Sepakbola memang bukan sekadar olahraga, dialektikanya kini dimaknai sebagai sebuah industri hiburan, yang dituntut memiliki atraksi-atraksi memanjakan penikmatnya. Juve sebagai salah satu pionir klub yang dikelola secara modern, jelas tak bisa melepaskan diri dari arus gramatika sepakbola kekinian.
Tentu saja kita senang, saat laga sepakbola menyuguhi kita jual-beli serangan yang cepat, serta hujan gol yang spektakuler. Akan tetapi "sepakbola yang menghibur" tak serta merta menjadi satu-satunya elemen dalam hiburan bernama sepakbola itu sendiri.
Faktanya, ada banyak klub sepakbola yang memainkan sepakbola secara pragmatis. Kita sering menerjemahkannya sebagai "negative football". Tentu, ada banyak istilah lain yang berkembang di luar sana. Namun tetap saja, ia memiliki pengertian yang kurang lebih sama; membosankan, serta tak enak ditonton.
Kita sependapat, kemenangan ialah segalanya di sepakbola. Namun tidak demikian bagi sebagian dari kita, atau dalam hal ini, Agnelli. Pada titik ini, Agnelli berambisi, bahwa Juve harus keluar dari zona nyamannya, tak lagi memainkan sepakbola pragmatis.
Agnelli menuntut klub yang dipimpinnya ini bertanding dengan cara yang keren, serta membanggakan untuk diceritakan ulang. Namun apalah arti permainan yang keren dan menghibur, jika klub tak berhasil mengantongi kemenangan?
Itulah yang terjadi pada Juve pasca Allegri. Alih-alih menang dengan keren dan meyakinkan, Juve yang ketika itu dibesut Maurizio Sarri, justru bertanding bak Spiderman yang kehabisan jaring.
Pun demikian saat tampuk kepelatihan diserahkan kepada Andrea Pirlo musim lalu. Juventus yang memutuskan untuk mengubah total wajah sepakbolanya, nyatanya justru kian kehilangan wajah sama sekali.
Sarri dan Pirlo tidak gagal. Keduanya cuma sekadar kambing hitam dari seorang gembala ugal-ugalan, yang bermimpi kambing-kambing gembalanya, ikut lomba panjat pinang.
Baik Sarri, maupun Pirlo, hanyalah dua pria kelewat sial, yang pekerjaannya dibayang-bayangi angan mimpi basah sang Presiden, yang jauh dari kenyataan.
Pada akhirnya meski terlambat, Agnelli mau mengakui, bahwa dirinya mesti berbenah atas buah dari keputusan-keputusannya terdahulu. Juventus yang semula ia kira bisa diubah menjadi sebaik-baiknya Juve, nyatanya telah berevolusi menjadi sesuatu yang bukan Juve.
Sepakbola sebagai sebuah idiom, memang memunculkan tafsiran-tafsiran tersendiri bagi para penikmat dan pelaku di dalamnya. Terlepas dari banyaknya perdebatan mengenai perlu atau tidaknya bermain menghibur, kita setidaknya jadi memahami, bahwa sepakbola tak cuma sekadar bertahan dan menyerang di atas lapangan.