Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Gamalama

7 Agustus 2022   22:52 Diperbarui: 7 Agustus 2022   22:54 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Danau Tolire dan Gunung Gamalama di Pulau Ternate (@Hanom Bashari) 

Saya masih berada di bagian luar pintu keberangkatan Bandara Sam Ratulangi di Manado, Sulawesi Utara, ngobrol bersama dua orang teman lama saya. Mereka mengantar saya dari kota. Jadwal take-off pesawat masih satu jam lebih, 11.00 nanti.

Pagi masih terlihat cerah di awal Desember 2007. Pukul sepuluh, saya akhirnya berpamitan dengan teman-teman yang mengantar saya saat itu. Tentu berharap dapat berjumpa kembali.

Setelah masuk melewati x-ray security scanner di pintu awal, saya mulai celingukan mencari counter check-in maskapai berlogo merah yang akan saya tumpangi sampai ke Kota Ternate di Provinsi Maluku. Ruang check-in terasa sepi.

Agak sedikit di ujung sebelah kiri, akhirnya saya temui counter dengan jurusan yang saya mau tuju. Saya masih berjalan santai. Layar informasi di atas meja check-in jelas menunjukkan tujuan saya.

Saya tengok ke jam analog yang tergantung di dalam ruangan check-in tersebut, masih menunjukkan sekitar 10.10. Tapi tumben-tumbenan tidak ada antrian. Tidak apa-apalah, mungkin penerbangan lagi sepi, pikir saya saat itu.

Saya segera menghadap ke meja check-in dan menyerahkan tiket dan KTP ke petugas wanita yang duduk di baliknya. Dia kemudian mengambilnya.

"Maaf Pak, check-in untuk penerbangan ke Ternate sudah ditutup", tiba-tiba wanita di balik meja tersebut berbicara. Jeng-jeng.. Tentu saya kaget mendengarnya.

"Koq sudah tutup?' tanya saya.

"Iya Pak, check-in sudah ditutup, tidak bisa lagi, pesawat sudah penuh".

Pernyataan terakhir ini yang membuat saya tiba-tiba jadi agak emosi.

"Loh, saya pegang tiket asli, siapa yang isi kursi saya?", tanya saya nge-gas.

"Iya Pak, semua kursi telah terisi?"

"Iya, tadi mbak-nya sudah bilang begitu. Tapi saya tanya, tiket saya apakah ada yang ganti? Saya tidak cancel tiket saya"

Si mbak petugas kelihatan kebingungan.

"Coba mbak, panggil superviser atau manajer mbak ke sini, saya mau tanya ke dia", sambung saya.

Kemudian petugas tadi sibuk ber-handy talky, entah kepada petugas pesawat atau atasannya. Di tengah kepanikan si petugas tadi, datanglah pemuda ikut antri di belakang saya. Berpakaian sedikit rapih, menenteng tas ransel kecil, bersepatu boots kulit coklat. Khas para pekerja tambang.

"Mau check-in, Mas?" tanya saya.

"Iya".

"Katanya pesawat sudah penuh", terang saya.

"Loh koq bisa". Saya angkat bahu saja.

Tidak berapa lama munculah petugas lain yang terlihat lebih tua sambil memegang handy-talky juga. Saya menduga, petugas ini superviser si mbak petugas sebelumnya.

"Mohon maaf Pak, pesawat sudah penuh tidak bisa lagi tambah penumpang", terang petugas baru tadi dengan nada masih ramah.

"Iya saya sudah dengar itu", timpal saya, "yang saya tanyakan, kenapa saya yang pegang tiket asli tidak bisa check-in dengan alasan pesawat penuh, berarti ada yang isi tempat duduk saya".

"Iya Pak, mohon maaf, tapi waktu check-in sudah habis dan ditutup".

"Loh koq alasannya sekarang ganti. Kapan batas waktu check-in paling lambat?" langsung saya gas lagi. "minimal 30 menit sebelum jadwal take-off, benar?"

"Benar Pak", petugas tadi seperti tidak berkutik.

"Sekarang jam berapa, lihat di jam itu", sambil saya menunjuk ke jam analog besar yang ada di ruang check-in ini. Waktu masih menunjukkan pukul 10.20.

"Saya malah sudah datang dari tadi loh, sepuluh menitan yang lalu", saya tambahkan. "Jadi, seharusnya sekarang sudah tutup atau belum untuk check-in?"

"Iya Pak, harusnya masih boleh check-in. Tapi mohon maaf saat ini sudah tidak bisa karena pesawat sudah penuh".

"Jadi, kami yang salah ini?".

"Iya Pak, maaf. Kami akan ganti tiket bapak atau kami alihkan ke penerbangan esok hari. Bagaimana Pak. Kami akan tanggung penginapan dan makan selama penundaan ini. Mohon maaf sekali lagi".

"Mbak gimana, saya harus berangkat hari ini juga ke Ternate", tiba-tiba pemuda di belakang saya ikut menimpali.

"Kalau harus berangkat, saya juga harus berangkat", saya tambah-tambah.

"Bentar ya Pak, saya tanya dulu langsung ke pesawat," balas petugas kedua tadi. Petugas tadi sibuk dengan HT-nya, sepertinya berbicara dengan awak maskapai yang ada di pesawat.

Saya sendiri tidak habis pikir, bahkan sampai saat ini. Biasanya maskapai ini memang sering bermasalah soal ketepatan waktu, gagal terbang ditinggal terbang, maupun urusan bagasi yang klasik. Tapi, sekarang berbeda dengan yang saya alami. Kami berdua masih memegang tiket, tapi pesawat sudah dinyatakan penuh. Berarti, apakah ada penumpang gelap yang tiba-tiba nyelak kami.

Suudzhon saya sih, tiba-tiba ada rombongan orang penting entah siapa itu, tidak punya tiket, kemudian memaksa untuk segera terbang. Tentu kejadiannya di awal pembukaan check-in. Karena orang penting, akhirnya tiket keluar, dan segeralah check-in ditutup begitu seluruh kursi pesawat disanggupi dibayar oleh rombongan tadi.

Itu sih khayalan saya saja. Intinya kami yang sial, entah kenapa. Sementara si pemuda tadi, sibuk bertelponan, sepertinya menceritakan situasi yang ada dengan koleganya di tempat tujuan. Tak berapa lama, wanita petugas tadi datang kembali.

"Baik Pak, masih tersedia kursi, tapi hanya untuk orang," si petugas wanita tadi menerangkan.

Kami celingukan, jelas ini menimbulkan konflik baru.

"Baiklah," kata saya sambil saya menyodorkan kembali KTP saya.

"Mas, tolonglah, saya harus ke Ternate hari ini juga," kata pemuda yang ada di belakang antrian saya.

"Iya, saya juga harus ke Ternate hari ini, dan saya yang datang lebih dahulu tadi."

"Iya, tapi tolonglah. Saya akan bayar ke mas untuk selama kebutuhan menunda penerbangan ini sampai besok," terang di pemuda meyakinkan saya, walau mungkin dia juga tahu kalau maskapai ini akan menyediakan tiket dan akomodasi pengganti.

Permukiman Kota Ternate di sisi timur pulau (@Hanom Bashari)
Permukiman Kota Ternate di sisi timur pulau (@Hanom Bashari)
Saya sebenarnya saat itu memang harus ke Ternate, tapi bukan sesuatu yang mendesak. Tidak ada hal yang saya harus lakukan segera, artinya saya sebenarnya bisa saja menunda penerbangan sampai besok.

Satu hal, saya sebenarnya ingin juga memberi pelajaran buat maskapai dan petugas ini. Tidak bisa seenaknya membatalkan tiket seseorang yang sah. Ini pasti ada pelanggaran prosedur. Namun niat saya sementara hanya ingin membuat repot serepot-repotnya petugas ini.

