Untuk membunuh waktu, saya kadang-kadang sekadar duduk-duduk di caf ini, walaupun tidak membeli sesuatu, mengamati ombak putih bergulung akibat putaran baling-baling kapal, atau pun mengamati orang lain seperti saya, sendirian, termenung, ngelamun, sambil ada yang sebagian komat kamit mengikuti lirik lagu.
Dari Merauke, kapal kembali ke Agats. Pada hari keenam perjalanan, pagi hari kami tiba di pelabuhan Timika, di Kabupaten Mimika. Kapal sandar di pelabuhan. Buruh bagasi Papua yang besar-besar pun segera merangsek naik. Saya waspada.
Dari kejauhan saya berjalan hilir mudik melihat kardus-kardus bagasi saya. Tiba-tiba salah seorang buruh bagasi yang tinggi besar berdiri di samping tumpukan kardus saya, mencoba menggeser-geser dan sedikit mengangkat. Dia celingukan, saya pura-pura tidak melihatnya dari kejauhan.
Hati saya sesungguhnya berdebar-debar. Apa jadinya jika buruh bagasi itu nekad, membawa salah satu kardus saya yang super berat itu ke luar kapal, berharap pemiliknya komplain.
Jika itu terjadi, saya akan tetap membutuhkan buruh bagasi tadi untuk mengangkat kardus kembali ke kapal, karena jelas saya tidak akan kuat mengangkat sendirian. Tentu, perlu membayar. Untunglah itu tidak terjadi, karena selain berat, di sebagian kardus jelas tertulis tujuan: Bitung.
Kapal bersandar cukup lama, satu jam lebih. Penumpang turun dan naik telah selesai. Pelabuhan perlahan sepi. Saya pun turun sebentar ke pelabuhan, sekadar kembali menyatakan diri, saya sudah menginjakkan kaki di bumi Papua, walaupun yang saya injak adalah beton pelabuhan.
Saya juga tidak berusaha mencari ATM lagi di sini, karena jelas terlihat dari atas kapal, pelabuhan ini terpencil dan terkurung dengan hutan bakau, jauh dari permukiman.
Hari ketujuh siang, kami tiba di Pelabuhan Kota Fakfak. Waktu singgah kali ini diumumkan hanya sekitar setengah jam. Dari kejauhan telah tampak bukit-bukit yang sesak dengan permukiman. Jalan melingkar sampai ke tebing-tebing terlihat di teluk kecil, tempat pelabuhan berada.
Bertahun-tahun setelah saya singgah di Fakfak ini, saya mengetahui bahwa daerah ini merupakan bagian dari Kesultanan Tidore di Maluku Utara, secara historis maupun budaya sampai sekarang. Penduduk muslim telah dikenal dan tercatat oleh para penjelajah Spanyol pada awal abad ke-17 yang singgah di kota ini.
Saya mencoba turun dari kapal, sekadar duduk-duduk di pelabuhan. Mengamati permukiman sampai ke tebing-tebing tinggi, sampai kapal stom dua kali, saya kembali masuk ke kapal.
Pada pergantian hari ke delapan dan sembilan, tengah malam buta, kapal kami singgah di Pelabuhan Babang di Pulau Bacan, Maluku Utara. Tidak banyak penumpang turun naik di sini. Saya menyempatkan diri bangun dan melihat ke luar, bahkan turun sebentar ke dermaga pelabuhan. Sepi.