Orang Indonesia, terutama yang keturunan Tiong Hoa, umumnya tahu cerita Sam Kok (dialek yang biasa dipakai Tionghoa Indonesia), atau dalam Bahasa Mandarinnya San Guo.
Cerita ini berdasarkan kisah nyata tentang satu masa dalam sejarah Bangsa Tionghoa. Sebagian besar tokoh-tokohnya pun adalah tokoh-tokoh nyata yang pernah hidup di masa itu. Kisah ini menjadi kisah yang diceritakan turun-temurun, sudah pula disadur, dituliskan ulang dan dipublikasikan dalam berbagai bentuk (novel, kartun bergambar, manga, film, dst).
Mungkin bagi generasi sekarang, mereka mengenal kisah Tiga Kerajaan ini dari game (Dynasty Warrior, RoTK, dll) atau dari film layar lebar seperti Red Cliff, dst.
Yang mungkin tidak banyak orang tahu, sebenarnya, setidaknya ada dua versi tulisan kuno tentang Kisah Tiga Kerajaan ini.
Yang paling terkenal dan sering dibaca oleh khalayak umum adalah San Guo Yan Yi, yang kalau diterjemahkan menjadi ke Bahasa Inggris diterjemahkan jadi "Romance of Three Kingdom", jadi versi ini adalah versi novelnya, versi yang sudah digubah dengan lebih mengedepankan sisi ceritanya, tentu dengan berbagai dramatisasi dan kreativitas pengarangnya.
Versi yang kedua, yang lebih sedikit dikenal adalah, Sanguozhi, kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi : "Catatan Tiga Negara". Karya ini menceritakan periode yang sama, tapi dituliskan oleh sejarahwan di masa itu dan titik beratnya lebih pada fakta sejarah dan bukan dramatisasinya. Maka bagi mereka yang membaca dua versi tersebut, akan melihat beberapa perbedaan, terutama pada faktor "kehebatan" dan "kebaikan" tokoh-tokohnya.
San Guo Yan Yi, sebagai cerita yang sudah digubah, tentunya juga membawa pandangan atau nilai moral yang ingin disisipkan oleh pengarangnya lewat kisah itu.
Sebagai pembaca, tentu adalah "hak" atau bagian kita untuk meresapi, merasakan dan menginterpretasikan apa nilai yang sedang diusung oleh si pengarang.
Salah satu nilai moral yang menurut saya (sebagai penggemar Sam Kok) berusaha disampaikan oleh pengarang, adalah tentang nilai-nilai utama seorang manusia.
Ada sesuatu yang unik jika kita mencermati Kisah Tiga Negara ini, yaitu tokoh protagonis utamanya, Liu Bei, bukanlah seorang tokoh yang hebat. Jauh berbeda dengan cerita-cerita super hero yang populer saat ini. Liu Bei bukan superman yang memiliki kekuatan super. Liu Bei juga bukan seorang Sherlock Holmes yang memiliki otak jenius melebihi orang kebanyakan.
Dalam Kisah Tiga Negara, ada tokoh-tokoh super kuat dan ada tokoh-tokoh super jenius, sementara tokoh utamanya, Liu Bei tidak termasuk dalam kelompok orang super tersebut.
Meski demikian, di kelompok protagonis, Liu Bei diangkat menjadi pemimpinnya.
Jadi kalau saya sebagai pembaca boleh mendaftar tokoh-tokoh protagonis utama dalam Kisah Tiga Negara ini, menurut saya ada beberapa orang yang layak masuk menjadi tokoh utama, yaitu :
- Liu Bei, yang akhirnya menjadi raja dari negeri Shu.
- Guan Yu, saudara angkat kedua Liu Bei.
- Zhang Fei, saudara angkat ketiga Liu Bei.
- Zhuge Liang, penasehat utama Liu Bei.
- Zhao Yun, salah seorang jenderal utama Liu Bei, selain dari dua orang saudara angkat Liu Bei (Guan Yu dan Zhang Fei).
Kalau tentang kekuatan, maka Guan Yu dan Zhang Fei bisa bersaing untuk menempati posisi sebagai yang terkuat di antara lima orang tersebut.
Kalau tentang kecerdasan dan kebijaksanaan, Zhuge Liang tampil tanpa lawan.
Kalau soal tampan dan rupawan, Zhao Yun yang jadi nomer satunya.
Namun dalam kisah ini, Liu Bei diangkat menjadi yang nomer satu, di atas empat tokoh utama lainnya. Kenapa bisa demikian? Pikir punya pikir, iseng-iseng saya merenungkan dan menggunakan ilmu otak-atik gathuk yang sakti mandraguna itu.
Maka lahirlah sebuah pemikiran sebagai berikut :
Masing-masing tokoh, sebenarnya mewakili salah satu sifat atau nilai moral yang ingin "dijual" oleh si pengarang. Urutan itu sendiri hadir, juga memiliki artinya sendiri. Mengapa Liu Bei menjadi saudara pertama, mengapa Zhang Fei menjadi saudara angkat yang terakhir, dan mengapa dalam cerita yang didramatisir itu, kedudukan Zhuge Liang lebih tinggi dari Zhao Yun. Semuanya punya makna yang tersembunyi, lepas dari kebenaran sejarahnya.
Apakah Liu Bei memang se-naif dan sepolos itu? Rasanya tidak mungkin seseorang bisa menanjak dalam karier politik dan militer tanpa ketajaman dan kecerdikan.
Apakah memang benar Zhuge Liang yang paling cerdas di antara mereka? Belum tentu.
Apakah Zhang Fei memang semberono dan grusa-grusu? Belum tentu, bagaimana mungkin seorang jenderal bisa sering menang perang kalau dia semberono dan grusa-grusu?
Akan tetapi masing-masing tokoh utama, diceritakan sedemikian rupa, sehingga ada satu nilai keutamaan atau idealisme yang ingin diinkarnasikan ke dalam karakter mereka oleh si pengarang.
Maka pertanyaan selanjutnya, sifat utama apa yang coba disematkan pada masing-masing tokoh?
1. Liu Bei, menonjol dalam hal rasa kemanusiaannya.Â
Sebagai seorang rakyat biasa, dikisahkan Liu Bei tergerak untuk berjuang karena terdorong oleh keinginan untuk menegakkan kebenaran. Sebagai seorang pejabat, Liu Bei dikisahkan menjadi pejabat yang jujur dan dicintai oleh rakyat yang dia pimpin. Sebagai seorang "raja" dia memilih menyelamatkan rakyatnya meski harus memikul resiko atas pilihannya itu.
Dalam berbagai kesempatan dalam kisah tersebut, Liu Bei diceritakan sebagai seseorang yang termotivasi dan digerakkan oleh rasa belas kasihan, oleh rasa peri kemanusiaan.
2. Guan Yu, terkenal karena rasa keadilan dan kebenaran-nya. Â
Adil dalam artian lurus memilah mana yang benar, mana yang salah. Adil dalam artian dia tidak mau melakukan kecurangan, bahkan bila yang dihadapinya adalah lawan bebuyutan. Adil dalam artian, tahu balas budi dan tidak pernah membalas kebaikan seseorang dengan kejahatan.
Seperti sebuah kayu pengukur, dia lurus tak belok kiri ataupun kanan. Tak ada kecurangan dalam lidahnya. Lurus dalam perkataan, lurus dalam perilaku.
3. Zhang Fei, kejujuran dan ketulusan.
Penggambaran sifatnya yang bodoh, grusa-grusu dan semberono seakan-akan sulit mencari nilai keutamaan baik apa yang mau direpresentasikan oleh pengarang ke dalam diri Zhang Fei ini. Adik ketiga dari tiga saudara angkat ini digambarkan punya banyak kelemahan karakter. Suka mabuk, suka main pukul, gampang hilang kesabaran, dst.
Akan tetapi dia jujur. Kalau salah dia katakan salah. Kalau benar dia katakan benar. Kalau dirinya salah, dia pun akan mengakui bahwa dirinya salah. Pun jika itu terhadap orang yang berada di bawah kekuasaannya.Â
Seperti sebuah buku yang terbuka lebar, setiap orang dengan mudah tahu apa yang menjadi isi hati dan kepala sosok Zhang Fei ini, karena tidak ada yang dia tutupi, apalagi tampil sebagai orang munafik dengan dua muka, sama sekali tidak ada kebohongan dan kemunafikan dalam sosok tokoh utama yang ketiga ini.
Jujur dan tulus.
4. Zhuge Liang, bijaksana dan cerdas.
Sebagai penasehat utama dan juga ahli strategi utama di pihak Liu Bei, Zhuge Liang bisa dikatakan adalah kebalikan Zhang Fei.
Jika Zhang Fei mudah dibaca, maka Zhuge Liang tidak terbaca. Jika Zhang Fei gampang dikibuli lawan, maka Zhuge Liang itu ahlinya mengibuli lawan.
5. Zhao Yun, setia.
Zhao Yun ahli perang, jenderal yang bisa bersaing dengan Guan Yu dan Zhang Fei dalam hal kekuatan. Dalam hal cerdas, dia tidak sebodoh Zhang Fei, meski tidak secerdas Zhuge Liang.
Salah satu kisah di mana Zhao Yun tampil menonjol, adalah ketika dia menerobos kepungan lawan sambil menggendong anak Liu Bei yang masih bayi. Belasan jenderal lawan dia tebas, puluhan ribu pasukan lawan dia porak porandakan. Semuanya demi memenuhi panggilan tugasnya sebagai salah seorang pengikut Liu Bei.
Apa pun tugas yang diberikan padanya, akan dia laksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai amanah yang sudah disampaikan.
Setia pada tugas, setia pada junjungannya.
-----------
Jadi kira-kira itulah yang ingin disampaikan oleh si pengarang (menurut tebakan saya, bisa jadi saya salah tebak juga sih, hahah).
Seorang manusia harus memiliki rasa pengabdian, kesetiaan pada tugas dan tanggung jawab (Zhao Yun), tapi hendaknya dalam melaksanakan kesetiaan itu, tidak boleh lepas dari akal budi (Zhuge Liang). Harus bisa mencerna, menganalisa dan memutuskan secara cerdik dan bijaksana, tidak boleh setia secara membuta.
Boleh setia, boleh cerdas, tapi tidak boleh lupa pada kejujuran dan ketulusan (Zhang Fei). Jangan sampai karena cerdik kemudian jadi penipu, jangan sampai demi mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas, menggunakan taktik dan muslihat yang tidak jujur dan tidak tulus. Demikian juga dalam menilai diri sendiri, harus ada kejujuran. Ketika salah katakan itu salah, karena di situlah awal dari upaya untuk memperbaiki diri.
Sudah setia, cerdas dan jujur, tapi kebetulan yang diikuti pemimpin yang jahat. Ya tetap saja jadi penjahat. Maka jangan lupa, ada yang lebih penting lagi di atas itu, yaitu kebenaran dan keadilan (Guan Yu). Mungkin situasi seperti itu tidak terbayang bagi kita yang hidup di jaman modern, di mana tidak ada raja, tidak ada tuan dan hamba.
Namun dalam sejarah jaman dulu, situasi seperti itu lebih mudah ditemui.
Kalau dalam konteks jaman sekarang, mungkin yang akan menemui konflik batin seperti ini adalah aparat militer yang dididik dan dilatih untuk mematuhi perwira di atasnya. Atau mungkin seseorang yang terjebak pada hutang budi.
Maka dari sudut pandang si pengarang Kisah Tiga Negara ini, ketika ada benturan antara kesetiaan dengan nilai-nilai kebenaran, nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang harusnya didahulukan oleh seorang insan manusia.
Kalau dalam kisah pewayangan, konflik batin ini juga hadir dalam tokoh Kumbakarna yang karena kesetiaannya pada negara, memilih untuk berperang melawan Ramayana. Meskipun dia tahu bahwa Ramayana yang menjadi lawannya ada di pihak yang benar, dan Alengka yang dia bela berada di pihak yang salah, Kumbakarna memilih membela Alengka atas nama kesetiaan.
Dalam kisah lanjutannya, dikisahkan arwah Kumbakarna ini menjadi arwah yang gentayangan karena permasalahan itu, sampai kemudian dia bertemu dengan adiknya, Gunawan Wibisana yang memilih untuk berada di pihak yang benar, yaitu Ramayana, meskipun harus kemudian menghadapi negaranya sendiri, Alengka.
Apakah Gunawan Wibisana seorang pengkhianat negara? Sebenarnya tidak juga demikian, karena membela kebenaran dan keadilan, bisa juga kita lihat sebagai upaya untuk membawa negaranya menjadi negara yang benar dan adil. Dan itu adalah bentuk kesetiaan kepada negara yang lebih tinggi dan mulia, dibandingkan membela negara tanpa peduli apakah negaranya berada di pihak yang benar atau tidak.
Apakah menjadi orang yang lurus dalam kebenaran dan keadilan menjadi puncak, atau bentuk paling ideal dari seorang insan manusia?
Di sinilah kemudian sebuah plot twist ditambahkan oleh pengarang Kisah Tiga Negara. Jawabannya : Tidak!.
Lurus dan benar (menurut pengarang) bukan segalanya. Lurus dan benar, tidak boleh  melupakan belas kasihan dan rasa kemanusiaan.
Itu sebabnya Tuhan pun bukan cuma Maha Adil, tapi Dia juga Maha Pengasih dan Maha Pengampun.
Belas kasihan dan rasa kemanusian, adalah sifat yang paling utama dari segala sifat yang utama.
Itu apa yang hendak disampaikan oleh pengarang San Guo Yan Yi, menurut otak-atik gathuk saya setelah membaca novel yang panjangnya minta ampun itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H