Kalau dalam konteks jaman sekarang, mungkin yang akan menemui konflik batin seperti ini adalah aparat militer yang dididik dan dilatih untuk mematuhi perwira di atasnya. Atau mungkin seseorang yang terjebak pada hutang budi.
Maka dari sudut pandang si pengarang Kisah Tiga Negara ini, ketika ada benturan antara kesetiaan dengan nilai-nilai kebenaran, nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang harusnya didahulukan oleh seorang insan manusia.
Kalau dalam kisah pewayangan, konflik batin ini juga hadir dalam tokoh Kumbakarna yang karena kesetiaannya pada negara, memilih untuk berperang melawan Ramayana. Meskipun dia tahu bahwa Ramayana yang menjadi lawannya ada di pihak yang benar, dan Alengka yang dia bela berada di pihak yang salah, Kumbakarna memilih membela Alengka atas nama kesetiaan.
Dalam kisah lanjutannya, dikisahkan arwah Kumbakarna ini menjadi arwah yang gentayangan karena permasalahan itu, sampai kemudian dia bertemu dengan adiknya, Gunawan Wibisana yang memilih untuk berada di pihak yang benar, yaitu Ramayana, meskipun harus kemudian menghadapi negaranya sendiri, Alengka.
Apakah Gunawan Wibisana seorang pengkhianat negara? Sebenarnya tidak juga demikian, karena membela kebenaran dan keadilan, bisa juga kita lihat sebagai upaya untuk membawa negaranya menjadi negara yang benar dan adil. Dan itu adalah bentuk kesetiaan kepada negara yang lebih tinggi dan mulia, dibandingkan membela negara tanpa peduli apakah negaranya berada di pihak yang benar atau tidak.
Apakah menjadi orang yang lurus dalam kebenaran dan keadilan menjadi puncak, atau bentuk paling ideal dari seorang insan manusia?
Di sinilah kemudian sebuah plot twist ditambahkan oleh pengarang Kisah Tiga Negara. Jawabannya : Tidak!.
Lurus dan benar (menurut pengarang) bukan segalanya. Lurus dan benar, tidak boleh  melupakan belas kasihan dan rasa kemanusiaan.
Itu sebabnya Tuhan pun bukan cuma Maha Adil, tapi Dia juga Maha Pengasih dan Maha Pengampun.
Belas kasihan dan rasa kemanusian, adalah sifat yang paling utama dari segala sifat yang utama.
Itu apa yang hendak disampaikan oleh pengarang San Guo Yan Yi, menurut otak-atik gathuk saya setelah membaca novel yang panjangnya minta ampun itu.