Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Seberapa Banyak Isteri Dapat Harta, Kalau Bercerai?

24 Agustus 2020   08:51 Diperbarui: 2 September 2020   06:26 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cincin (Foto : Bening Air Telaga)

Saat melangsungkan pernikahan biasanya  gak ada yang ngeh masalah harta. Pasangan yang melakukan ijab kabul mabuk dengan rasa cinta kasih. Dan lagi memang belum punya harta, masih bokek. Apalagi secara teori, pernikahan merupakan peristiwa sakral demi Tuhan Yang Maha Esa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Tabu rasanya mencampuri peristiwa sakral dengan membicarakan harta. Tunggu beberapa tahun kemudian setelah masa "bulan madu" berakhir, mungkin akan berbeda.

Bertolak belakang keadaannya perkawinan keluarga kaya, baik salah satu pasangannya kaya maupun kedua mempelai dari keluarga kaya. Lumrahnya terjadi pada masyarakat "educated" perkotaan yang bergelimang kekayaan. Mereka lebih "concern" masalah harta, karena memang punya banyak harta. Malah mereka menyewa "konsultan hukum" sebelum menikah. Konsultan hukum bukan untuk memberikan nasehat perkawinan, tapi bertugas memberikan "legal opini" dan "legal action". 

Pekerjaan konsultan hukum yang disewa antara lain membuat serta memastikan keabsahan  "Perjanjian Perkawinan". Perjanjian perkawinan dibuat sebelum perkawinan atau pada waktu perkawinan (pre-nuptial agreement) mengatur tentang pemisahan harta dalam perkawinan. Artinya harta lu tetap harta lu, harta gue juga tetap jadi harta gue, walau kita sudah menikah. Wow, ini kabar buruk buat Sis dan Bro yang matre, yang punya niat memburu harta karun dengan mengawini orang kaya. Siap2 saja untuk kecewa.

Pernikahan dengan Perjanjian Perkawinan tidak akan ada harta bersama dan tidak akan ada percampuran harta selama perkawinan. Apabila dalam perkawinan tersebut ternyata salah satu pasangan beruntung "bersinar" bisnisnya dan menjadi kaya raya, tidak otomatis pasangannya juga ikut memiliki kekayaan tersebut. Apabila terjadi perceraian pada saat  itu, maka pasangan yang tidak beruntung tidak akan dapat apa2 dari harta mantan. Kecuali apabila pasangannya meninggal, lumayan, karena akan memperoleh warisan.
 
Harta Bawaan.
Berdasarkan Pasal 35 (2) UU Perkawinan, dikenal dengan Harta Bawaan. Harta bawaan meliputi harta yang dipunyai oleh masing2 pasangan pada waktu memasuki gerbang perkawinan. Beberapa orang pada waktu menikah sudah kaya, sehingga waktu menikah dia membawa harta yang banyak bersamanya. Harta yang mereka miliki sebelum menikah dan hadiah atau warisan yang diperoleh selama perkawinan, termasuk dalam harta bawaan. 

Bisa saja salah satu pihak dapat hadiah, misal hadiah undian suatu produk berupa rumah atau hadiah hole in one dalam permainan golf berupa mobil mewah. Atau bisa juga salah satu pihak dapat warisan mendadak yang jumlahnya menggiurkan dari kerabat yang tidak diduga sebelumnya. Semua harta bawaan ini selama dalam perkawinan tidak terganggu kepemilikannya. Penguasaannya tetap pada masing2 pihak dan tidak akan tercampur dengan harta pihak lain.

Harta Bersama.
Akibat dari perkawinan (kecuali ada Perjanjian Perkawinan) selain menyatukan pasangan beda jenis (Indonesia tidak mengakui pasangan sejenis) juga menyatukan harta yang mereka peroleh selama perkawinan. Kondisi percampuran harta ini tidak bisa dirubah lagi selama dalam masa perkawinan. Penekanannya disini adalah harta selama dalam perkawinan, tidak dipermasalahkan siapa yang mencari dan mendapat harta itu, bisa pihak wanita, bisa pihak laki2.

Jadi semua harta yang diperoleh dari siapapun (baik karena istri bekerja maupun sebaliknya atau kedua2nya bekerja) selama dalam perkawinan, statusnya akan jadi Harta Bersama dikenal juga sebagai Harta Gono Gini (Pasal 35 (1) UU Perkawinan). 

Konsekwensinya menjadi Harta Bersama, pasangan suami istri tidak bisa bertindak secara hukum sendiri2 atas harta tersebut Pasal 36 (1) UU Perkawinan. Kalau pihak istri mau menjual harta tersebut harus dapat persetujuan pihak suami, begitu juga sebaliknya. Apabila terjadi perceraian, Harta Bersama harus dibagi dua sama rata, sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Selama cinta masih ada, keluargapun rukun tentram, masalah harta ini tidak akan pernah dimasalahkan. Namun bila keharmonisan sudah mulai memudar, rasa saling percaya menipis atau perkawinan diambang perceraian, akan mulai ada pikiran tentang harta yang ada dalam perkawinan. Keadaan yang selama ini tidak pernah terpikirkan, misal yang bekerja pihak wanita dan yang laki2 pengangguran saja, mulai terasa tidak "adil". Bisik2 dari orang yang bilang jadi "sapi perah" yang selama ini dicuekin, mulai terasa mengganggu pikiran. 

Apalagi ada rasa curiga bahwa pasangan punya pacar. Rasanya ngilu memikirkan harta hasil kerja tangan sendiri dipakai selingkuh oleh pasangan. Memikirkan perceraian rasanya lebih mengerikan lagi (terlepas dari perkawinan ada anak). Enak banget rasanya bagi dia tanpa susah payah memperoleh separo dari harta yang dikumpulkan. 

Cara membagi sama rata atas Harta Bersama memang tidak mutlak. Jika terjadi perceraian cara pembagian sama rata bisa digugat dengan alasan tertentu, kadang hakim setuju dengan alasan gugatan yang diajukan, sehingga pembagiannya tidak sama rata. Tentunya sangat spekulatif mengandalkan pembagian diserahkan ke tangan hakim. Kalau tidak dikabulkan? Gimana. Akhirnya ketemu jalan buntu.

Kebuntuan ini didobrak oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUU-XII/2015 tanggal 27 Oktober 2016 (Putusan MK 69). Keputusan tersebut telah merubah Pasal 29 UU Perkawinan. Perjanjian Perkawinan yang semula hanya bisa dibuat pada saat atau sebelum perkawinan (pre-nuptial agreement) direview menjadi bisa juga dibuat selama masa perkawinan (post-nuptial agreement). 

Dalam kasus kita diatas, pihak wanita bisa bernegosiasi untuk bersepakat dengan pasangannya untuk mengatur Perjanjian Perkawinan yang lebih adil menurutnya tentang kepemilikan harta dalam perkawinan. Status Harta Bersama yang semula kepemilikannya sama rata, bisa dirubah sesuai kesepakatan dan selanjutnya terjadi pemisahan harta antara pasangan.

PERJANJIAN Perkawinan Dalam Masa Perkawinan (Post-nuptial Agreement).

Putusan MK 69 berawal dari gugatan Ike Farida warga negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Jepang. Akibat perkawinannya tersebut Ike kehilangan hak untuk mempunyai Hak Milik dan Hak Guna Bangunan atas tanah dinegerinya sendiri. Sesuai ketentuan Pasal 21 (1) (3) dan Pasal 36 (1) Undang2 No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok2 Agraria (UU Agraria), hanya Warga Negara Indonesia yang boleh memiliki Hak Milik dan HGB. 

Apabila Ike mau membeli tanah dengan status Hak Milik atau HGB, maka tanah tersebut akan jatuh menjadi Harta Bersama karena waktu menikah atau sebelum menikah Ike tidak membuat Perjanjian Perkawinan. Konsekwensinya menjadi Harta Bersama, tanah Hak Milik atau HGB tersebut dimiliki juga oleh suami Ike separo yang notabene warga negara asing. Sesuai ketentuan UU Agraria orang asing tidak boleh punya tanah dengan status Hak Milik atau HGB.

Dengan adanya putusan MK 69, maka Ike Farida atau orang2 yang senasib dengannya bisa membuat Perjanjian Perkawinan dalam masa perkawinan. Adanya pemisahan harta karena Perjanjian Perkawinan akan membuat Ike bisa membeli tanah di negerinya sendiri dengan status Hak Milik atau HGB.

Sebelumnya juga kita sudah bercerita bahwa dengan adanya putusan MK 69, bukan hanya kasus serupa Ike saja yang mendapat solusi, tapi kasus lain secara tidak sengaja mendapat jalan keluar.  

Para istri yang kawatir agresifitas bisnis suaminya, bisa menempuh jalan ini. Misal ada pasangan yang sudah makmur karena peruntungan bisnisnya sedang menanjak. Namun dasar orang bisnis yang gak pernah puas, sang suami makin agresif dan makin nekad mengejar keuntungan. 

Dalam hati pihak istri kawatir semua harta ini bisa lenyap tiba2 bila bisnis suami ambruk. Memang dari awal istri tidak mau menjaminkan seluruh harta2 mereka sebagai jaminan hutang2 suaminya (Hak Tanggungan, Fiducia dll) tapi sesuai dengan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata harta yang tidak diikat sebagai jaminanpun bisa disita kreditur, bila jaminan yang ada tidak memadai. Persoalan seperti ini bisa diselesaikan dengan Perjanjian Perkawinan. Istri bisa memisahkan harta dengan suami. Pihak suami tidak terhalang untuk tetap berbisnis, pihak istri merasa nyaman tanpa kawatir kalau bisnis suaminya tiba2 anjlok dan merampas kepemilikan hartanya.

Dalam kasus lain bila suami yang menikah kedua kalinya. Perkawinan pertamanya pisah mati dan melahirkan banyak anak. Suami merupakan keluarga besar. Pihak suami kawatir kalau tiba2 meninggal dunia dan harta warisan yang ditinggal tidak memadai untuk istri keduanya, karena banyaknya ahli waris. Sedangkan harta bersama dengan perkawinan keduanya tidaklah banyak. 

Untuk bisa memastikan bahwa istri keduanya mendapat harta yang layak, pasangan ini harus membuat Perjanjian Perkawinan terlebih dahulu. Dengan adanya Perjanjian Perkawinan, maka akan terjadi pemisahan harta antara mereka. Adanya pemisahan harta memungkinkan bagi suami untuk membuat hibah bagi istri keduanya. 

Hibah antara suami istri dengan harta bersama tidak diperbolehkan. Tujuan Perjanjian Perkawinan disini untuk memastikan harta yang sudah diserahkan kepada istri kedua tidak menjadi budel waris, apabila suami meninggal. Dengan adanya Perjanjian Perkawinan suami bisa memastikan kepemilikan harta yang dimiliki istri keduanya tidak terganggu sama sekali bila sang suami meninggal.

Cara Membuat Perjanjian Perkawinan.

Adanya putusan MK 69 membuat beberapa keadaan yang masalah harta dalam perkawinan mendapat jalan keluar. Namun perlu diperhatikan cara dan syarat2 membuat Perjanjian Perkawinan menjadi sah.

Perjanjian Perkawinan sesuai dengan putusan MK 69 mempunyai ciri khas dibuat selama dalam masa perkawinan (post-nuptial agreement). Sebagaimana salah satu syarat sah bagi setiap perjanjian berlaku juga untuk Perjanjian Perkawinan yaitu kesepakatan. Perjanjian Perkawinan harus dibuat dengan kesepakatan pasangan suami istri. 

Yang namanya sepakat tentunya tidak ada unsur paksaan, tipuan dan kekeliruan tentang apa yang disepakati (1321 KUHPerdata). Hal2 yang bisa membuat kesepakatan tercemar akan mengancam perjanjian dibatalkan. Kemudian bentuk kesepakatan harus dituangkan dalam bentuk tertulis. Perjanjian Perkawinan yang hanya disebutkan secara lisan tentu tidak akan mempunyai akibat hukum. 

Bentuk tertulis saja tidak cukup. Pasal 29 UU Perkawinan yang dirubah oleh putusan MK 69 mensyaratkan harus dibuat dengan akta otentik. Jadi akta tidak dibenarkan dibuat hanya dibawah tangan atau dibuat oleh para pihak saja. Akta harus dibuat oleh Pejabat yang ditunjuk oleh UU secara khusus untuk membuat akta yaitu Pencatat Perkawinan atau Notaris. 

Walaupun Perjanjian Perkawinan bebas untuk memuat apa saja tentang pemisahan harta pasangan suami istri tapi tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. Apabila ternyata bertentangan, Perjanjian Perkawinan terancam tidak sah. Agar Perjanjian Perkawinan ini juga mengikat untuk pihak lain/pihak ketiga maka harus dilaporkan untuk didaftarkan di Kantor Urusan Agama untuk muslim dan di Kantor Catatan Sipil bagi non muslim. 

Pencatatan ini mungkin akan  mendapat masalah di daerah2, karena aturan ini masih tergolong baru (putusan MK tahun 2016). Biasanya birokrat kita terlambat merespons pelaksanaan ketentuan baru.

Dirjend Kependudukan dan Catatan Sipil Depdagri cukup cepat tanggapannya atas putusan MK. Tanggal 19 Mei 2017 dengan Surat Edaran No 472.2/5876/DUKCAPIL telah siap melayani laporan masyarakat untuk mencatatkan Perjanjian Perkawinan (post-nuptial agreement). Apakah aparatnya didaerah2 juga sudah siap? Silakan buktikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun