan Bareskrim Polri.
Akhirnya Mahfud dengan serius menindak lanjuti pernyataaanya dengan melakukan komunikasi dengan Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Pusat Pelaporan dan Analisis  Transaksi Keuangan (PPATK) dan Menkop UKM bahwa kasus ini merupakan kejahatan modus baru yang tidak pernah dan tidak akan dihentikan.
Dalam perkara ini, para tersangka didakwa dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) dengan ancaman pidana 15 tahun junto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dengan ancaman pidana 20 tahun.
Berkat ikut campurnya Mahfud MD sebagai Menko  Polhukam cukup mangkus menangkal perkara ini menjadi tidak bergerak di proses penyidikan. Kemudian, memang akhirnya perkara tidak berhenti dan berlanjut ke sidang Pengadilan.
Namun, keanehan proses pidana kembali terjadi ketika putusan perkara dibacakan di Pengadilan Jakarta Barat.
Terdakwa Kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana KSP Indosurya Henry Surya divonis bebas atas segala dakwaan pada Selasa, (24/1/2023).
Pada pembacaan vonis  Hakim Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat Syafrudin Ainor menyampaikan alasannya membebaskan Henry. Menurutnya perbuatan Henry bukan merupakan tindak pidana.
Menyatakan Terdakwa Henry Surya tersebut di atas terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana, melainkan perbuatannya melakukan perbuatan yang masuk wilayah perkara perdata," ucap Syafrudin.
Henry Surya pun diminta untuk segera dikeluarkan dari Rutan Salemba Cabang Kejagung setelah sidang tersebut. Padahal, sebelumnya ia dituntut 20 tahun penjara dan denda Rp 200 miliar subsider 1 tahun kurungan dalam persidangan sebelumnya.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga memutuskan bahwa June Indria divonis lepas dari dakwaan atas kasus gagal bayar atau investasi bodong KSP Indosurya.
June divonis lepas karena disimpulkan bahwa unsur yang dimaksud ditujukan pada kegiatan yang dilakukan oleh orang perseorangan bukan
korporasi. Sedangkan June melakukan perbuatannya sesuai kewenangannya dalam kapasitas menjalankan fungsi korporasi.
Yang harus bertanggung jawab adalah pengurus yang melakukan tindakan-tindakan di luar kewenangannya," tulis Majelis Hakim dalam putusannya, dikutip Rabu (18/1/2023).
Babak Baru Kasus Pidana KSP Indosurya.
Berkat desakan ribuan masyarakat korban Koperasi Indosurya, karena demikian mudahnya para terdakwa bebas dari jeratan hukum atas kejahatannya, maka sekarang, masalah pidana KSP Indosurya memulai babak baru.
Pendiri KSP Indosurya, Henry Surya ditetapkan lagi sebagai tersangka pemalsuan dokumen dan pencucian uang. Henry Surya juga kembali mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri untuk 20 hari ke depan sejak 15 Maret 2023.
Kami menetapkan saudara HS sebagai tersangka dan saudara HS akan ditahan di Bareskrim di Rutan Bareskrim 20 hari ke depan sejak tanggal 15 (Maret) kemarin hingga bulan April 2023," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Henry Surya dijerat tindak pidana pemalsuan dan/atau tindak pidana menempatkan keterangan yang tidak sebenarnya dalam akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) dan (2) dan/atau pasal 266 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan/atau Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ( UU TPPU).
Kalau sebelumnya Henry dibidik dengan Pasal UU Perbankan yang dikombinasilan dengan UU TPPU (yang berakibat bebas dari hukum) sekarang Henry dikejar dengan KUHP yang dikombinasikan dengan UU TPPU.
Strategi penyidik mengganti pasal yang dituduhkan kepada Henry Surya agar tidak mentah lagi di Pengadilan nanti dengan tangkisan oleh Henry atau Pengacaranya dengan ne bis in idem.
Ne bis in idem adalah sebuah prinsip hukum yang berasal dari bahasa Latin yang secara harfiah berarti "tidak dua kali dalam perkara yang sama." Prinsip ini juga dikenal sebagai "double jeopardy" dalam sistem hukum Anglo-Saxon. Prinsip ne bis in idem menyatakan bahwa seseorang tidak boleh diadili atau dihukum dua kali atas tindakan yang sama dalam perkara yang sama.
Prinsip ini bertujuan untuk melindungi seseorang dari perlakuan hukum yang berlebihan atau merugikan, serta untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh otoritas hukum. Dalam praktiknya, prinsip ne bis in idem menunjukkan bahwa jika seseorang telah diadili dan dinyatakan bersalah atau bebas dalam suatu perkara, maka ia tidak dapat diadili kembali untuk tindakan yang sama dalam konteks yang sama.
Mari kita amati perjalanan kasus Koperasi Indosurya selanjutnya, apakah masih ada keanehan-keanehan hukum lagi yang akan kita saksikan. Melihat lika-liku perjalanan kasusnya yang aneh dan tidak terduga secara hukum, mengingatkan kita tentang bergunanya Undang-Undang Perampasan Aset (sedang dibahas oleh Pemerintah dan DPR).Â
Adanya Undang-undang Perampasan Aset, akan membuat pelaku kejahatan pencucian uang sulit bergerak melakukan manuver (misal mempengaruhi aparat dengan uang) karena semua aset yang dikuasainya bisa disita seluruhnya, walaupun perkaranya belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van gewijsde).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H