Kami celingukan, kemudian istri Om Uwa segera mengambil sebagian bulu babi hasil pencarian ibu-ibu tadi dan membawa ke dapur. Kami mengikuti seperti anak kecil yang akan mendapatkan mainan baru. Dengan cekatan istri Om Uwa membersihkan bulu babi tadi dan membuka cangkangnya. Tampak bagian berwarna kuning di dalamnya.
"Ambil saja pakai sendok dan langsung makan", kata beliau.
Kami pun nurut dan masing-masing mencoba satu. Mmmm, manis gurih sekali, dengan tekstur seperti telur ikan. Mungkin saya kurang lihai mencongkel, sehingga  bagian yang kuning masih bercampur dengan bagian yang hitam di sebelahnya.Â
Setelah ngobrol sejenak dengan beberapa warga, saya tak tahan lagi, mata ini makin meredup. Amran sudah tidur dari tadi, sedangkan Awang masih saja asik ngobrol. Saya pun kembali merebahkan diri dan terlelap.
Tak berapa lama, Awang membangunkan kami berdua.
"Ayo makan!", saya masih mengatur nyawa. Namun Amran terlihat segera bergerak. Ah, benarkah makan lagi di tengah malam begini?
Di ruang sebelah, hamparan ikan bakar beraneka rupa telah tersedia. Kami duduk bersila melingkar. Setelah dikomandoi Om Uwa, jamuan makan tengah malam pun dimulai.
"Pokoknya kalau disuruh makan harus makan", tegas beliau.
Saya hanya bisa terkesima. Kami dihidangkan ikan bakar segar, yang baru hitungan sejaman tadi ditangkap. Saya melupakan nasi karena sudah cukup termuat di perut saya tadi bersama mie instan, sekarang saatnya ikan. Kakap, baronang, goropa beraneka rupa siap disantap.
Mengintip si gosong kailong
Setengah lima lewat, setelah sholat subuh, kami bersiap di pinggir jalan. Perahu bersemang milik Om Uwa telah bersedia. Air telah naik pagi ini. Saya bersama Amran, Om Uwa dan dua kawan lain, Rifai (29) dan Emet (29) segera menaiki perahu. Kawan Awang kembali memilih tetap di rumah Om Uwa. Mesin katinting ditarik, dan kami meluncur menuju Pulang Saleng yang berada tepat di depan Desa Koyobunga.