Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ekuilibrium Baru Serie A

19 Juli 2022   21:35 Diperbarui: 19 Juli 2022   21:45 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perayaan Scudetto AC Milan musim lalu | Sumber: kompas.com

Patahnya hegemoni Juventus di Liga Italia dalam dua musim terakhir, melambungkan gelagat optimisme dari para pesaing untuk bisa masuk ke jalur juara. Pelan namun pasti, kompetisi ini mulai menemukan lagi titik keseimbangannya.

Titik tolak pertama keseimbangan, diawali oleh keberhasilan Inter Milan menjadi kampiun liga dua musim silam.

Sebagai salah satu klub dengan sokongan finansial paling kuat di Italia, Inter berhasil keluar sebagai pemenang di arena yang selama sembilan musim sebelumnya, cuma mampu ditaklukkan oleh Juventus.

Kisah manis Inter di musim itu, sedikit-banyak memang diwarnai pula dengan kejatuhan Juventus. Terlalu banyak kebintangan di tubuh klub asal kota Turin itu, sehingga membuat sinar kepelatihan di sana menjadi tak terlalu benderang.

Juventus limbung ketika seharusnya mereka bisa berlari kencang. Mereka pincang di saat semestinya bisa jadi yang paling seimbang.

Sementara klub-klub yang dikenal jarang "flexing" seperti Milan, Napoli, hingga AS Roma, tak dinyana menjelma menjadi tim yang sulit sekali ditaklukkan. Kualitas teknis dimutakhirkan, tata kelola klub yang konvensional perlahan dimodernkan.

Sayang bagi ketiganya karena tak memiliki kedalaman skuad yang baik, sehingga Inter lah yang pada akhirnya keluar sebagai pemenang.

Akan tetapi kecemerlangan Inter di musim itu bukanlah tanpa persoalan. Kiprah mereka dibayang-bayangi ketidakpastian finansial klub, setelah pemerintah Tiongkok memberlakukan pembatasan investasi ke luar negeri.

Sang pemilik Inter, Steven Zhang, menjadi orang yang paling dipusingkan atas kebijakan dari negaranya tersebut. Bagaimana pun, ia tak bisa leluasa lagi mengelola arus uang dari koceknya untuk Inter Milan.

Efek dibelenggunya gerak-gerik Zhang, berimplikasi langsung terhadap proyek klub, termasuk kebijakan transfer pemain. Hal ini membuat sang juru taktik Inter ketika itu, Antonio Conte, kecewa hingga rela melepaskan jabatannya.

Tak lama setelah berbulan madu dengan piala, Inter harus rela menjual para bintangnya seperti Ashraf Hakimi dan Romelu Lukaku. Kursi kepelatihan pun berpindah tangan menjadi milik Simone Inzaghi. Hasilnya bisa ditebak, Inter harus memulai lagi mencari titik keseimbangannya.

Buah kesabaran Milan.

Seraya melihat Inter diliputi kegalauan, sang rival, AC Milan justru kian dinaungi keberuntungan. Poin demi poin mereka raih dengan penuh kesederhanaan. Dengan skuad yang jauh dari kata superior, mereka mampu mendominasi laga per laga dengan cukup meyakinkan.

Kesabaran menjalani proses yang tak mudah, berbuah hasil yang tak menghianati lelah. Kepercayaan penuh manajemen pada sosok pelatih Stefano Pioli dari musim ke musim, melahirkan kestabilan kokoh di hampir semua lini permainan. Pada ujungnya, gelar Serie A musim 2021-2022 berhasil mereka menangkan.

Manisnya lagi, kegemilangan Milan merengkuh gelar hanya berselisih dua poin dengan sang juara bertahan, Inter Milan. Salip-menyalip antar keduanya berlangsung hingga laga terakhir, bahkan sengitnya persaingan keduanya menjalar hingga perebutan tiket zona Liga Champions antara Napoli, Juventus, dan AS Roma.

Klub yang disebut terakhir, AS Roma, bahkan menciptakan kejutan yang nyaris tak dipikirkan sebelumnya. Lewat sentuhan tangan dingin Jose Mourinho, mereka berhasil merengkuh trofi Conference League di kancah Eropa.

Bisa dikatakan, Serie A musim 2021-2022 telah menemukan titik keseimbangannya lagi yang baru. Sesuatu yang selama sembilan musim berturut-turut, terseparasi oleh kedigdayaan Juventus.

Keberhasilan Inter dan Milan mematahkan dominasi Juventus, kian mensponsori banyak klub lainnya untuk tak ragu membidik gelar. Sekarang, semua tim bisa berpeluang meraih gelar, setelah sebelumnya probabilitas juara selain Juve mendekati nol.

Ancaman dari Ibukota.


Paulo Dybala sesaat hendak melakukan tes medis untuk bergabung dengan AS Roma | Sumber: Twitter.com/SerieA_Lawas
Paulo Dybala sesaat hendak melakukan tes medis untuk bergabung dengan AS Roma | Sumber: Twitter.com/SerieA_Lawas

Serie A musim 2022-2023 mendatang, agaknya menjanjikan kampanye kompetisi yang lebih sengit dan semarak. Terlebih bila melihat bagaimana tim-tim seperti Napoli, AS Roma, dan Lazio, mulai tak sungkan bergerilya di bursa transfer.

Peta persaingan juara memang belum berubah, masih berkutat pada tim-tim tradisional seperti Milan, Inter dan Juventus.  Namun peta kekuatan klub, sudah sangat jauh berbeda saat ini. Tidak ada lagi ketimpangan yang jomplang, khususnya antara Juventus dan tim selain Juventus seperti di musim-musim sebelumnya.

Semua klub di Italia kini bisa saling mengalahkan, sekaligus bermimpi menjadi pemenang kejuaraan. Keseimbangan kompetisi sudah bukan lagi ilusi, apalagi imajinasi. Titik ekuilibriumnya menebal. Bahkan kian terlihat jelas, ketika Paulo Dybala tertangkap kamera tengah menjalani tes kesehatan untuk AS Roma.

Keputusan Dybala tentu bisa dipertanyakan, mengapa ia harus memilih Roma sementara ada banyak klub mapan lain yang menunggunya?

Jawabannya bisa beragam. Namun yang paling masuk akal, Dybala tentu mempertimbangkan klub yang mempunyai proyek olahraga yang jelas, serta memiliki kesinambungan keuangan yang mampu menopang ambisi-ambisinya.

Roma tentu bukan satu-satunya klub yang memiliki prasyarat itu. Di Italia kini hampir seluruh klub telah memiliki kedewasaan manajerial yang baik. Meski tak seluruhnya punya latar belakang keuangan yang hebat, namun arah kebijakan klub sudah mulai rapih dan tertata.

Musim depan, Roma tampak akan menjadi penantang serius untuk mengejar gelar juara. Begitu pun Inter, Milan dan Napoli, tampak sudah berbenah untuk mengarungi kompetisi yang panjang.

Paradoks Juventus.

Pertanyaan besar kini mengarah pada tindak-tanduk Juventus. Seberapa mampu kah mereka menciptakan paradoks kompetisi yang pernah berhasil mereka rancang sebelumnya?

Sebuah anomali di mana ketika Juve berhasil menciptakan keseimbangan di dalam tubuh mereka, namun memberi dampak ketidakseimbangan serempak terhadap seluruh pesaingnya.

Tentu saja tak mudah menemukan titik keseimbangan itu. Setidaknya butuh waktu beberapa musim untuk merangkai ulang kerangka demi kerangka, yang mampu menopang Juventus sebagai suatu keseimbangan yang utuh.

Juventus perlu setidaknya belajar kepada para rivalnya, Inter dan Milan. Utamanya dalam memandang sepak bola tak sekadar persoalan menang dan kalah, ataupun cuma untung dan rugi. Melainkan juga soal ketersinambungan demokrasi talenta. Pada konteks ini, Milan adalah contoh terbaik.

Juve perlu berkaca kembali pada dirinya di masa lalu, ketika mereka masih piawai menemukan bakat-bakat muda potensial, kemudian menggemblengnya menjadi pemain-pemain kelas dunia.

Jika Juve terus bebal, tak mau beranjak dari algoritma membeli "pemain yang sudah jadi" dengan biaya mahal, boleh jadi satu-satunya trofi yang kelak mereka bawa pulang, adalah trofi paling pahit yang tak satu klub profesional manapun mau meraihnya: katastrofi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun