Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Seberapa Banyak Isteri Dapat Harta, Kalau Bercerai?

24 Agustus 2020   08:51 Diperbarui: 2 September 2020   06:26 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk bisa memastikan bahwa istri keduanya mendapat harta yang layak, pasangan ini harus membuat Perjanjian Perkawinan terlebih dahulu. Dengan adanya Perjanjian Perkawinan, maka akan terjadi pemisahan harta antara mereka. Adanya pemisahan harta memungkinkan bagi suami untuk membuat hibah bagi istri keduanya. 

Hibah antara suami istri dengan harta bersama tidak diperbolehkan. Tujuan Perjanjian Perkawinan disini untuk memastikan harta yang sudah diserahkan kepada istri kedua tidak menjadi budel waris, apabila suami meninggal. Dengan adanya Perjanjian Perkawinan suami bisa memastikan kepemilikan harta yang dimiliki istri keduanya tidak terganggu sama sekali bila sang suami meninggal.

Cara Membuat Perjanjian Perkawinan.

Adanya putusan MK 69 membuat beberapa keadaan yang masalah harta dalam perkawinan mendapat jalan keluar. Namun perlu diperhatikan cara dan syarat2 membuat Perjanjian Perkawinan menjadi sah.

Perjanjian Perkawinan sesuai dengan putusan MK 69 mempunyai ciri khas dibuat selama dalam masa perkawinan (post-nuptial agreement). Sebagaimana salah satu syarat sah bagi setiap perjanjian berlaku juga untuk Perjanjian Perkawinan yaitu kesepakatan. Perjanjian Perkawinan harus dibuat dengan kesepakatan pasangan suami istri. 

Yang namanya sepakat tentunya tidak ada unsur paksaan, tipuan dan kekeliruan tentang apa yang disepakati (1321 KUHPerdata). Hal2 yang bisa membuat kesepakatan tercemar akan mengancam perjanjian dibatalkan. Kemudian bentuk kesepakatan harus dituangkan dalam bentuk tertulis. Perjanjian Perkawinan yang hanya disebutkan secara lisan tentu tidak akan mempunyai akibat hukum. 

Bentuk tertulis saja tidak cukup. Pasal 29 UU Perkawinan yang dirubah oleh putusan MK 69 mensyaratkan harus dibuat dengan akta otentik. Jadi akta tidak dibenarkan dibuat hanya dibawah tangan atau dibuat oleh para pihak saja. Akta harus dibuat oleh Pejabat yang ditunjuk oleh UU secara khusus untuk membuat akta yaitu Pencatat Perkawinan atau Notaris. 

Walaupun Perjanjian Perkawinan bebas untuk memuat apa saja tentang pemisahan harta pasangan suami istri tapi tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. Apabila ternyata bertentangan, Perjanjian Perkawinan terancam tidak sah. Agar Perjanjian Perkawinan ini juga mengikat untuk pihak lain/pihak ketiga maka harus dilaporkan untuk didaftarkan di Kantor Urusan Agama untuk muslim dan di Kantor Catatan Sipil bagi non muslim. 

Pencatatan ini mungkin akan  mendapat masalah di daerah2, karena aturan ini masih tergolong baru (putusan MK tahun 2016). Biasanya birokrat kita terlambat merespons pelaksanaan ketentuan baru.

Dirjend Kependudukan dan Catatan Sipil Depdagri cukup cepat tanggapannya atas putusan MK. Tanggal 19 Mei 2017 dengan Surat Edaran No 472.2/5876/DUKCAPIL telah siap melayani laporan masyarakat untuk mencatatkan Perjanjian Perkawinan (post-nuptial agreement). Apakah aparatnya didaerah2 juga sudah siap? Silakan buktikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun