Roda kehidupan memang berputar, sekali waktu ia membawa kita berada bergumul pada titik terendahnya, bergulat pada kegetiran, keputus-asaan, bahkan ketidak-berdayaan. Tetapi sekali waktu pula, kita akan dibawanya membumbung tinggi ke tempat di mana tak pernah kita bayangkan sebelumnya, titik di mana segala bentuk proses pengorbanan dan kerja keras kita di masa lalu, berbuah menjadi hasil yang tak hanya membawakan kegembiraan, melainkan juga kebanggaan, yang membuat segalanya tampak terbayar lunas. Bukankah begitu, Juventini?
Siapa yang masih ingat, di musim 2005/2006 ketika Juventus pernah diisi oleh nama-nama besar seperti Del Piero, David Trezeguet, Pavel Nedved, hingga Zlatan Ibrahimovic? Rasanya bukan hanya klub-klub di Italia saja yang ciut ketika mendengar nama Juventus, hampir seluruh klub di Eropa pun setuju, Juventus merupakan nama yang sebisa mungkin amat sangat ingin mereka hindari ketika drawing kompetisi.
Bukan tanpa alasan jika Juventus sangat ditakuti ketika itu, bahkan jika kita menengok kembali skuad Juventus pada musim itu, mayoritas nama-nama pemain di skuad intinya, mengisi hampir sekitar 70% skuad yang tampil berlaga di Final Piala Dunia 2006.Â
Baik mereka yang membela timnas Perancis, maupun mereka yang berseragam Italia yang kala itu keluar sebagai Juara. Sungguh, sebuah kebetulan yang aneh. Atau mungkin lebih tepatnya bukan kebetulan? Karena jika kita telisik lebih jauh skuad Juventus saat itu, nyaris tanpa cela di hampir semua lini.
Juventus bak monster raksasa yang siap memangsa siapapun menjadi lawan-lawannya, mereka memiliki seorang 'superman' Gianluigi Buffon di bawah mistar gawang, mereka punya proteksi berlapis di lini belakang bernama Fabio Cannavaro, Thuram dan Zambrotta.Â
Mereka diberkahi jangkar dan jala penjerat bernama Emerson dan Patrick Viera, sayap-sayap bertenaga jet pada kaki Mauro Camoranesi dan Pavel Nedved, serta terakhir, mereka punya duet penghancur dan eksplosif nomor wahid pada diri Alessandro Del Piero dan David Trezeguet.
Tetapi siapa yang menyangka, pada tahun yang sama pula, bersama AC Milan, Lazio dan Fiorentina, Juventus didakwa terlibat skandal pengaturan skor terburuk sepanjang sejarah sepakbola di negeri Pizza itu. Pada akhirnya, Juve harus rela kehilangan gelar juara Serie A, karena pengadilan memutuskan untuk mencabut gelar yang telah susah payah mereka raih.Â
Tak berhenti sampai di situ, mereka juga dipaksa untuk turun level dan berlaga di liga kasta kedua, bermain di Liga Italia Serie B. Sungguh sesuatu yang amat mengejutkan dan membingungkan, sesuatu yang bisa diibaratkan seperti petir di siang bolong, menyambar tiba-tiba tanpa pertanda, membakar ladang yang siap dituai, serta lumbung yang menyimpan hasil panen.
Tak ada yang menyangka Juventus yang begitu superior ketika itu, bisa mendapatkan dakwaan pengaturan skor yang nyaris tak bisa diterima oleh akal sehat. Apa perlunya skandal tadi, mengingat betapa superiornya kedalaman skuad yang dimiliki Juventus saat itu. Karena tanpa melakukan praktek-praktek kotor pun, bukan hal sulit bagi Juve untuk finish di posisi teratas, mengingat mereka punya pemain sekaliber Del Piero, yang dilapis oleh pemain cadangan sekelas Ibrahimovic!
Tak terbayang besarnya guncangan yang menghantam Juventus saat itu, kehilangan gelar, kehilangan reputasi dan nama baik, serta yang paling parah, kemerosotan nilai finansial dan valuasi saham yang memaksa Juventus harus mencari-cari cara menyelamatkan klub yang tengah hancur lebur saat itu.
Kemalangan Juventus tak berhenti sampai di situ, tak lama setelah klub didakwa melakukan skandal terburuk yang pernah terjadi sepanjang sejarah sepakbola Italia, mereka mulai ditinggalkan satu per satu oleh punggawa-punggawa terbaik mereka, Cannavaro yang kala itu berhasil meraih gelar pemain terbaik dunia 2006, memilih hengkang ke Real Madrid bersama sang pelatih, Fabio Capello.Â
Sementara Zambrotta dan Thuram, secara kompak memilih Barcelona sebagai tempat berlabuh mereka. Tetapi yang paling menyakitkan bagi mereka yang amat mencintai klub ini ialah; proses terjadinya perpindahan Zlatan Ibrahimovic ke klub musuh bebuyutan mereka, Inter Milan.
Juventus tampak compang-camping dan berdarah-darah semenjaknya, pemain-pemain besar pergi, pelatih dengan raihan statistik kemenangan terbaik ketika itu juga turut hengkang. Sudah tak ada lagi Juventus yang menakutkan saat itu, sudah tak ada lagi teror kengerian yang menunggu kesebelasan lain di Serie A pada setiap minggunya. Juventus tampak sudah tamat, Serie A hanya menyisakan Inter Milan sebagai kandidat juara sendirian, sementara Juventus? Mereka memulai lagi fase hidupnya dari titik terendah dalam putaran roda kehidupan tadi, pada liga kasta kedua, di Serie B.
Pada tahun itu pula, pamor Liga Italia Serie A mulai meredup, skandal Calciopoli rupanya tidak hanya menjadikan pukulan bagi beberapa klub yang didakwa terlibat di dalamnya, melainkan juga memukul kompetisi Serie A itu sendiri secara keseluruhan. Serie A mulai tertinggal jauh oleh liga-liga lain yang dulu barangkali hanya dipandang sebelah mata. Jangankan dengan Spanyol dan Inggris, untuk mengejar Liga Jerman dan Portugal saja, Liga Italia masih kurang menarik.
Dari sekian banyak renteten masalah yang diterima Juventus ketika itu, salah satu hantaman yang paling besar yakni dari sisi finansial, kondisi keuangan klub mulai mengkhawatirkan, satu demi satu sponsor mulai menarik diri dari daftar penyokong dana operasional klub. Kontrak-kontrak sponsorship yang saat itu tengah berjalan, mulai banyak yang diputus atau tak lagi diperpanjang, beberapa kontrak yang baru tengah dalam pembicaraan dan penjajakan pun, terhenti dan tak menemui kata sepakat. Kondisi ini pula yang membuat Juventus merombak secara besar-besaran jajaran manajemennya.
Juventus seolah memulai lagi fase kehidupannya yang baru dari titik terendahnya, dari sebuah kompetisi kelas dua, dari posisi paling bawah dengan poin minus di awal kompetisi, serta dengan kondisi keuangan dan reputasi nama baik yang hancur lebur. Saat itu, seolah tak ada lagi nama yang menjadi olok-olok terbesar di persepakbolaan Italia, kecuali Juventus. Tetapi seperti halnya kehidupan yang selalu penuh dengan kesempatan kedua, Juventus pun mulai menatap lagi masa depannya yang baru.
Hanya butuh setahun bagi Juventus untuk bisa kembali berlaga di kompetisi teratas di Italia, namun dalam perjalanannya, kita seolah tak lagi menemukan Juventus yang semenakutkan dulu. Juve seolah kehilangan ruh bahkan nyawa, yang kerap kali tampil kikuk bahkan saat menghadapi kesebelasan semenjana sekalipun.Â
Tak ada lagi semangat Fino Alla Fine yang terkenal itu. Tak ada lagi Lo Spirito Juve yang dulu bersemayam di seluruh punggawa klub ini. Pasca Calciopoli, tercatat sudah empat nama pelatih yang silih berganti menukangi Juventus, dan tak satupun dari keempat nama tadi berhasil mengembalikan Juventus digdaya seperti sebelumnya.
Masa transisi pada tubuh Juventus tidak hanya terjadi di atas lapangan, melainkan juga terjadi pada jajaran tubuh manajemen, yang tercatat telah beberapa kali mengalami pergantian. Dari mulai era kepemimpinan Jean Claude Blanc, hingga yang paling fenomenal, perekrutan Giuseppe Marotta dari Sampdoria yang mulai mengubah arah kebijakan klub menjadi sangat efisien, terencana, dan tentunya profitable!
Juventus mulai mencari-cari cara untuk membuka peluang bagi sumber-sumber keuangan baru, dari mulai perubahan imej brand Juventus yang ditandai dengan perubahan logo baru, penguatan dan penetrasi brand di pasar Asia serta Amerika, lalu yang menjadi puncaknya adalah, keputusan untuk membangun kompleks olahraga dan stadion milik sendiri, yang belakangan mulai menggugah kesadaran banyak klub lain untuk mengikuti jejak Juventus.Â
Hasilnya memang tidak instan, butuh bertahun-tahun bagi Juve untuk menyehatkan kembali keuangannya, yang mana hal ini berdampak pula pada arah kebijakan transfer pemain. Jangankan untuk memboyong pemain-pemain bintang, karena untuk membayar gaji pemain berstatus pinjaman saja, Juve seperti harus berpikir ratusan kali.
Kita tentu masih ingat nama-nama seperti Sergio Aguero atau Robin Van Persie yang namanya kerap dikait-kaitkan akan berlabuh ke Juventus, tetapi pada kenyataannya, pemain-pemain yang didatangkan Juve hanyalah pemain sekelas Carvalho Amauri dan Vicenzo Iaquinta, yang jangankan bisa menyamai, karena untuk mendekati saja rasanya masih teramat jauh.Â
Tetapi begitulah Juventus saat itu, bahkan seorang Andrea Agneli, sang presiden klub, sampai harus mengatakan, butuh waktu bagi Juventus untuk bisa memiliki sebuah 'TV Plasma' dalam skuad pemainnya.
"Waktu adalah koentji." Setelah masa-masa sulit pasca skandal Calciopoli di tahun 2006 lalu, akhirnya di musim 2011-2012, Juve berhasil merebut kembali trofi Liga Italia Serie A. Di bawah asuhan Antonio Conte ketika itu, Juve tidak hanya berhasil merebut satu kali juara Liga, melainkan tiga gelar juara dalam tiga musim berturut-turut.Â
Sungguh suatu capaian back-to-back yang membanggakan bagi seluruh elemen Juve. Akan tetapi superioritas Juventus di liga saat itu, berbanding terbalik dengan penampilan mereka di kancah Eropa. Juve tampak seperti kesebelasan baru yang masih sangat canggung dan tak berdaya menghadapi demam panggung. Hal ini sebetulnya dapat dimaklumi mengingat terbatasnya kedalaman skuad Juventus, yang tak memungkinkan siapapun pelatih yang membesut Juve bisa leluasa menggonta-ganti strategi yang dibutuhkan.
Gelar demi gelar mulai dipersembahkan Conte untuk Juventus, sejalan dengan itu, perlahan namun pasti, keuangan klub sudah mulai bergerak ke arah yang lebih positif. Namun keadaan ini tak serta-merta membuat manajemen mau mengubah arah kebijakan transfer pemain mereka, dengan tetap memegang teguh prinsip kebijakan transfer yang efisien walau tak sesuai dengan yang diinginkan pelatih.Â
Kondisi inilah yang pada akhirnya membuat kesabaran Conte menipis dan tak lagi mampu menahan ego profesinya dengan berkata kepada media ; "Anda tidak bisa pergi makan di restoran 100 Euro, dengan uang 10 Euro."
Conte benar, kita memang tak bisa pergi ke restoran 100 Euro dengan uang 10 Euro. Tetapi Agneli pun tidak mengada-ada, Juventus memang butuh waktu untuk bisa membeli sebuah 'TV Plasma' yang mewah dan mahal untuk ditempatkan ke dalam skuad Juve. Hal ini pula yang membuat keduanya sepakat untuk saling tak bersepakat. Conte memilih pergi dari Juve, sementara Agnelli tetap memimpin Juve dengan caranya sendiri.
Perpisahan Juventus dan Antonio Conte seolah seperti sebuah takdir yang membuka jalan bagi Juve untuk bertemu dengan pelatih tersukses sepanjang sejarah klub, Massimiliano Allegri. Sempat diragukan kiprahnya pada awal masa kedatangannya, Allegri justru berhasil memberikan gelar juara liga sekaligus mengantarkan Juve melaju hingga babak final Liga Champions Eropa, dengan materi pemain yang kurang lebih sama dengan yang pernah dimiliki Conte sebelumnya.
Lambat laun, kiprah Juventus di kancah Eropa mulai diperhitungkan. Tak ada lagi klub Italia selain Juve yang mampu melaju jauh di Liga Champions selain Juventus. Hal ini pula lah yang membuat Juve kerap kali mendapatkan porsi hadiah terbesar dari kompetisi teratas di Eropa itu ketimbang klub-klub lain dari Liga Italia, bahkan tercatat ketika mereka berhasil menjadi runner-up, Juve berhasil mengantongi hadiah yang jauh lebih besar ketimbang sang juara Eropa sekalipun.Â
Hal ini membuat kondisi keuangan Juve kian sehat dari tahun ke tahun. Pemasukan Juve kian bertambah besar karena di saat yang sama, besaran pendapatan dari penjualan tiket stadion milik mereka sendiri, serta kontrak dari beberapa pihak sponsor baru di setiap musimnya selalu mengalami peningkatan.
"Waktu adalah koentji." Barangkali hal inilah yang diyakini betul oleh Agnelli, tetapi tak kuasa dipahami oleh Conte, karena kalau saja Conte mau sedikit bersabar, jangankan restoran yang dengan pilihan menu seharga 100 Euro, yang seharga 1000 Euro pun, saat ini Juve mampu membiayainya.Â
Juve kini telah menjelma sebagai klub terkaya dengan keuangan paling sehat di Italia. Yang lini per lininya dihuni oleh pemain-pemain berkelas semisal Chiellini, Pjanic, Dybala, bahkan sang nomor satu, Cristiano Ronaldo!
Roda kehidupan memang nyata berputar. Klub-klub yang dulu sempat berpesta-pora menikmati kejatuhan Juventus, kali ini berbalik tak berdaya dirundung masalah-masalah finansial, beberapa dari mereka bahkan sampai harus berganti kepemilikan karena tak kuasa lagi menahan beban pengeluaran dan bunga hutang.Â
Tak cuma menjual pemain bintang, bahkan aset semisal Bus resmi klub pun sampai ada yang dijual untuk menutupi defisit keuangan. Roda kehidupan memang berputar. Masih ingat mengenai statement Agneli mengenai 'TV Plasma'? Hingga saat ini sepertinya Juve memang belum kesampaian menghadirkan sosok yang disebut-sebut Agneli sebagai 'TV Plasma' itu ke dalam skuad, padahal jika melihat kondisi keuangan Juve saat ini, bukan hanya satu, Juve bisa saja memboyong beberapa 'TV Plasma' sekaligus untuk menambah mewah skuad Juve saat ini.
Entah apakah Agnelli memang sosok yang telah pikun, berpura-pura lupa, atau bagaimana, tetapi untuk apalagi mengungkit-ungkit soal 'TV Plasma' jika kita telah memiliki 'Smart TV generasi terbaru berketajaman layar 4K'?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI