Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penegakan Hukum, Digas Pol atau Dibikin Kendor

31 Januari 2021   13:23 Diperbarui: 31 Januari 2021   13:33 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ketika Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih sebagai calon Kepala Polri berharap bahwa setelah menjabat nanti agar Polri menekankan pendekatan "keadilan restoratif". Menurut DPR Polri perlu paradigma baru. Prestasi kinerja Polri tidak hanya diukur kepada banyaknya kriminil yang tertangkap dan tidak hanya banyaknya tersangka yang dihadapkan ke Pengadilan.

Akhirnya calon tunggal kepala Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan visinya dalam fit dan proper di DPR bahwa Polri nantinya akan mengujudkan transformasi. Adapun transformasi yang dimaksud, kepolisian akan menjadi polisi Presisi, yakni prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan, diapresiasi. Sehubungan dengan "pendekatan restoratif" dan Polri yang humanis, Listyo menegaskan tidak semata2 untuk menciptakan kepastian hukum, tapi juga keadilan dan kemanfaatan hukum.

Listyo menegaskan dengan bahasa sederhana dengan memberi contoh bahwa tidak akan ada lagi kasus nenek Minah yang mencuri kakao, kemudian diproses hukum hanya sekedar untuk mengujudkan kepastian hukum. 

Lanjutnya, tidak boleh ada lagi seorang ibu melaporkan anaknya, kemudian kemudian ibunya diproses dan saat ini prosesnya berlanjut ke pengadilan. Hal2 tersebut tidak boleh ada lagi, kedepan kasus2 yang mengusik rasa keadilan masyarakat tidak boleh ada lagi, kata Listyo dihadapan DPR (Kompas, 21 Januari 2021).

Sementara itu untuk mengakomodasi penerapan "keadilan restoratif", penegak hukum lain Kejaksaan menerbitkan Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan fokus pada pidana yang ancaman hukumannya dibawah 5 tahun dan nilai kerugian di bawah Rp2,5 juta. 

Dalam rapat dengar pendapat di DPR Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berharap dengan peraturan tersebut, kejaksaan dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dalam dimensi yang bernuansa kamasyarakatan. 

Selain itu, kata Jaksa Agung Burhanuddin, kejaksaan akan menempatkan pemidanaan sebagai "ultimum remedium" atau upaya terakhir dalam penegakan hukum (Kompas, 27 Januari 2021). 

Kejaksaan dengan adanya peraturan tersebut bukan hanya sekedar mempunyai visi tapi telah melakukan "keadilan restoratif" karena menurut Jaksa Agung Burhanuddin sejak terbit peraturan pada 22 Juli 2020, sampai tanggal 3 Desember 2020 telah ada 222 perkara yang dihentikan penuntutannya.

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Os Hiariej, dalam kolom opini Kompas 27 Januari 2021 juga menulis tentang "keadilan restoratif" untuk menjawab masalah rumah tahanan di Indonesia yang overkapasitas.

Tulisan yang dimuat pada halaman 6 harian Kompas dengan judul "Quo Vadis" Pemasyarakatan membahas tentang overkapasitas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan (lapas/rutan) di Indonesia. 

Idealnya penghuni lapas/rutan bisa dihuni 160.000 narapidana dan tahanan, faktanya jumlah penghuni lapas/rutan membludak sebanyak 247.364 orang. Kondisi overkapasitas ini diduga menjadi penyebab masalah kebakaran, perkelahian massal dan pelarian narapidana/tahanan dan masalah lain yang selama ini terjadi di dalam lapas/rutan.

Salah satu solusi menurut Wamenkumham, sesuai dengan teori Wesley Cragg dalam "The Pratice of Punishment: Towards a Theory of Restorative Justice" bahwa pemidanaan bukan hanya semata2 hukuman penjara. Menurut Wamenkumham RUU Kitab Undang2 Hukum Pidana telah mengacu kepada paradigma modern yang berorientasi kepada keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif. Selanjutnya menurut Wamenkumham, Pidana penjara bukanlah pilihan utama, ada beberapa alternatif pidana lain yaitu pidana kerja sosial, pidana pengawasan dan pidana denda.

Ada apa dengan istilah "keadilan restoratif" ? Semua penegak hukum plus Kementrian Hukum dan HAM serta DPR menjadikannya jadi fokus utama dalam programnya.

Apakah memang selama ini penegakan hukum pidana digas pol dan sudah saatnya untuk dibikin kendor ?

 Apakah koor indah menyuarakan keadilan restoratif merupakan kesadaran kolektif yang muncul tiba2 dari "stake holder" hukum mengindikasikan bahwa selama ini mereka telah melakukan penegakan hukum secara membabi buta tanpa menghiraukan rasa keadilan masyarakat (penegakan hukum digas pol)?