Penundaan penerbangan memang selalu tidak menyenangkan, walaupun kita sendiri punya banyak waktu. Perjalanan pertama saya ke Ternate, kenapa harus begini, pikir saya saat itu.

"Sebentar Mas, saya harus komunikasi ke bos saya dulu," terang saya belaga.

Saya sebenarnya bisa saja hanya sekadar ber-SMS ke pimpinan saya saat itu. Tapi saya lebih baik menelponnya.

Saya menyingkir beberapa meter, tak jauh dari mereka juga. Kemudian menelpon atasan saya yang sudah berada di Ternate, bersuara sedikit dikeraskan agar terdengar juga oleh petugas dan mas orang tambang tadi.

Saya, menjelaskan situasi yang terjadi, serta dengan intonasi meyakinkan bahwa kesalahan bukan ada di saya. Terakhir, saya mohon pertimbangan beliau. Untunglah maskapai ini sudah punya reputasi buruk untuk hal-hal kekacauan seperti ini. Semuanya lancar.

"Oke Mas, ngga apa-apa. Silakan Mas yang berangkat," jelas saya setelah bertelpon tadi. Mas tadi berterimakasih, memberi saya beberapa ratus ribu rupiah, kemudian segera check-in dan lanjut berjalan menuju arah keberangkatan dengan sedikit berlari.

Saya menunggu untuk mengurus tiket pengganti dan penginapan. Singkat cerita semua akhirnya berjalan lancar. Saya terbang keesokan harinya sampai juga di Ternate. Dapat uang saku tambahan lagi. Lumayan.

Ternate, sebagai sebuah kota tua nan megah, juga merupakan pulau kecil dengan luas sekitar 700 ribu hektar. Kota dengan cerita legenda yang bertumpuk-tumpuk, tempat benteng-benteng bersejarah peninggalan Portugis dan Belanda betebaran di seputaran pulau.

Permukiman di Kota Ternate dan Gunung Gamalama di bagian latar (@Hanom Bashari)
Permukiman di Kota Ternate dan Gunung Gamalama di bagian latar (@Hanom Bashari)
Pulau yang paling dicari pada abad ke-15 dan 16, karena rempah-rempahnya yang sangat dibutuhkan di Eropa. Area yang menjadi tujuan para penjelajah Eropa berpetualang, diutus oleh para rajanya, bersaing mencari dan menemukan sumber cengkih dan pala, yang saat itu harganya konon berlipat tak terjangkau melebihi harga emas. Pusat rempah dunia yang berabad-abad disembunyikan lokasinya oleh para pedagang Arab.

Sebagai bagian dari Provinsi Maluku Utara saat ini, kota ini merupakan pusat perekonomian daerah, namun bukan sebagai ibukota Provinsi. Pusat permukiman terpadat Ternate sendiri berada di sisi timur pulau.

Ibu kota Provinsi berada di Sofifi, terletak di Pulau Halmahera, sekitar 18 kilometer di sisi barat Ternate. Pulau Ternate juga bertetanggaan dekat dengan Pulau Tidore di bagian tenggara, yang merupakan pulau dan kota administrasi tersendiri.

Hampir tepat di tengah pulau Ternate ini, menjulang gagah sebuah gunung api aktif, Gamalama. Puncaknya dapat dilihat dari mana pun di pulau ini, yang selalu mengeluarkan kepulan asap putih.

Jika kita ke Ternate menggunakan pesawat udara, dan tiba masih cukup pagi, kita dapat melihat dengan jelas puncak Gamalama ini. Area sekitar kawah menghitam dan coklat, yang merupakan area sisa muntahan lava yang telah mengering dan membatu, serta area yang hanya bisa ditumbuhi ilalang karena panasnya.

Kawah puncak Gamalama (@Hanom Bashari)
Kawah puncak Gamalama (@Hanom Bashari)
Tak jauh dari lingkaran lava kering hitam tersebut, masih menghijau area hutan alam yang lebat, namun lambat laun berubah menjadi perkebunan pala dan cengkih yang subur, ketika makin mendekati pantai.

Kadangkala sang pilot dari dalam kabinnya, ikut menjelaskan perihal gunung ini, membawa kami para penumpangnya sedikit mendekat ke atas kawah Gamalama, sebelum berputar dan mendarat di Bandara Sultan Babullah, di sisi timur laut pulau.

Pulau Ternate merupakan bagian dari rangkaian ring of fire dunia. Gunung-gunung api aktif berjejer di kepulauan ini. Jika dari atas pesawat, kita bisa melihat deretan pulau-pulau gunung api di Maluku Utara ini, dari Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Belum lagi, gunung-gunung aktif lainnya di Pulau Halmahera.

Di kota dan Pulau Ternate inilah saya bertemu pertama kali dengan istri saya dan juga tempat anak saya dilahirkan. Bahkan saya sempat memiliki KTP dan Kartu Keluarga di Kota ini.

Nah, awal Desember 2011, tepat empat tahun setelah kedatangan saya pertama kali ke Ternate ini, ketika anak kami belum genap dua tahun, di tengah malam buta yang awalnya tenang, tiba-tiba terdengarlah suara gemuruh. Di rumah kontrakan, kami masih terjaga menemani anak kami yang kerap terbangun malam.

Awalnya saya menduga, mungkin ini suara gemuruh guntur yang memang lagi musim hujan. Tidak ada dugaan lebih dalam. Namun isteri saya lebih khawatir. Mungkinkah Gamalama meletus.

Saya mencoba ke luar. Malam masih gelap seperti biasa. Puncak Gamalama tidak kelihatan sama sekali. Mega memang lagi tebal-tebalnya juga. Suara gemuruh tadi memang terdengar dari arah puncak Gamalama, semalaman.

Beberapa bulan sebelumnya saya sempat mendaki gunung ini sampai ke puncak. Saya dan teman naik tepat dari pos pemantauan gunung api ini, di salah satu desa di kaki Gunung Gamalama. Jadi saya yakin, jika gunung ini beraktivitas meningkat, pastilah ada pemberitahuan sebelumnya.

Namun ketika subuh, betapa kaget kami. Abu sudah bertebaran di halaman rumah. Tidak salah lagi, Gamalama meletus. Pesan-pesan dari telepon seluler segera beredar. Kami berdiam diri di rumah, menutup seluruh ventilasi dengan koran-koran bekas yang kami punya. Untunglah bahan makanan masih tersedia di rumah.

Ternate dengan latar Gunung Kie-matubu di Pulau Tidore (@Hanom Bashari)
Ternate dengan latar Gunung Kie-matubu di Pulau Tidore (@Hanom Bashari)

Beberapa hari kami tidak masuk kantor. Sisi barat dan utara pulau diberitakan mengalami gangguan paling parah akibat muntahan debu vulkanik ini. Bandara di sisi timur laut pulau telah ditutup sejak awal, sampai waktu yang tidak ditentukan. Setelah beberapa hari letusan agak reda, kami putuskan kembali berkantor.

Sebenarnya letusan ini cukup besar. Aliran lahar dingin bahkan sampai mengalir di samping rumah kami yang berdekatan dengan barangka atau kali mati. Namun alhamdulillah, tidak ada korban jiwa langsung dari kejadian meletusnya Gunung Gamalama 2011 ini.

Kami sekantor agak sedih dengan kejadian ini. Sebab musabab adalah, akhir tahun ini kami seluruh staf kantor di Ternate sudah diundang untuk hadir di Bogor, kegiatan workshop tahunan. Tentulah ini menyenangkan bagi sebagian kami yang asli Ternate dan belum pernah sampai ke Jawa, apalagi Bogor.

Bandara Babullah masih tutup, yang berarti menutup kemungkinan kami untuk ke Bogor. Tapi, ternyata tidak. Di kantor, setelah mendengar keluh kesah staf yang bersedih tidak jadi berangkat, tiba-tiba munculah ide.

"Bagaimana kalau kita ke Bogor lewat Manado?" ungkap salah seorang teman kami.

"Ah, benar juga".

"Iya, kita bisa naik kapal ke Manado, kemudian terbang ke Jakarta," semangat kami kembali menyala. Ya, jarak Ternate ke Manado memang hanya sekitar 270an kilometer dan ada kapal penumpang yang rutin bergerak dengan rute ini, semalaman.

Singkat diskusi, kami berbagi tugas. Saya menghubungi kantor di Bogor, untuk menyampaikan rencana kami. Kami masih dapat hadir ke acara di Bogor walau agak terlambat beberapa jam, dengan menempuh rute dan angkutan lain yang beragam.

Sementara beberapa teman lain juga mulai mencari informasi jadwal kapal Ternate menuju Manado, dan jadwal pesawat dari Manado ke Jakarta. Hasilnya, pihak Bogor setuju.

Sore itu juga kami sudah dapat informasi. Kapal ke Manado berangkat besok sore, dan pesawat dari Manado ke Jakarta ada lusa siang. Pas, kami akan tiba di Manado lusa pagi, kemudian dapat langsung berangkat lagi ke Jakarta siang harinya.

Bukan main senangnya teman-teman ini. Bahkan saking senangnya, kami sempat-sempatnya berfoto ria konyol di luar kantor yang penuh debu vulkanik sang Gamalama.

Esoknya habis dzuhur kami kami telah bersiap ke pelabuhan Ahmad Yani di Kota Ternate. Tiket telah dibeli sejak kemarin. Kami bersepuluh, satu wanita.

Kapal kami adalah kapal berukuran sedang. Saya lupa nama kapalnya. Rangka kapal sudah berbahan besi. Kapal penumpang seperti kapal-kapal rute Manado ke Sangihe dan Talaud seperti yang dahulu sering saya naiki.

Kami semua memiliki tiket kelas ekonomi, namun menyewa satu kamar ABK untuk menyimpan seluruh bagasi kami agar lebih aman. Di dek kelas ekonomi, tersedia tempat tidur besi dan tingkat, bernomor sesuai nomor yang tertera di tiket kami. Sedangkan di kamar ABK, hanya tersedia satu dipan kayu tingkat.

Pukul empat sore, kapal akhirnya berangkat. Sementara sebagian besar kami memilih berada di anjungan belakang kapal. Kami dapat melihat Gamalama dengan kepulan asap abunya yang kelabu, menjunjung tinggi, menyetuh langit tertinggi yang pernah kami lihat.

Permukiman Ternate terlihat menjauh. Kami bergerak ke selatan, sebelum akhirnya memasuki selat Ternate-Tidore, kemudian bergerak ke arah barat. Kembali, gugusan pulau-pulau gunung api di sisi barat Halmahera ini terlihat berjajar indah.

Ternate - Hiri - Halmahera (@Hanom Bashari)
Ternate - Hiri - Halmahera (@Hanom Bashari)
Teman kami yang lagi senang-senangnya dengan lensa Nikon fisheye-nya, tak henti-henti memotret kanan kiri, baik foto kami, kapal, Gamalama yang mengepul, maupun deretan pulau-pulau yang mempesona ini.

Kapal mulai berguncang. Kami yang sedang senang tiada ambil pusing. Berpepet-pepet di ruang ABK yang hanya bekipas angin.

Saya yang pernah puas menaiki kapal seperti ini, senang bercampur sedih. Anak dan isteri saya masih di Ternate. Untunglah saat itu ada mertua saya di rumah, jadi saya tidak terlalu risau dengan situasi ini.

Kami dan saya tetap kembali ke Ternate sepekan kemudian, setelah kejadian perjalanan yang heboh ini. Meneruskan kerja kami di Maluku Utara ini, di Ternate dan Halmahera.

Akhirnya saya dan keluarga benar-benar pindah dari pulau ini enam bulan kemudian. Meninggalkan kota kelahiran anak saya. Meninggalkan beberapa kenangan yang susah untuk dilihat kembali.

Mungkinkah gembok kami masih ada di Pelabuhan Residen sana?*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun