Dari pandangan tradisionalis sendiri, budaya merupakan sebuah warisan yang harus dipertahankan keberadaannya. Kehadirannya tidak bisa dilepaskan begitu saja digantikan dengan teknologi yang lebih modern misalnya. Meski sudah tidak relevan, namun masih ada sejumlah kemungkinan untuk dilestarikan.
Seperti halnya becak, kendaraan yang sudah ada sejak masa prakemerdekaan ini, dianggap sudah erat eksistensinya dengan masyarakat. Walaupun bukan asli dari Indonesia, tetapi becak telah menjadi transportasi andalan dari dulu. Becak pun pernah lalu lalang di pusat ibu kota pada era keemasannya.Â
Meskipun kala itu memang belum banyak kendaraan bermotor. Tetapi, becak sudah terlanjur melekat dengan masyarakat. Namun, sejumlah Perda yang dikeluarkan para Gubernur terdahulu melarang keberadaannya untuk bebas melalang buana di ibu kota.
Becak dalam pop culture Indonesia seringkali tampil pada berbagai film, khususnya film lama seperti Warkop DKI. Di mana tokoh utamanya, pernah mengendarai kendaraan tanpa mesin bermotor ini. Begitu pula, becak disituasikan sebagai kendaraan yang sulit dikendalikan apabila pengendaranya kehilangan konsentrasi sehingga bisa terpelosok ke dalam sungai.
Lagu yang bertemakan becak pun diciptakan oleh Ibu Soed untuk mengenalkan kepada anak-anak eksistensi transportasi ini. Dalam liriknya bercerita bahwa becak dipakai untuk bertamasya berkeliling kota, sesuatu yang sudah jarang sekali ditemukan kini. Lalu, menaiki becak seorang diri dengan mengangkat kaki, menunjukkan kenyamanan saat menaiki becak. Selain itu, Bimbo pun membuatkan lagu untuk mengapresiasi perjuangan tukang becak dalam lagunya Abang Becak.
Sejalan dengan hal itu, kendaraan roda tiga ini bagi kalangan tradisionalis perlu dilestarikan kembali keberadaannya. Meskipun sadar bahwa sudah tidak mungkin dapat bebas kembali untuk beroperasi di jalan besar ibu kota, namun untuk daerah pinggiran dan dekat dengan pasar masih memungkinkan bagi becak.Â
Terlebih lagi, dengan estetika tradisionalnya, untuk daerah wisata becak masih sangat potensial keberadaannya untuk mendongkrak daya tarik wisatawan. Seperti, daerah Kota Tua dan Monas misalnya. Kedua kawasan tersebut memiliki lahan yang cukup luas dan sepi dari kendaraan bermotor, karena memang dilarang. Becak dapat ambil bagian di sana.
Terlepas dari sejumlah permasalahan yang muncul, becak memang masih diperlukan keberadaannya bagi sebagian pihak. Apalagi bagi masyarakat yang mengais rupiah dari kendaraan roda tiga ini.Â
Tukang becak, yang sering diidentikan dengan betis yang besar karena sering mengayuh dengan membawa beban yang berat, tentu menyambut baik kebijakan ini. Mereka tidak perlu kucing-kucingan dengan Satpol PP lagi. Keberadaan mereka akan mendapat status legal dari pemerintah daerah.
Nilai tambah dari kendaraan ini adalah polusi yang dikeluarkan hampir tidak ada, kecuali pengendara becak ini merokok atau badannya bau akibat tidak mandi itu menjadi persoalan lain.Â
Tidak ada mesin bermotor yang dipasang di becak tradisional ini, kecuali berbicara becak motor (becak motor) yang masih banyak beredar terutama di kawasan Sulawesi Utara. Becak dirancang dengan menggunakan mesin mekanik dengan pengendara lah yang menjadi motor utamanya. Tukang becak pun dapat dikenali dengan seikat handuk yang disandarkan di lehernya untuk menyapu keringatnya akibat lelah mengayuh.