Hukum pidana yang masuk wilayah hukum publik seperti ditarik menjadi hukum privat (perdata).
Untuk terciptanya iklim perdamaian ini dibutuhkan kesadaran dari pelaku bahwa dia telah melakukan kesalahan dengan melakukan tindak pidana. Pelaku akan merasa bebas dari bersalah dengan memberikan kompensasi misalnya dengan uang denda sebagai permintaan maaf.
Sebaliknya korban juga dengan legowo dan tidak merasa dendam dengan apa yang menimpanya, malah dapat memahami akibat tindak pidana yang menimpanya. Korban tidak lagi menuntut pembalasan yang berujud hukuman penjara atau hukuman badan lain, tapi lebih cenderung menuntut ganti rugi atas apa yang menimpanya.
Agar mediasi yang berujung dengan kesepakatan berlangsung adil harus dibantu oleh masyarakat melalui tokoh2 masyarakat, teman2 pelaku/korban, lingkungan. Peranan masyarakat disini bukan saja sebagai mediator, juga berfungsi sebagai solusi pemulihan keadilan karena rusaknya tatanan sosial akibat tindak pidana yang dilakukan pelaku.
 Peran polisi sebagai lembaga penegak hukum publik yang dominan menjadi jauh berkurang. Polisi yang berfungsi mewakili negara untuk menegakkan hukum pidana dalam sistim konvensional hanya berperan sebagai pembimbing yang memformalkan kesepakatan antara pelaku kejahatan dan korban. Posisi dan peran yang dimainkan oleh polisi dalam penegakan hukum restoratif menjadi humanis akomodatif dibanding harus menjadi galak, tegas dan provokatif.
Partisipasi aktif dari pelaku, Â korban dengan mediasi masyarakat dan aparat penegak hukum dalam penyelesaian penegakan tindak pidana secara restoratif menghilangkan lobang hitam sosial yang ditimbulkan dari kejahatan. Keadaan sosial masyarakat kembali kepada keadaan semula tanpa ada rasa dendam dan permusuhan.
Keadaan ini yang tidak akan didapatkan dalam penegakan hukum pidana konvensional, walaupun pelaku kejahatan dihukum dengan hukuman penjara. Rasa dendam antara pelaku dan korban bisa memicu dan berlanjut dengan tindak pidana oleh pelaku lain yang merupakan kerabat atau wakil dari suatu kumpulan masyarakat, baik dari pihak pelaku maupun korban.
Jadi penyelesaian penegakan keadilan restoratif juga efektif untuk meminimalkan atau merupakan solusi yang preventif untuk mengurangi kejahatan yang sama atau kejahatan ikutan dari kejahatan semula.
Namun tentunya tidak semua kejahatan bisa diselesaikan dengan cara pendekatan keadilan restoratif. Selain harus tetap didasarkan kepada aturan hukum yang ada, juga keadilan restoratif lebih gampang dibicarakan di atas kertas dan sulit dilakukan dalam prakteknya.
Praktek Pendekatan Penegakan Hukum Secara Keadilan Restoratif
Walaupun secara teori "keadilan restoratif" baru dikenal di Indonesia pada tahun sekitar 1960, namun dalam praktek Indonesia telah mengenal lama. Sejak jaman penjajahan Belanda, Indonesia telah mempraktekkan sistim pidana keadilan restoraktif.