Dan saatnya sekarang melihat alternatif lain untuk lebih melihat kepada substansi penegakan hukum yaitu mencari keadilan (saatnya dibikin kendor) ?

Teori Keadilan Restoratif.

Agar kita paham dengan teori keadilan restoratif dalam penegakan hukum pidana perlu disampaikan beberapa deffinisi yang telah dirumuskan para pakar hukum.
 
Mirian Liebman mempunyai deffinisi keadilan restorarif " Reatorative justice has become the term generally used for an approach to criminal justice (and other justice system such as a school diciplinary system) that emphasizes restoring the victim and community rather than punishing the offender". 

Keadilan restoratif telah menjadi suatu istilah yang sudah umum digunakan dalam pendekatan pemidanaan (sebagai bentuk sistim pemidanaan lain seperti sistim pendisplinan di sekolah) yang menekankan kepada konsep menempatkan kembali korban dan lingkungan kepada keadaan semula dibanding menghukum sang pelaku tindak pidana (Restorative justice : How it Work).

Menurut Bagir Manan, secara umum pengadilan restoratif adalah penataan kembali sistim pemidanaan yang lebih adil, baik bagi pelaku, korban maupun masyarakat (Majalah Varia Peradilan, Tahun XX, No 247, Juli 2006).

Jadi penegakan hukum dengan pendekatan restoratif menempatkan pelaku kejahatan dan korban dalam posisi berhadapan langsung menyelesaikan masalahnya dengan musyawarah sehingga mencapai rasa keadilan bagi para pihak.

Hukum pidana yang masuk wilayah hukum publik seperti ditarik menjadi hukum privat (perdata).

Untuk terciptanya iklim perdamaian ini dibutuhkan kesadaran dari pelaku bahwa dia telah melakukan kesalahan dengan melakukan tindak pidana. Pelaku akan merasa bebas dari bersalah dengan memberikan kompensasi misalnya dengan uang denda sebagai permintaan maaf.

Sebaliknya korban juga dengan legowo dan tidak merasa dendam dengan apa yang menimpanya, malah dapat memahami akibat tindak pidana yang menimpanya. Korban tidak lagi menuntut pembalasan yang berujud hukuman penjara atau hukuman badan lain, tapi lebih cenderung menuntut ganti rugi atas apa yang menimpanya.

Agar mediasi yang berujung dengan kesepakatan berlangsung adil harus dibantu oleh masyarakat melalui tokoh2 masyarakat, teman2 pelaku/korban, lingkungan. Peranan masyarakat disini bukan saja sebagai mediator, juga berfungsi sebagai solusi pemulihan keadilan karena rusaknya tatanan sosial akibat tindak pidana yang dilakukan pelaku.

 Peran polisi sebagai lembaga penegak hukum publik yang dominan menjadi jauh berkurang. Polisi yang berfungsi mewakili negara untuk menegakkan hukum pidana dalam sistim konvensional hanya berperan sebagai pembimbing yang memformalkan kesepakatan antara pelaku kejahatan dan korban. Posisi dan peran yang dimainkan oleh polisi dalam penegakan hukum restoratif menjadi humanis akomodatif dibanding harus menjadi galak, tegas dan provokatif.

Partisipasi aktif dari pelaku,  korban dengan mediasi masyarakat dan aparat penegak hukum dalam penyelesaian penegakan tindak pidana secara restoratif menghilangkan lobang hitam sosial yang ditimbulkan dari kejahatan. Keadaan sosial masyarakat kembali kepada keadaan semula tanpa ada rasa dendam dan permusuhan.

Keadaan ini yang tidak akan didapatkan dalam penegakan hukum pidana konvensional, walaupun pelaku kejahatan dihukum dengan hukuman penjara. Rasa dendam antara pelaku dan korban bisa memicu dan berlanjut dengan tindak pidana oleh pelaku lain yang merupakan kerabat atau wakil dari suatu kumpulan masyarakat, baik dari pihak pelaku maupun korban.

Jadi penyelesaian penegakan keadilan restoratif juga efektif untuk meminimalkan atau merupakan solusi yang preventif untuk mengurangi kejahatan yang sama atau kejahatan ikutan dari kejahatan semula.

Namun tentunya tidak semua kejahatan bisa diselesaikan dengan cara pendekatan keadilan restoratif. Selain harus tetap didasarkan kepada aturan hukum yang ada, juga keadilan restoratif lebih gampang dibicarakan di atas kertas dan sulit dilakukan dalam prakteknya.

Praktek Pendekatan Penegakan Hukum Secara Keadilan Restoratif

Walaupun secara teori "keadilan restoratif" baru dikenal di Indonesia pada tahun sekitar 1960, namun dalam praktek Indonesia telah mengenal lama. Sejak jaman penjajahan Belanda, Indonesia telah mempraktekkan sistim pidana keadilan restoraktif.

Sebagai mana kita ketahui pada jaman kolonial bagi kaum pribumi tidak semua perkaranya akan diadili oleh Landraad (Pengadilan Negeri sekarang). Sebelum masuk ke Landraad ada lembaga2 adat atau lembaga mediasi seperti NegorijRechtbank (pengadilan desa), Magistraat (Dewan Musyawarah Desa), Pengadilan Swapraja, Pengadilan Adat yang melakukan pendekatan secara keadilan restoratif berdasarkan hukum Islam dan/atau hukum adat. Dalam praktek keadilan restoraktif telah berlaku dan dipraktekkan di masyarakat Minangkabau, Bali, Toraja, Papua dan masyarakat tradisional lainnya di Indonesia.

Salah satu contoh penegakan hukum setelah Indonesia merdeka secara keadilan restoratif terjadi di Lombok Tengah. Pada bulan Juli 2020 Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah AKP Priyono menolak melayani laporan seorang anak berinisial M (40 tahun) yang melaporkan ibunya K (60 tahun) untuk tindak pidana pencurian/penggelapan (Pasal 362/372 KUHPidana). 

Adapun laporan pidana yang dilakukan oleh sang anak didasari karena sang ibu telah mengambil dan menguasai sepeda motor yang dibeli dari harta warisan ayah (sudah meninggal). Alih2 melanjutkan kasus pidana ini, polisi malah bersedia membayar kerugian yang diderita korban dengan syarat sang anak (korban) bersedia meminta maaf kepada ibunya (terlapor) karena telah durhaka.


Polres Lombok Tengah tidak membabi buta menegakkan pasal2 pidana kepada K (60) sang ibu, malah membimbing, mengajak dan melakukan mediasi dengan M (40) sang anak sebagai pelapor.

Tindakan dan putusan polisi untuk merehabilitasi para pencandu narkoba dan sejenisnya dibanding menghukum mereka dengan penjara merupakan bentuk tindakan yang menghadirkan keadilan restoratif dalam pemidanaan pencandu narkoba.

Polisi mempunyai hak diskresi sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat 1 Undang2 No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Yaitu demi kepentingan umum Polri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya boleh bertindak menurut penilaiannya sendiri.

 Visi yang disampaikan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sewaktu fit dan proper test di Komisi III DPR tentang penegakan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif ada dasar hukumnya.
Tinggal sekarang apakah ada kemauan keras dan niat baik  dari Kapolri dan jajaran dibawahnya untuk memenuhi janji menghadirkan keadilan restoratif.

Polri tidak perlu harus menunggu KUHPidana yang baru agar bisa menghadirkan keadilan restoratif di tengah masyarakat.

Hal yang lazim juga dilakukan masyarakat apabila terjadi kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian, menempuh cara "damai" dalam menyelesaikan kasusnya.

Contoh yang populer tentang kecelakaan maut lalu lintas terjadi pada anak pasangan artis Ahmad Dhani dan Maia Estanti, Abdul Qodir Jaelani alias Dul (13 tahun). Kecelakaan terjadi Minggu dini hari tanggal 9 September 2013 di toll Jagorawi KM 8 di jalur 3 dan 4 arah Jakarta. 

Kecelakaan bermula dari mobil Mitsubishi Lancer yang dikendarai Dul dipacu dalam kecepatan tinggi sehingga terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa 7 orang. Dul dituntut melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 310 ayat 2,3, dan 4 Undang2 No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


Pada tanggal 16 Juli 2014 Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur yang diketuai oleh Petriyanti membebaskan Dul dari hukuman penjara. Alasan utama Majelis hakim membebaskan Dul dari hukuman penjara adalah karena adanya perdamaian antara pihak keluarga korban yang meninggal dengan pihak keluarga pelaku. 

Adapun materi perdamaiannya antara lain,  Ahmad Dhani selaku ayah Dul telah membebaskan seluruh biaya keluarga yang meninggal. Selain daripada itu Ahmad Dhani bersedia menanggung seluruh biaya hidup dan biaya sekolah anak2 korban sampai selesai.

Majelis hakim Pengadilan Jakarta Timur yang diketuai oleh Petriyanti telah melakukan penegakan hukum keadilan restoratif melalui putusannya.

Hal tersebut memungkinkan karena dalam Pasal 28 ayat 1 Undang2 No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai2 hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".
Dalam Pasal 28 ayat 2 UU yang sama dituliskan " Dalam pertimbangan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat baik dan jahat terdakwa".

