Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pecahan Beling

21 Mei 2022   11:45 Diperbarui: 21 Mei 2022   12:07 1541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pecahan beling | Sumber: pixabay.com

"Melahirkanmu itu sakit, taruhannya nyawa! Kalau Ibu tahu kamu akan jadi nakal begini, mending Ibu ga usah melahirkan kamu sekalian!" Begitu kata Ibu saat memarahi Kamal, anak sulungnya yang susah sekali diberitahu.

Entah mengapa setiap kali Kamal tengah dimarahi, aku seolah mendapat kutukan untuk selalu berada di sana, mendengar suara bentakan Ibu, serta menatap mata Kamal yang tengah berkaca-kaca.

Aku tahu Kamal tidak semestinya dimarahi hanya karena ia menumpahkan air minum. Bagaimanapun, ia baru berumur 6 tahun. Anak sekecil itu tak seharusnya sedikit-sedikit dimarahi. Apalagi Ibu selalu menyinggung-nyinggung soal melahirkan dan melahirkan lagi.

Kamal pernah bilang kepadaku, ia sedih karena telah membuat Ibu merasakan sakit saat melahirkannya. Kalau saja ia tak dilahirkan, Ibu tentu tak perlu merasakan kesakitan seperti yang selalu Ibu katakan.

Ayah selalu tak ada ketika Kamal dimarahi. Ia hanya sempat menengok ke tempat tidur Kamal di malam hari, ketika anak sulungnya itu sudah tertidur. Lalu saat pagi, Ayah sudah keburu berangkat sebelum Kamal bangun.

Bukan sekali-dua kali aku menyaksikan Kamal terisak saat tidur. Entah apa yang dimimpikan, namun sudah pasti sangat menggelisahkan sampai membuat anak sekecil itu mendengkur, bahkan mengigau.

Hari demi hari berlarian seperti kucing yang mengejar kupu-kupu di pekarangan. Aku baru saja menghabiskan gigit terakhir roti coklat yang disisakan oleh Kamal. Cuaca di luar mendung. Beberapa kali kilatan-kilatan petir menyelinap dari balik sela-sela gorden. Namun bukan itu yang mengagetkan.

Suara bentakan Ibu terdengar nyaring memekik kuping. Pagi itu dapur sudah berserakan beling. Rupanya Kamal baru saja memecahkan piring ketika sedang mencucinya. Kakinya sendiri tak sengaja menginjak salah satu pecahannya. 

Cukup besar. Cukup dalam. Ia berdarah. Sakit. Namun ia tahu, rasa sakitnya tak sesakit yang Ibu pernah alami sewaktu melahirkannya.

Beling itu ia biarkan ada di telapak kakinya sampai pecahan-pecahannya yang lain ia punguti. Namun Ibu masih terus saja melanjutkan amarahnya sampai pada satu titik, aku tak kuat lagi melihat Kamal yang tengah menutupi sakit di telapak kakinya.

Kamal tak menangis. Tetapi di matanya, aku menyaksikan hatinya meledak hancur. Anak lelaki itu tak kuasa lagi memikul beban sebagai pengingat rasa sakit Ibunya sendiri, ketika dulu melahirkannya.

Kamal kemudian berlari menuju kamar. Ia menutup pintu, menguncinya, lalu tak bersuara lagi. Pagi itu, adalah pagi terakhir aku menghirup kesedihannya.

Sore hari Ayah pulang lebih awal. Ia tampak panik ketika Ibu menelepon bahwa Kamal tak keluar kamar sejak pagi. Puluhan kali Ayah memanggil nama Kamal, menggedor-gedor pintu, namun tak juga ada jawaban. Maka dengan palu dan kapak, Ayah coba memaksa masuk.

Pintu pun terbuka. Rupanya Kamal tengah tertidur pulas. Wajahnya letih sekali, kelopak matanya tampak sembab. Kakinya yang luka, ia balut dengan kaus kutang miliknya yang sudah kekecilan. 

Tampak ada noda darah di sana, namun tak besar. Hanya saja pecahan beling yang menancap di telapak kakinya tadi pagi, sudah berpindah ke kerongkongan sebelah kiri.

Ayah jatuh ambruk di depan tempat tidur Kamal. Ia menangis sejadi-jadinya menyaksikan anak sulungnya itu tak lagi bernapas. Sementara mulut Ibu terkunci. Tubuhnya mematung. 

Dadanya sesak entah oleh apa. Ia tak mengira bahwa akan ada rasa sakit yang jauh lebih besar, ketimbang sakit yang kerap ia keluhkan pada Kamal. Rasa sakit yang entah kepada siapa nantinya ia ceritakan.

Semenjak Kamal berusia 4 tahun, ia selalu percaya bahwa rasa sakit yang mungkin ia alami, tidaklah sebesar rasa sakit yang Ibu genggam seumur hidup. Selalu itu yang ia katakan kepadaku, supaya aku tak ikut membuat Ibu marah. 

Itulah mengapa Kamal tak pernah sekalipun menyanggah Ibu, karena ia tak ingin menambah rasa sakitnya lagi.

Hari ini adalah tahun kesepuluh semenjak Kamal berpulang. Aku tak tahu mengapa Ayah dan Ibu tak pernah sama sekali berziarah ke makam Kamal. 

Padahal Ayah sudah tak sesibuk dulu, ia lebih banyak meluangkan waktu di rumah. Menemani Ibu yang lebih banyak diam.

Ayah juga tak lagi memajang foto-foto Kamal di ruang tengah. Di kamar tidur. Bahkan di selipan album foto. Mereka seperti tengah berusaha melupakan Kamal. 

Aku menduga, kepergian Kamal meninggalkan penyesalan dan rasa bersalah yang begitu dalam. Entahlah.

Banyak hal yang tak kumengerti dari apa yang kulihat dari Ayah, Ibu, bahkan dari Kamal sendiri. Tetapi setidak-tidaknya, aku bersyukur pagi itu Kamal mengajakku bersembunyi di dalam kamar. 

Mengunci pintu. Sampai kemudian Ayah dan Ibu menemukan kami terbaring berdua, menggenggam beling yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun