Kekurangan dari transportasi ini pun seputar hal-hal teknis saja, seperti kecepatannya yang tergantung tenaga pengendara dan kesulitan melaju di jalanan menanjak. Selain itu, untuk kecepatannya yang lambat becak dirancang dengan ukuran yang melebar di bagian depan sehingga menyulitkan kendaraan yang berada di belakangnya. Tetapi, nilai positifnya penulis tidak pernah mendengar ada pengendara becak yang ugal-ugalan sehingga menimbulkan korban.
Era Modern, Siapa yang Butuh Becak?
Sementara kalangan modernis menilai kehadiran becak hanya menambah kesemrawutan ibu kota. Ukurannya yang tidak ramping dan kecepatannya yang lambat jadi dalih penolakan.Â
Terlebih, sudah banyak kendaraan umum yang bisa dipakai saat ini, tidak seperti dulu pada masa kejayaannya di saat transportasi masih minim. Suara modernis digawangi oleh Ketua DPRD DKI Jakarta, Edi Marsudi yang dengan tegas menolak pelegalan tersebut.
Bagi modernis, sesuatu yang sudah ketinggalana zaman harus ditinggalkan. Mereka meyakini bahwasannya warisan tersebut biarlah tersimpan dalam ingatan atau paling tidak dalam museum. Seiring perkembangan teknologi pula kendaraan bermotor dinilai lebih praktis ketimbang kendaraan yang masih bertenaga mekanik.
Begitu pula dengan nasib becak, transportasi umum yang sudah habis masa kejayaannya ini perlahan ditinggalkan. Hanya segelintir masyarakat yang kini masih menggunakannya. Pengendara becak pun mungkin sudah beralih profesi akibat sepinya pelanggan. Bagi yang masih bertahan, harus rela kucing-kucingan dengan Satpol PP jika ada razia. Alternatifnya, pindah ke daerah yang relatif aman dari kejaran aparat.
Becak memang sejak lama dilarang operasinya di ibu kota, sekitar 40 tahun yang lalu. Tetapi pemerintah baru resmi mengeluarkan Perda yang melarangnya pada 2007 silam. Pemerintah berpikir sudah saatnya meninggalkan becak sebagai moda transportasi utama karena dinilai tidak efisien lagi.
Becak pun dipandang sudah kuno pemakaiannya. Tidak terlalu keren dan mengesankan kumuh karena memang becak yang ada sudah sejak lama dipakai, jadi terdapat karat di mana-mana. Dari segi desain, warna becak pun relatif sama, kalau tidak merah paling biru, atau kombinasi keduanya. Perlu inovasi dan kreatifitas sekadar membuat becak laku atau meyakinkan kalangan modernis untuk memakainya.
Soal kemacetan pun jadi dalih untuk memperkuat penegasan tersebut. Semakin ramai suasana ibu kota, semakin banyak pula kendaraan yang lalu lalang meramaikan jalanan. Ditambah pilihan transportasi umum yang kian beragam. Mulai dari TransJakarta, KRL, transportasi daring, hingga yang terbaru LRT dan MRT. Semuanya sudah bergerak ke era yang lebih modern lagi, meninggalkan moda transportasi legenda lainnya, seperti Metro Mini yang kini mulai jarang terlihat.
Pada era di mana internet sudah melekat di sektor mana pun, siapa yang masih membutuhkan becak? Lambat, tidak fleksibel, dan membuat pegal tukangnya. Bagi milenial, sebagian mungkin tidak pernah merasakan naik becak.Â
Melihatnya pun mungkin saja tidak pernah. Jangan-jangan, mendengar kata becak sudah seperti legenda buatnya. Mereka mungkin tidak pernah merasakan seperti apa rasanya perjuangan tukang becak dalam mencari rezeki. Panas dan hujan tukang becak rasakan, karena atap pelindung hanya diberikan kepada pelanggan saja.