Seharusnya tidak ada alasan lagi untuk tidak menghadirkan keadilan restoratif dalam sistim pemidanaan Indonesia, walaupun KUHPidana yang berlaku sekarang belum menganut sistim keadilan restroratif. Alasan bahwa harus menunggu KUHPidana baru yang sedang digodog di DPR dan entah kapan akan selesainya merupakan alasan yang dibuat2. 

Dengan dasar hukum yang ada, para penegak hukum dari polisi, jaksa dan hakim bisa berperanan menjadi mediator, bertindak untuk menghadirkan keadilan restoratif, dibandingkan membabi buta untuk menghukum pelaku kejahatan dengan hukuman penjara.

Keuntungan menghadirkan keadilan restoratif selain dari menghadirkan keadilan yang lebih substantif dan preventif juga penegakan hukum lebih efisien dan efektif. Jangka waktu pemrosesan kasus lebih singkat, tidak bertele2, sehingga permasalahan penumpukan perkara di setiap jajaran pengadilan khususnya Mahkamah Agung tidak terjadi. Serta masalah overkapasitas rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan mendapatkan solusi.

Permasalahan akan timbul dalam praktek, apakah seluruh aparat penegak hukum yang ada memahami konsep keadilan restoratif secara mendalam sekaligus mengerti bahwa sistim ini telah dilindungi oleh aturan2 yang memadai.

Ketidak pahaman aparat penegak hukum dalam prakteknya akan merupakan kendala bagi terciptanya keadilan restoratif.

Kalau masih ada penegak hukum yang merasa bahwa perdamaian antara pelaku dan korban bisa terjadi karena kebaikan hati aparat sehingga kasus dihentikan atas jasa aparat penegak hukum. Akibatnya aparat penegak hukum meminta imbalan kepada para pihak atas jasanya. Apabila hal ini masih terjadi, maka jangan mimpi keadilan restoratif bisa terwujud. 

Ini bukan bentuk aplikatif dari sistim keadilan restoratif tapi malah memberi contoh tindak pidana korupsi suap menyuap. Sebaik apapun nanti aturan KUHPidana baru menganut sistim keadilan restoratif tidak akan membantu mengujudkannya, apabila mental aparat masih seperti contoh diatas.

Menghadirkan keadilan restoratif dalam sistim pemidanaan Indonesia sangat tergantung kepada pemahaman yang mendalam dan itikad baik dari seluruh aparat penegak hukum.

Visi Kepala Polri yang didukung oleh UU Kepolisian, Peraturan Kejaksaan Agung dan UU Kekuasaan Kehakiman dan KUHPidana baru (akan ada) baru merupakan salah satu syarat.
Syarat yang paling utama adalah pemahaman yang holistik dan niat baik dari seluruh aparat penegak hukum.
Apabila hal tersebut terpenuhi maka Indonesia sudah boleh disejajarkan dengan negara2 maju dalam sistim pemidanaan dengan metode pendekatan keadilan restoratif.

Namun tidak semua peristiwa tindak pidana dapat diberlakukan sistim keadilan restoratif, tindak pidana korupsi atau tindak pidana pengedaran narkoba tentunya termasuk yang tidak bisa menerapkan sistim pemidanaan restoratif. 

Sebaliknya tindak pidana seperti menolak vaksinasi (pasal 9 ayat 1 UU No 6 tahun 2018) atau tindak pidana pelanggaran perizinan pengelolaan zakat (Pasal 38 UU No 23 tahun 2011) sudah sewajarnya aparat penegak hukum menerapkan ultimum remedium (penegakan hukum dengan ancaman hukuman merupakan langkah terakhir).

Ada kriiteria2 tertentu dari tindak pidana yang bisa diaplikasikan kedalam sistim keadilan restoratif. Aturan2 yang ada memang belum memadai dan berserakan dalam UU yang sifatnya sektoral.

 Di kepolisian bisa kita lihat dalam UU kepolisian yang membuat Polri sebagai penyidik mempunyai hak diskresi untuk menolak dan menghentikan suatu kasus demi kepentingan umum.

Di jajaran Kejaksaan berlaku peraturan internal Kejaksaan Agung yang mengatur bahwa dengan kriteria maksimal ancaman hukuman 5 tahun dan nilai kerugian maksimal Rp 2,5 juta dapat menerapkan sistim keadilan restoratif untuk menghentikan perkara.

Begitu juga di lembaga pengadilan, hakim dapat berpedoman kepada UU Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai2 hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Adagium Fiat Justitia Ruat Caelum (walaupun langit akan runtuh, namun keadilan harus ditegakkan) bukan berarti menegakkan hukum membabi buta demi untuk menjatuhkan hukuman. Ada alternatif penegakan hukum yang lebih menyentuh substansi keadilan dengan menerapkan sistim keadilan restoratif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun