Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pecahan Beling

21 Mei 2022   11:45 Diperbarui: 21 Mei 2022   12:07 1541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beling itu ia biarkan ada di telapak kakinya sampai pecahan-pecahannya yang lain ia punguti. Namun Ibu masih terus saja melanjutkan amarahnya sampai pada satu titik, aku tak kuat lagi melihat Kamal yang tengah menutupi sakit di telapak kakinya.

Kamal tak menangis. Tetapi di matanya, aku menyaksikan hatinya meledak hancur. Anak lelaki itu tak kuasa lagi memikul beban sebagai pengingat rasa sakit Ibunya sendiri, ketika dulu melahirkannya.

Kamal kemudian berlari menuju kamar. Ia menutup pintu, menguncinya, lalu tak bersuara lagi. Pagi itu, adalah pagi terakhir aku menghirup kesedihannya.

Sore hari Ayah pulang lebih awal. Ia tampak panik ketika Ibu menelepon bahwa Kamal tak keluar kamar sejak pagi. Puluhan kali Ayah memanggil nama Kamal, menggedor-gedor pintu, namun tak juga ada jawaban. Maka dengan palu dan kapak, Ayah coba memaksa masuk.

Pintu pun terbuka. Rupanya Kamal tengah tertidur pulas. Wajahnya letih sekali, kelopak matanya tampak sembab. Kakinya yang luka, ia balut dengan kaus kutang miliknya yang sudah kekecilan. 

Tampak ada noda darah di sana, namun tak besar. Hanya saja pecahan beling yang menancap di telapak kakinya tadi pagi, sudah berpindah ke kerongkongan sebelah kiri.

Ayah jatuh ambruk di depan tempat tidur Kamal. Ia menangis sejadi-jadinya menyaksikan anak sulungnya itu tak lagi bernapas. Sementara mulut Ibu terkunci. Tubuhnya mematung. 

Dadanya sesak entah oleh apa. Ia tak mengira bahwa akan ada rasa sakit yang jauh lebih besar, ketimbang sakit yang kerap ia keluhkan pada Kamal. Rasa sakit yang entah kepada siapa nantinya ia ceritakan.

Semenjak Kamal berusia 4 tahun, ia selalu percaya bahwa rasa sakit yang mungkin ia alami, tidaklah sebesar rasa sakit yang Ibu genggam seumur hidup. Selalu itu yang ia katakan kepadaku, supaya aku tak ikut membuat Ibu marah. 

Itulah mengapa Kamal tak pernah sekalipun menyanggah Ibu, karena ia tak ingin menambah rasa sakitnya lagi.

Hari ini adalah tahun kesepuluh semenjak Kamal berpulang. Aku tak tahu mengapa Ayah dan Ibu tak pernah sama sekali berziarah ke makam Kamal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun