Sementara Zambrotta dan Thuram, secara kompak memilih Barcelona sebagai tempat berlabuh mereka. Tetapi yang paling menyakitkan bagi mereka yang amat mencintai klub ini ialah; proses terjadinya perpindahan Zlatan Ibrahimovic ke klub musuh bebuyutan mereka, Inter Milan.
Juventus tampak compang-camping dan berdarah-darah semenjaknya, pemain-pemain besar pergi, pelatih dengan raihan statistik kemenangan terbaik ketika itu juga turut hengkang. Sudah tak ada lagi Juventus yang menakutkan saat itu, sudah tak ada lagi teror kengerian yang menunggu kesebelasan lain di Serie A pada setiap minggunya. Juventus tampak sudah tamat, Serie A hanya menyisakan Inter Milan sebagai kandidat juara sendirian, sementara Juventus? Mereka memulai lagi fase hidupnya dari titik terendah dalam putaran roda kehidupan tadi, pada liga kasta kedua, di Serie B.
Pada tahun itu pula, pamor Liga Italia Serie A mulai meredup, skandal Calciopoli rupanya tidak hanya menjadikan pukulan bagi beberapa klub yang didakwa terlibat di dalamnya, melainkan juga memukul kompetisi Serie A itu sendiri secara keseluruhan. Serie A mulai tertinggal jauh oleh liga-liga lain yang dulu barangkali hanya dipandang sebelah mata. Jangankan dengan Spanyol dan Inggris, untuk mengejar Liga Jerman dan Portugal saja, Liga Italia masih kurang menarik.
Dari sekian banyak renteten masalah yang diterima Juventus ketika itu, salah satu hantaman yang paling besar yakni dari sisi finansial, kondisi keuangan klub mulai mengkhawatirkan, satu demi satu sponsor mulai menarik diri dari daftar penyokong dana operasional klub. Kontrak-kontrak sponsorship yang saat itu tengah berjalan, mulai banyak yang diputus atau tak lagi diperpanjang, beberapa kontrak yang baru tengah dalam pembicaraan dan penjajakan pun, terhenti dan tak menemui kata sepakat. Kondisi ini pula yang membuat Juventus merombak secara besar-besaran jajaran manajemennya.
Juventus seolah memulai lagi fase kehidupannya yang baru dari titik terendahnya, dari sebuah kompetisi kelas dua, dari posisi paling bawah dengan poin minus di awal kompetisi, serta dengan kondisi keuangan dan reputasi nama baik yang hancur lebur. Saat itu, seolah tak ada lagi nama yang menjadi olok-olok terbesar di persepakbolaan Italia, kecuali Juventus. Tetapi seperti halnya kehidupan yang selalu penuh dengan kesempatan kedua, Juventus pun mulai menatap lagi masa depannya yang baru.
Hanya butuh setahun bagi Juventus untuk bisa kembali berlaga di kompetisi teratas di Italia, namun dalam perjalanannya, kita seolah tak lagi menemukan Juventus yang semenakutkan dulu. Juve seolah kehilangan ruh bahkan nyawa, yang kerap kali tampil kikuk bahkan saat menghadapi kesebelasan semenjana sekalipun.Â
Tak ada lagi semangat Fino Alla Fine yang terkenal itu. Tak ada lagi Lo Spirito Juve yang dulu bersemayam di seluruh punggawa klub ini. Pasca Calciopoli, tercatat sudah empat nama pelatih yang silih berganti menukangi Juventus, dan tak satupun dari keempat nama tadi berhasil mengembalikan Juventus digdaya seperti sebelumnya.
Masa transisi pada tubuh Juventus tidak hanya terjadi di atas lapangan, melainkan juga terjadi pada jajaran tubuh manajemen, yang tercatat telah beberapa kali mengalami pergantian. Dari mulai era kepemimpinan Jean Claude Blanc, hingga yang paling fenomenal, perekrutan Giuseppe Marotta dari Sampdoria yang mulai mengubah arah kebijakan klub menjadi sangat efisien, terencana, dan tentunya profitable!
Juventus mulai mencari-cari cara untuk membuka peluang bagi sumber-sumber keuangan baru, dari mulai perubahan imej brand Juventus yang ditandai dengan perubahan logo baru, penguatan dan penetrasi brand di pasar Asia serta Amerika, lalu yang menjadi puncaknya adalah, keputusan untuk membangun kompleks olahraga dan stadion milik sendiri, yang belakangan mulai menggugah kesadaran banyak klub lain untuk mengikuti jejak Juventus.Â
Hasilnya memang tidak instan, butuh bertahun-tahun bagi Juve untuk menyehatkan kembali keuangannya, yang mana hal ini berdampak pula pada arah kebijakan transfer pemain. Jangankan untuk memboyong pemain-pemain bintang, karena untuk membayar gaji pemain berstatus pinjaman saja, Juve seperti harus berpikir ratusan kali.
Kita tentu masih ingat nama-nama seperti Sergio Aguero atau Robin Van Persie yang namanya kerap dikait-kaitkan akan berlabuh ke Juventus, tetapi pada kenyataannya, pemain-pemain yang didatangkan Juve hanyalah pemain sekelas Carvalho Amauri dan Vicenzo Iaquinta, yang jangankan bisa menyamai, karena untuk mendekati saja rasanya masih teramat jauh.Â