Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kekerasan Orangtua terhadap Anak Meningkat Seiring Merebaknya Covid-19

2 September 2020   07:50 Diperbarui: 3 September 2020   07:47 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maltrato infantil / Shutterstock 

Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan. Kasih sayang orangtua kepada anaknya tidak ada batasnya, diibaratkan seperti jalan yang tidak berujung. Sedangkan kecintaan anak kepada orangtua terbatas.

Penggalan adalah batang bambu yang biasa digunakan orang-orang didesa untuk menjuluk/memetik buah-buahan dari pohon yang  batangnya tinggi tanpa perlu memanjat. Membandingkan kasih sayang yang dipunyai antara orangtua dan anak dimaknai sebagai betapa tingginya kualitas cinta orangtua kepada anaknya. Kasih sayang tanpa pamrih yang dipunyai orangtua tidak akan bisa dibalas oleh sang anak karena tidak bisa dinilai dengan materi.

Sementara disisi lain, anak juga merupakan bukti penerus keturunan makhluk di dunia.

Keberadaan manusia yang fana, sementara, tidak abadi perlu diimbangi dengan kemampuan melahirkan keturunan agar tidak punah dimuka bumi. Keturunan merupakan garis panjang sejarah manusia yang menghubungkan seseorang dengan leluhurnya. Dimulai dari manusia awal Adam dan Hawa.

Anak bukan hanya sekedar penerima tongkat estafet kehidupan. Karakter, kecerdasan, sifat, postur, bahkan penyakitpun dipercayai diwariskan kepada anak. Replika genetika orangtua diwariskan kepada anak.

Tak pelak pepatah mengatakan air hujan akan jatuh  ke cucuran atap. "Like son like father". Sangat sering kita mendengar ungkapan dalam pertemuan keluarga, " Astagaa, kamu persis seperti Bapakmu" atau " Saya kaget melihatmu nak, tadinya saya kira kamu ibumu, habis seperti pinang dibelah dua".

Selesainya tugas kehidupan orangtua didunia dilanjutkan oleh anaknya yang nota bene membawa percampuran gen kedua orangtuanya. Kesinambungan seperti ini diperlukan agar garis keturunan tidak terputus.

Sungguh kearifan alam yang tiada tara. Kasih sayang tanpa pamrih yang ada di dalam diri orangtua seperti wadah. Anak membutuhkan wadah nyaman untuk berkembang. Apabila sudah tiba waktunya akan meninggalkan wadah dan melanjutkan kehidupan seperti orangtuanya.

Proses alam seperti inilah menandai eksistensi manusia di bumi. Tuhan telah meanugerahkan rasa sayang orangtua kepada anaknya agar makhluk manusia punya kesempatan berkembang biak. Bukan hanya kepada makhluk manusia saja tapi juga kepada hewan.

Pada waktu awal kemunculannya ke dunia, anak betul-betul makhluk hidup yang tak berdaya, lemah dalam segalanya. Pisiknya tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhannya, bahkan organ tubuhnya belum berfungsi sempurna. 

Mata untuk mengenali benda disekitarnya butuh waktu berfungsi. Pencernaannya hanya bisa memproses susu ibunya.

Komunikasinya terbatas masih mengandalkan tangis sebagai isyarat. Jari-jari mungil lucunya hanya bisa menggapai dan belum kuat menggengam. Otaknya belum bisa bekerja untuk memproses dengan benar gejala-gejala sekitarnya. Sebagian besar aktivitasnya hanya berdasarkan insting.

Betul-betul makhluk yang lemah tak berdaya. Tuhan memberinya kekuatan dalam bentuk ketakberdayaan. Ketidakmampuannya bagai magnit menarik perhatian orang dewasa untuk membantu memenuhi kebutuhannya. Tubuh mungil lugunya mengundang pertolongan tanpa pamrih.

Begitulah alam bekerja dengan logikanya. Kekuatan dan kemampuan orangtua dengan rasa sayang yang dimilikinya membantu buah hatinya berkembang agar bisa meneruskan kehidupan yang dimilikinya apabila nanti tiada. Proses itu nantinya akan berlanjut bila si anak berperanan jadi orangtua terhadap anaknya.

Setiap usaha  yang mengancam kekerasan  terhadap buah hatinya akan diantisipasi dengan waspada oleh orangtua. Kasih  sayang dan perlindungan orangtua akan menimbulkan rasa aman bagi anak. 

Salah satu kondisi yang dibutuhkan untuk berkembang sempurna, rasa aman. Namun ada penyimpangan-penyimpangan yang merusak keseimbangan harmonis yang telah diuraikan di atas.

Ada saja di dunia nyata orangtua yang tega menyiksa bahkan membunuh anak kandungnya. Orangtua yang seharusnya menyayangi, memelihara dan melindungi anaknya justru menyiksa bahkan menghilangkan nyawa anaknya sendiri.

Mengapa?

Kekerasan terhadap Anak

LH seorang ibu muda beserta kekasih barunya di Kota Waringin Timur, Kalimantan Tengah, ditangkap karena menganiaya anak kandungnya LL (5). Akibat penganiayaan yang mereka lakukan LL cedera hingga  lengan kirinya patah (Kompas, 25 Agustus 2020).

Ibu berinisial Y (45) tega menganiaya bayi buah hatinya berusia 5 bulan di Cengkareng Jakarta Barat. Diduga sang ibu dalam keadaan depresi kata Kapolsek Cengkareng Kompol Khairi, Kamis 28 Agustus 2020 ( Detik News).

Ayah kandung juga tidak kalah bengis. Ayah berinisial AM (40) menganiaya anaknya sendiri dan divideokan oleh orang yang melihatnya. Video ini viral di media sosial, sehingga memancing aparat untuk bertindak (Detik News 24 Juli 2020).

Ancaman kekerasan terhadap anak tidak hanya muncul secara domestik, kalangan dekat atau tetanggapun berbahaya bagi anak. Polres Luwu Timur tangkap 2 pemuda FE (20) dan RH (19) yang memberi minuman keras kepada anak tetangganya berusia 4 tahun. Video tindakan kedua pemuda yang tidak bertanggung jawab itu viral di media sosial. 

Akhirnya polisi bertindak dan menangkap pelakunya tanggal 23 Agustus 2020 (Kompas 25 Agustus 2020). Polsek Gamping telah menahan Sumadiyono (44) warga Bingah Gede, Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman karena menganiaya A (8) bocah tetangganya. A harus dirawat di Rumah Sakit karena patah tulang dan pendarahan otak (Detik News 23 Juli 2020).

Deretan kisah pilu ini tidak akan habis-habisnya kalau kita gali. Simak saja, tahun 2019 saja Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menerima 1192 laporan terkait kekerasan yang dialami anak. Kalau kita mundur lagi 3 tahun, yaitu sejak tahun 2017 sampai 2019, KPAI sudah menerima 10.656 kekerasan yang menimpa anak.

Perlu juga diingat angka-angka kekerasan anak yang terdata di KPAI adalah angka resmi yang dilaporkan, kejadian yang sebenarnya pasti jauh lebih banyak.

Fenomena kekerasan yang dialami anak seperti fenomena gunung es. Kejadian yang kelihatan di permukaan tidak menunjukkan yang sebenarnya, karena kejadian yang sebenarnya jauh lebih besar tersembunyi.

Pelakunya juga beragam, kasus kekerasan anak dalam ranah keluarga dan pengasuhan berupa salah satu sebab. Ancaman kekerasan juga bisa muncul dari tetangga, bahkan dari pendidik sekalipun.

Pendemi covid 19 pun ikut2an memicu meningkatnya kekerasan terhadap anak. Menurut Leny Nurhayati R, Deputy Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam suatu webinar, dalam 3 minggu hingga 2 April 2020 kekerasan pada anak meningkat sebanyak 368 kasus. Dari kasus2 tersebut kekerasan dialami oleh 407 anak.

Peningkatan ini disebabkan faktor tekanan ekonomi dan juga tidak siapnya orangtua mendidik anaknya sendiri.

Aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat anak yang selama ini belajar di sekolah bersama guru. Sekarang belajar dirumah bersama orangtua.

Pada saat yang sama keadaan ekonomi keluarga memburuk, bahkan ada orangtuanya kehilangan pekerjaan. Orangtua menjadi stres dengan tugas mendidik anak secara langsung apalagi keadaan ekonomi keluarga morat marit. 

Kondisi ini yang diduga membuat orangtua spaning naik darah. Pelampiasan kemarahan yang paling gampang dan sasaran paling empuk adalah anak. Anjay, lagi-lagi anak yang jadi korban. Pendemi covid 19 merupakan bukti nyata bahwa orangtua bukanlah pendidik yang berkualitas untuk anaknya sendiri. 

Asumsi yang menyatakan bahwa secara alamiah orangtua sangat dekat dan paling ngerti tentang anaknya, perlu dipertanyakan.

Alasan tekanan ekonomi tidak bisa dijadikan alasan pemaaf, sehingga terjadi pembiaran kekerasan kepada anak oleh orangtua. Seharusnya guru hanya bertanggung jawab sebagai pendidik sekunder atas seorang anak. 

Utamanya ini merupakan tugas orangtua. Kenapa? Karena anak adalah penerus keturunan yang membawa bakat genetika orangtuanya sendiri.

Melakukan kekerasan kepada anak adalah merupakan pelajaran pendidikan yang sangat buruk dan traumatis bagi anak. Perbuatan kekerasan terhadap anak adalah perbuatan yang keji. Kekejian ini meningkat seiring dengan makin merebaknya pendemi virus covid-19 di tengah masyarakat.

Aturan Perlindungan Anak dari Kekerasan.

Menurut Pasal 1 (2) Undang2 No 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang2 No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dari ancaman siapapun.

Perlindungan berguna agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Pasal ini merupakan jaminan atas hak anak dan sekaligus melindungi anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Pertumbuhan secara wajar untuk menjamin secara mental anak menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab menerima tugas kemanusiaannya. 

Oleh karena itu tidak boleh siapapun termasuk orangtuanya mengancam dan melakukan kekerasan terhadap anak. Sesuai Pasal 13 (1) butir d dan Pasal 16 (1) UU Perlindungan Anak, anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan kekejaman, kekerasan, penganiayaan dan penyiksaan baik yang berasal dari orangtuanya sendiri, pengasuh atau orang lain.

Yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 (1) UU Perlindungan Anak).

Siapa saja yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan terhadap anak diancam penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp 72 juta. Apabila akibatnya mengakibatkan anak luka berat ancaman hukumannya menjadi naik maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp 100juta. 

Jika mengakibatkan kematian? Hukumannya makin berat menjadi maksimal 15 tahun dan atau denda Rp 3 Milyar. Apabila pelakunya orangtuanya sendiri, maka hukumannya ditambah sepertiga dari ketentuan diatas.

Ancaman hukuman ini diatur dalam Pasal 80 UU Perlindungan Anak. Apakah ancaman hukuman yang relatif berat membuat pelaku takut atau jera? Fakta historis menjawab dengan tegas, TIDAK!

Salah satu materi perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak pada tahun 2014 atas Undang-Undang sebelumnya tahun 2002 adalah memperberat sanksi.

Buktinya setelah sanksinya diperberat kekerasan terhadap anak tidak berkurang, malah fakta berbicara selama masa pendemi covid 19 meningkat. Teori bahwa memberikan sanksi lebih berat, lebih keras akan membuat pelaku kapok, tidak berlaku untuk kejahatan kekerasan terhadap anak.

Apakah ini gejala orangtua mengkhianati fitrahnya sebagai penanggung jawab menjaga penerusan tugas kemanusiaannya?

BERBAGI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun