Saat riuh orang membicarakan kepulangan Cristiano Ronaldo ke Manchester United, kita seolah lupa bahwa kepulangannya itu, justru didorong oleh sebuah kepulangan lain yang mungkin saja sama ditunggu-tunggunya.
Cerita mengenai Allegri dan kepulangannya ke Juventus, memang kalah bising dengan cerita kepulangan Ronaldo ke MU. Tetapi ada satu kesamaan yang dibawa oleh keduanya, yakni sama-sama membawa harapan baru bagi tempat mereka pulang.
Keputusan Juve memulangkan Allegri, tentu bisa dimengerti, meski menuai banyak pertanyaan juga. Bagaimanapun, keputusan keduanya sepakat berpisah dua musim lalu, ialah karena Juventus menginginkan idealisme sepakbola baru, yang tak lagi bisa ditawarkan oleh Allegri. Tetapi siapa lagi sosok yang paling mengenal karakteristik Juve sebelum ketibaan Ronaldo, kecuali Allegri?
Ironis memang, Juventus ibarat menjilat ludahnya sendiri, ketika mereka memohon-mohon kepada Allegri untuk pulang, demi membangun kembali Juventus yang sejak dua musim terakhir, bermain seperti bukan Juventus.
Juventus pasca Allegri, memang tak pernah gagal absen dalam mengangkat piala. Setidaknya satu trofi di setiap musimnya, yang berhasil diamankan oleh Ronaldo dan kawan-kawan.
Tetapi sialnya, Juventus tampak selalu terseok-seok, memenangkan piala demi piala tadi. Terlebih mereka sampai tercecer finish di posisi keempat, Liga Italia musim lalu. Rasanya cukup menggambarkan bagaimana Juventus tengah compang-camping.
Ada banyak pelatih hebat di luar sana yang menganggur, yang secara karakter teknis, berpotensi sejalan dengan ambisi Juventus. Tetapi entah jalan ninja atau tidak, bukan Juve namanya jika tidak "ngadi-ngadi".
Allegri adalah satu dari sedikit pelatih, yang keputusan-keputusan taktisnya, kerap memunculkan percekcokan argumentatif pada level sufistik.
Kita sering disuguhkan atraksi-atraksi "di luar nalar" Jose Mourinho, baik dalam urusan-urusan teknis maupun bukan. Tetapi pada akhirnya kita bisa menilai, di luar fakta bahwa Mou adalah pelatih hebat, namun sesungguhnya ia hanyalah jelmaan Narsisus, yang tergila-gila pada dirinya sendiri.
Sementara Allegri? Dia adalah seorang sufi. Di kepalanya terdapat banyak paradoksitas, yang barangkali gagasan memainkan sepakbola menghibur, hanyalah remah-remah kecil yang tak terlihat. Baginya, ada yang lebih penting dari itu semua, yakni kemenangan.
Menang adalah cara Allegri berbahasa lewat sepak bola. Perkara ia mengaktualisasikan cara berbahasanya tadi dengan jalan yang bagaimana, itu tidak penting.
Menang 1-0 tetaplah menang. Menang lewat penalti, juga tetap dihitung menang. Apapun asalkan menang, artinya Allegri telah berhasil menyampaikan bahasa sepakbolanya.
Sederhana, namun sebenarnya rumit. Karenanya, kita tak mungkin bisa melakukan simplifikasi isi kepala Allegri, dengan mem-bypass kesimpulan yang jauh dari jalan ilmu pengetahuan. Terlebih dengan dugaan-dugaan subjektif, atau hanya dengan sentimen suka dan tidak.Â
Tentu sah-sah saja jika kita menilai keputusan taktikal Allegri, terlalu pragmatis, konservatif, bahkan jauh dari tuntutan sepakbola modern yang serba menyerang. Faktanya, sepakbola yang digagas dan disiapkan oleh Allegri, memang bukanlah sebuah suguhan hiburan.
Allegri tampak lebih menyiapkan anak asuhnya untuk selalu punya napas panjang. Ia menyiapkan timnya untuk berlari mengejar kemenangan demi kemenangan. Bukan cuma sebatas mengais-ngais tepuk tangan, dari pertunjukan ke pertunjukan. Allegri bukan pelatih sirkus.
Di tengah arus budaya populer sepakbola modern, kita menjadi saksi betapa sepakbola di bawah kendali Allegri, tampak terlihat kontras menopang dirinya sendiri.
Sebuah perjudian besar dengan tetap mengusung sepakbola bertahan, di tengah-tengah kepungan corak sepakbola menyerang yang seragam dan itu-itu lagi. Tetapi Allegri tak peduli.
Sepakbola yang diusung Allegri memang identik dengan permainan bertahan. Terlihat membosankan, namun sesungguhnya begitu sistematis dan terukur. Sepakbola macam ini tentu tak cocok buat mereka yang malas berpikir, terlebih jantungan.
Sepakbola Allegri sesungguhnya telah bermetamorfosa menjadi sebuah skema yang amat dinamis. Ia tak cuma mengakomodir nilai-nilai modernitas yang tengah digandrungi di dalamnya, semisal umpan-umpan pendek dan cepat.
Tetapi gagasan-gagasan baik di masa lalu, semisal corak catenaccio, tetap dipertahankan. Tidak percaya? Coba tengok Juventus di musim 2017-2018.
Pada periode itu, Allegri berhasil membuktikan bahwa pertahanan ialah pondasi terbaik dalam sebuah skema sepakbola. Namun tak berhenti di sana, ia juga tak abai dalam menyematkan ornamen-ornamen yang membuat sepakbolanya tampak begitu cantik.
Pelan namun pasti, skema menyerang Allegri mencapai bentuk terbaiknya pada musim itu. Lihat saja duet Gonzalo Higuain dan Paulo Dybala yang begitu ditakuti.
Sains melalui data-data statistik telah berbicara, bahwa di mana-mana, skema bertahan justru baru bisa menemukan soliditasnya, ketika ia juga diisi oleh karakter pemain yang memiliki naluri menyerang.
Artinya, dalam sebuah skema sepakbola, kecakapan bertahan bukan cuma menjadi tugas seorang gelandang bertahan, terlebih cuma tugas para bek di belakang. Melainkan juga merupakan tanggung jawab seluruh pemain yang saat itu berada di lapangan. Tanpa terkecuali.
Itulah mengapa dalam menyusun skenario bertanding di musim ini, Allegri tampak kerap kali mengesampingkan posisi asli pemain, dan lebih menuntut versatilitas dari para pemainnya.
Di atas kertas, Allegri bisa saja menempatkan Federico Bernardeschi sebagai pemain sayap, namun saat pertandingan berlangsung, Bernardeschi bisa saja memerankan karakter yang bukan pada posisinya. Semua bergantung bagaimana kebutuhan tim saat pertandingan.
Secara tak langsung, Allegri ibarat mengadopsi prinsip-prinsip dasar teknologi kedirgantaraan. Misalnya saja mengacu pada fungsi sayap pesawat, yang tidak hanya berguna sebagai elemen pemecah udara untuk terbang dan melayang. Melainkan juga sebagai penahan laju berputar dan pendaratan. Agaknya, Allegri menginginkan para pemainnya mengusung filosofi itu.
Itulah mengapa, pemain-pemain beratribusi menyerang seperti Dybala hingga Chiesa, di seperempat laga Liga Italia musim ini, tampak mulai lugas dalam menjalankan skema Allegri.
Awalnya para pemain Juve terlihat sangat kikuk. Sebab bagaimanapun juga, mereka yang berdiri di lini serang, dituntut mampu mengidentifikasi serangan lawan, lewat bekal naluri menyerang yang mereka miliki.
Tentu saja pemain-pemain seperti Dybala, hingga Morata, tidak dititikberatkan Allegri untuk turun jauh ke jantung pertahanan. Namun kesediaan mereka dalam mengeliminasi ruang gerak lawan dari lini terdepan, tentunya akan sangat memudahkan kerja kolektif pemain lain dalam menghalau setiap serangan. Hal yang selama ini dianggap enggan dilakukan oleh seorang Cristiano Ronaldo.
Ya, nama yang terakhir disebut memang lantang disuarakan oleh Allegri, sebagai sosok yang paling bertanggungjawab dalam memudarnya corak hitam-putih pada Lo spirito Juventus.
Nama itu juga yang diakui atau tidak, telah memaksa Allegri untuk angkat kaki dari Juventus, beberapa musim lalu.
Kini keadaan justru berbalik. Orang yang membuat Allegri terdepak, justru terpaksa hengkang saat Allegri pulang. Lucu, ironi, namun segalanya adalah normal.
Sepakbola memang akan selalu diwarnai ketidaknormalan, yang seiring waktu akan dinormalisasi sebagai sebuah kenormalan baru.
Kepulangan Allegri, barangkali akan menjadi sebuah ketidaknormalan, yang kelak bertransformasi sebagai sebuah kenormalan baru. Tentu saja ada syarat yang harus ia penuhi, dan tentunya sangat tidak mudah:
Menormalkan kembali Juventus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H