Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Peluang Lolos dari Hukuman bagi Koruptor yang Dihukum Berat oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar

28 Januari 2021   14:32 Diperbarui: 28 Januari 2021   16:59 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal demikian sama saja hakim pemilah perkara yang memutus perkara tersebut. Apakah ini bukan salah satu bentuk pelecehan kewenangan hakim agung yang seharusnya mandiri, bebas dari segala intervensi dan pengaruh dari kekuatan lain? Apakah ini bentuk campur tangan urusan peradilan oleh pihak diluar kekuasaan kehakiman?  (Pasal 1 (1) dan Pasal 3 UU Kehakiman).

Hadirnya hakim Pemilah Perkara dengan alasan untuk bertugas mempercepat proses memutus perkara  sampai tahap minutasi juga tidak tepat.

Berdasarkan Pasal 11 UU Kehakiman menyatakan bahwa dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, hakim dibantu oleh seorang Panitera. Jadi untuk mempercepat proses memutus perkara menurut undang2 tidak dibutuhkan hakim untuk membantu Hakim Agung, yang dibutuhkan adalah Panitera. 

Fungsi Panitera sangat berbeda dengan fungsi hakim. Panitera lebih banyak berfungsi adminstratip dibanding fungsi hakim yang membuat kebijakan. Kedua fungsi itu jelas tidak bisa dicampur aduk. Bisa berabe akibatnya.

Adanya alasan penumpukan perkara di MA karena kekurangan Hakim Agung tentunya tidak bisa dijadikan dasar untuk melantik Hakim Pemilah Perkara mengisi kekurangan Hakim Agung. Hakim Agung tentunya, apapun alasannya tidak sama atau identik dengan hakim pemilah perkara.

Menurut Benny K Harman anggota Komisi III DPR, menurut UU seharusnya jumlah Hakim Agung 60 orang. Saat ini MA hanya memiliki 46 Hakim Agung, sehingga diduga akan mengakibatkan menumpuknya tunggakan perkara. Sehingga DPR mendorong agar Komisi Yudisial (KY) memperbaiki sistim perekrutan hakim agung agar kuota hakim agung terpenuhi dengan tetap menjaga kualitas yang dihasilkan (Kompas 26 Januari 2021).

Jadi masalah kurangnya hakim agung sehingga terjadi penumpukan perkara di MA bukanlah masalah internal MA, tapi karena proses rekrutmen KY yang lamban. 

Nampaknya MA tidak punya diplomasi untuk memaksa KY mempercepat proses rekrutmen, sehingga jadi panik dan mengambil langkah yang terburu2 dengan mengangkat dan melantik hakim pemilah perkara.

Pertanyaan yang cukup menggelitik untuk dicari jawabannya, apakah putusan yang ditetapkan oleh Hakim Agung berdasarkan pemeriksaan Hakim Pemilah Perkara tidak cacad formal?

Putusan yang dibuat oleh hakim agung seharusnya berdasarkan pemeriksaan dan analisanya sendiri.

Pada waktu suatu putusan didasarkan oleh pihak lain (Hakim Pemilah Perkara) apakah kewenangan independensinya yang diberikan oleh UU masih bisa dipertanggung jawabkan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun