Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ketika Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih sebagai calon Kepala Polri berharap bahwa setelah menjabat nanti agar Polri menekankan pendekatan "keadilan restoratif". Menurut DPR Polri perlu paradigma baru. Prestasi kinerja Polri tidak hanya diukur kepada banyaknya kriminil yang tertangkap dan tidak hanya banyaknya tersangka yang dihadapkan ke Pengadilan.
Akhirnya calon tunggal kepala Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan visinya dalam fit dan proper di DPR bahwa Polri nantinya akan mengujudkan transformasi. Adapun transformasi yang dimaksud, kepolisian akan menjadi polisi Presisi, yakni prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan, diapresiasi. Sehubungan dengan "pendekatan restoratif" dan Polri yang humanis, Listyo menegaskan tidak semata2 untuk menciptakan kepastian hukum, tapi juga keadilan dan kemanfaatan hukum.
Listyo menegaskan dengan bahasa sederhana dengan memberi contoh bahwa tidak akan ada lagi kasus nenek Minah yang mencuri kakao, kemudian diproses hukum hanya sekedar untuk mengujudkan kepastian hukum.Â
Lanjutnya, tidak boleh ada lagi seorang ibu melaporkan anaknya, kemudian kemudian ibunya diproses dan saat ini prosesnya berlanjut ke pengadilan. Hal2 tersebut tidak boleh ada lagi, kedepan kasus2 yang mengusik rasa keadilan masyarakat tidak boleh ada lagi, kata Listyo dihadapan DPR (Kompas, 21 Januari 2021).
Sementara itu untuk mengakomodasi penerapan "keadilan restoratif", penegak hukum lain Kejaksaan menerbitkan Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan fokus pada pidana yang ancaman hukumannya dibawah 5 tahun dan nilai kerugian di bawah Rp2,5 juta.Â
Dalam rapat dengar pendapat di DPR Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berharap dengan peraturan tersebut, kejaksaan dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dalam dimensi yang bernuansa kamasyarakatan.Â
Selain itu, kata Jaksa Agung Burhanuddin, kejaksaan akan menempatkan pemidanaan sebagai "ultimum remedium" atau upaya terakhir dalam penegakan hukum (Kompas, 27 Januari 2021).Â
Kejaksaan dengan adanya peraturan tersebut bukan hanya sekedar mempunyai visi tapi telah melakukan "keadilan restoratif" karena menurut Jaksa Agung Burhanuddin sejak terbit peraturan pada 22 Juli 2020, sampai tanggal 3 Desember 2020 telah ada 222 perkara yang dihentikan penuntutannya.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Os Hiariej, dalam kolom opini Kompas 27 Januari 2021 juga menulis tentang "keadilan restoratif" untuk menjawab masalah rumah tahanan di Indonesia yang overkapasitas.
Tulisan yang dimuat pada halaman 6 harian Kompas dengan judul "Quo Vadis" Pemasyarakatan membahas tentang overkapasitas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan (lapas/rutan) di Indonesia.Â