Tetapi begitulah Juventus saat itu, bahkan seorang Andrea Agneli, sang presiden klub, sampai harus mengatakan, butuh waktu bagi Juventus untuk bisa memiliki sebuah 'TV Plasma' dalam skuad pemainnya.
"Waktu adalah koentji." Setelah masa-masa sulit pasca skandal Calciopoli di tahun 2006 lalu, akhirnya di musim 2011-2012, Juve berhasil merebut kembali trofi Liga Italia Serie A. Di bawah asuhan Antonio Conte ketika itu, Juve tidak hanya berhasil merebut satu kali juara Liga, melainkan tiga gelar juara dalam tiga musim berturut-turut.Â
Sungguh suatu capaian back-to-back yang membanggakan bagi seluruh elemen Juve. Akan tetapi superioritas Juventus di liga saat itu, berbanding terbalik dengan penampilan mereka di kancah Eropa. Juve tampak seperti kesebelasan baru yang masih sangat canggung dan tak berdaya menghadapi demam panggung. Hal ini sebetulnya dapat dimaklumi mengingat terbatasnya kedalaman skuad Juventus, yang tak memungkinkan siapapun pelatih yang membesut Juve bisa leluasa menggonta-ganti strategi yang dibutuhkan.
Gelar demi gelar mulai dipersembahkan Conte untuk Juventus, sejalan dengan itu, perlahan namun pasti, keuangan klub sudah mulai bergerak ke arah yang lebih positif. Namun keadaan ini tak serta-merta membuat manajemen mau mengubah arah kebijakan transfer pemain mereka, dengan tetap memegang teguh prinsip kebijakan transfer yang efisien walau tak sesuai dengan yang diinginkan pelatih.Â
Kondisi inilah yang pada akhirnya membuat kesabaran Conte menipis dan tak lagi mampu menahan ego profesinya dengan berkata kepada media ; "Anda tidak bisa pergi makan di restoran 100 Euro, dengan uang 10 Euro."
Conte benar, kita memang tak bisa pergi ke restoran 100 Euro dengan uang 10 Euro. Tetapi Agneli pun tidak mengada-ada, Juventus memang butuh waktu untuk bisa membeli sebuah 'TV Plasma' yang mewah dan mahal untuk ditempatkan ke dalam skuad Juve. Hal ini pula yang membuat keduanya sepakat untuk saling tak bersepakat. Conte memilih pergi dari Juve, sementara Agnelli tetap memimpin Juve dengan caranya sendiri.
Perpisahan Juventus dan Antonio Conte seolah seperti sebuah takdir yang membuka jalan bagi Juve untuk bertemu dengan pelatih tersukses sepanjang sejarah klub, Massimiliano Allegri. Sempat diragukan kiprahnya pada awal masa kedatangannya, Allegri justru berhasil memberikan gelar juara liga sekaligus mengantarkan Juve melaju hingga babak final Liga Champions Eropa, dengan materi pemain yang kurang lebih sama dengan yang pernah dimiliki Conte sebelumnya.
Lambat laun, kiprah Juventus di kancah Eropa mulai diperhitungkan. Tak ada lagi klub Italia selain Juve yang mampu melaju jauh di Liga Champions selain Juventus. Hal ini pula lah yang membuat Juve kerap kali mendapatkan porsi hadiah terbesar dari kompetisi teratas di Eropa itu ketimbang klub-klub lain dari Liga Italia, bahkan tercatat ketika mereka berhasil menjadi runner-up, Juve berhasil mengantongi hadiah yang jauh lebih besar ketimbang sang juara Eropa sekalipun.Â
Hal ini membuat kondisi keuangan Juve kian sehat dari tahun ke tahun. Pemasukan Juve kian bertambah besar karena di saat yang sama, besaran pendapatan dari penjualan tiket stadion milik mereka sendiri, serta kontrak dari beberapa pihak sponsor baru di setiap musimnya selalu mengalami peningkatan.
"Waktu adalah koentji." Barangkali hal inilah yang diyakini betul oleh Agnelli, tetapi tak kuasa dipahami oleh Conte, karena kalau saja Conte mau sedikit bersabar, jangankan restoran yang dengan pilihan menu seharga 100 Euro, yang seharga 1000 Euro pun, saat ini Juve mampu membiayainya.Â
Juve kini telah menjelma sebagai klub terkaya dengan keuangan paling sehat di Italia. Yang lini per lininya dihuni oleh pemain-pemain berkelas semisal Chiellini, Pjanic, Dybala, bahkan sang nomor satu, Cristiano Ronaldo!