Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Jilat Ludah Presiden Juventus Setelah Gagal Mimpi Basah

31 Mei 2021   11:50 Diperbarui: 31 Mei 2021   12:01 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Seringkali saat hendak mengejar emas, kita justru kehilangan berlian yang telah lama kita miliki."

Para petinggi Juventus tahu persis bagaimana kutipan di atas dikontemplasikan. Bahwa dalam mengejar 'sepakbola menghibur' yang mereka cita-citakan, ternyata harga yang mesti dibayar amatlah mahal.

Kita sedikit melihat ke belakang. Tepatnya pada tiga musim lalu, ketika Juve masih berada di tengah-tengah proses metamorfosis bersama sang pelatih, Massimiliano Allegri. Secara tak diduga-duga, Juventus menjelma menjadi bintang paling terang saat Cristiano Ronaldo berlabuh di kota Turin.

Diakui atau tidak, kedatangan Ronaldo di Juventus telah memunculkan ketergesaan syahwat bagi para petingginya. Setidaknya dalam hal ini, adalah Andrea Agnelli.

Agnelli seolah tak ingin kehilangan momentum, menjadikan Juve sebagai pusat sorotan dunia. Pucuk prestasi, kenaikan popularitas dan kelimpahan finansial, seolah sudah sangat dekat. Terlebih data-data secara eksponensial telah menunjukkan tanda-tanda itu.

Akan tetapi Agnelli lupa, bahwa di balik itu semua, Juventus masih berada dalam sebuah rangkai proses metamorfosisnya yang jauh dari sempurna.

Ketergesaan sering berbuah menjadi keputusan-keputusan yang tak matang. Agnelli semestinya menyadari itu. Tetapi ketimbang bersabar, menanti proses hingga benar-benar tuntas, ia justru tak bergeming. Larut dibuai oleh para pembisiknya.

Bagaimanapun, kedatangan Ronaldo memang tampak mubazir, terlebih jika Juve masih memainkan sepakbola Allegri yang terkenal membosankan.

Segala cara pun dilakukan, Juve bahkan rela mengubah kode DNA mereka yang sudah begitu adanya sejak turun-temurun, cuma demi mengakselarasi proses metamorfosisnya. Setidaknya begitu yang diyakini Agnelli.

Tentu hal ini berarti, mereka tak lagi akan menyertakan Allegri di dalamnya. Bahkan orang yang ikut menebar benih kesuksesan di Juventus, Giuseppe Marotta, tak luput dari daftar nama yang harus dibuang.

Padahal bak buah yang matang dikarbit, ia hanya tampak ranum di permukaan, namun sesungguhnya, tak pernah benar-benar matang sampai ke dalam.

Sepakbola memang bukan sekadar olahraga, dialektikanya kini dimaknai sebagai sebuah industri hiburan, yang dituntut memiliki atraksi-atraksi memanjakan penikmatnya. Juve sebagai salah satu pionir klub yang dikelola secara modern, jelas tak bisa melepaskan diri dari arus gramatika sepakbola kekinian.

Tentu saja kita senang, saat laga sepakbola menyuguhi kita jual-beli serangan yang cepat, serta hujan gol yang spektakuler. Akan tetapi "sepakbola yang menghibur" tak serta merta menjadi satu-satunya elemen dalam hiburan bernama sepakbola itu sendiri.

Faktanya, ada banyak klub sepakbola yang memainkan sepakbola secara pragmatis. Kita sering menerjemahkannya sebagai "negative football". Tentu, ada banyak istilah lain yang berkembang di luar sana. Namun tetap saja, ia memiliki pengertian yang kurang lebih sama; membosankan, serta tak enak ditonton.

Kita sependapat, kemenangan ialah segalanya di sepakbola. Namun tidak demikian bagi sebagian dari kita, atau dalam hal ini, Agnelli. Pada titik ini, Agnelli berambisi, bahwa Juve harus keluar dari zona nyamannya, tak lagi memainkan sepakbola pragmatis.

Agnelli menuntut klub yang dipimpinnya ini bertanding dengan cara yang keren, serta membanggakan untuk diceritakan ulang. Namun apalah arti permainan yang keren dan menghibur, jika klub tak berhasil mengantongi kemenangan?

Itulah yang terjadi pada Juve pasca Allegri. Alih-alih menang dengan keren dan meyakinkan, Juve yang ketika itu dibesut Maurizio Sarri, justru bertanding bak Spiderman yang kehabisan jaring.

Pun demikian saat tampuk kepelatihan diserahkan kepada Andrea Pirlo musim lalu. Juventus yang memutuskan untuk mengubah total wajah sepakbolanya, nyatanya justru kian kehilangan wajah sama sekali.

Sarri dan Pirlo tidak gagal. Keduanya cuma sekadar kambing hitam dari seorang gembala ugal-ugalan, yang bermimpi kambing-kambing gembalanya, ikut lomba panjat pinang.

Baik Sarri, maupun Pirlo, hanyalah dua pria kelewat sial, yang pekerjaannya dibayang-bayangi angan mimpi basah sang Presiden, yang jauh dari kenyataan.

Pada akhirnya meski terlambat, Agnelli mau mengakui, bahwa dirinya mesti berbenah atas buah dari keputusan-keputusannya terdahulu. Juventus yang semula ia kira bisa diubah menjadi sebaik-baiknya Juve, nyatanya telah berevolusi menjadi sesuatu yang bukan Juve.

Sepakbola sebagai sebuah idiom, memang memunculkan tafsiran-tafsiran tersendiri bagi para penikmat dan pelaku di dalamnya. Terlepas dari banyaknya perdebatan mengenai perlu atau tidaknya bermain menghibur, kita setidaknya jadi memahami, bahwa sepakbola tak cuma sekadar bertahan dan menyerang di atas lapangan.

Sepakbola juga merupakan pertarungan sengit di luar lapangan. Soal bagaimana orang-orang di dalamnya berkompromi pada hal-hal esensial, yang bahkan tak ada kaitannya dengan sepakbola sama sekali. Seperti politik, uang, atau bahkan ego.

Mengembalikan Allegri dan memberinya kesempatan membuat Juve bermetamorfosis lagi, ialah sikap ksatria dari Agnelli yang layak diapresiasi. Tak ada yang lebih pahit ketimbang menjilat ludah sendiri. Namun Agnelli mau melakukannya.

Keputusannya untuk melepas Fabio Paratici, salah satu orang kepercayaan Agnelli, juga jadi salah satu langkah paling rasional. Terlalu banyak racun yang terdeteksi di tubuh Juve, dan sekaranglah waktu yang tepat mendetoksifikasinya.

Hari ini Juventus telah memulai kembali proses metamorfosisnya. Kita semua tak pernah tahu, akan menjadi seperti apa Juve nantinya. Namun selagi mereka dibiarkan berproses secara alami, bukan tak mungkin, kita semua akan melihat Juventus yang benar-benar matang di penghujungnya.

Kita berhutang budi pada Juventus, yang telah dengan sangat baik mengajari kita, bahwa tak ada hal lain di dunia ini yang tak mungkin berkhianat, serta benar-benar bisa dipercaya; yakni proses. Sesuatu yang coba dilanggar prinsip-prinsipnya oleh Agnelli dan para pembisiknya, dua musim lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun