Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sepuluh Hari Bersama Kapal Pelni (Bagian Pertama)

22 Juni 2022   10:35 Diperbarui: 25 Juni 2024   23:34 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu kapal Pelni (www.pelni.co.id)

2006. Kepulauan Tanimbar, Maluku -- Bitung, Sulawesi Utara

Sejak sore, kami sudah menumpuk selusin kardus-kardus surya berisi barang bawaan kami di tepi dermaga Saumlaki. Kardus bagasi kami ini tidak kepalang tanggung beratnya, karena sebagian besar berisi ratusan buku perpustakaan kami, bahkan ada juga yang berisi mesin faksimili jaman duhulu yang segede gaban.

Saumlaki merupakan ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat di Provinsi Maluku, yang berada di Pulau Yamdena bagian selatan. Saat itu, 2006, kapal Pelni hanya singgah di pelabuhan ini sekitar sebulan sekali.

Pelni atau Pelayaran Nasional Indonesia merupakan perusahaan pelayaran di Indonesia, yang telah ada sejak awal 1950an. Menjadi saingan ketat dari perusahaan pelayaran Belanda saat itu, Koninklijke Paketvaart Maatschappij, yang telah ada di Indonesia sebelumnya sejak 1800an.

Walaupun sekarang masih eksis, namun sepertinya pergi antar daerah dengan kapal Pelni sudah tidak menjadi favorit lagi. Pada dekade 1990 dan 2000an, perjalanan dengan Pelni masih menjadi pilihan logis dan ekonomis.

Saya sudah lupa nama kapal Pelni yang saya tumpangi saat itu di Saumlaki. Namun ini merupakan tipe kapal penumpang Pelni yang sangat besar.

Kapal yang akan saya naiki saat itu akan menempuh jalur yang panjang. Kapal mulai berangkat dari Kupang kemudian ke Saumlaki, kemudian singgah di beberapa pelabuhan di Kepulauan Maluku, Papua, dan sampai ke tujuan akhir di Bitung Sulawesi Utara, persis seperti tujuan kami saat ini.

Sedikit terlambat seperti biasa, kapal tiba sekitar jam delapan malam. Kami telah sedia di pelabuhan. Tiket penumpang dan bagasi telah kami kantungi sejak kemarin. Namun terus terang, kami sedikit berbohong soal jumlah koli atau kardus yang kami sebutkan, jauh lebih sedikit. Jauh banget malah.

Karena ini perjalanan panjang, kami membeli tiket penumpang kelas II agar lebih nyaman.

Ketika kapal tiba, kami berbagi peran seperti yang sudah diskenariokan. Saya dan teman saya segera mencari kabin sesuai tiket, dengan membawa dan beberapa ransel besar.

Sementara itu, teman-teman kami lainnya bergerak cepat mengamankan belasan kardus besar tadi ke atas kapal, dalam dua tumpukan yang berjauhan, di lorong-lorong kelas ekonomi. Ya, tentu dengan sengaja kami ingin mengalihkan "pelanggaran" kami ini jika terdapat pemeriksaan.

Sesungguhnya pada jaman itu, sudah merupakan hal yang biasa untuk membawa apa pun ke atas kapal Pelni. Jangankan cuma kotak kardus, yang membawa sofa pun ada. Tentu semua bagasi "illegal" tersebut berkompensasi dengan memberi tips ke petugas yang ada, saat itu.

Buruh bagasi yang kami sewa memang luar biasa. Dari perawakannya mungkin berumur 50an, dengan tangan dan jari-jari yang lebar khas petani atau buruh pekerja keras. Satu kardus kami sampai 2-3 orang mengangkat dan mengangkut sampai ke atas kapal, tapi dia, dengan santai mengangkat satu per satu kardus 50an kilo itu sendirian.

Stom atau klakson kapal sudah menggaung dua kali. Sebentar lagi stom tiga kali dan kapal akan bergerak berangkat. Kata orang Ambon: "kapal su stom tiga kali, itu tanda mo lapas tali".

Walaupun saat itu kami beramai-ramai ke pelabuhan dan mengatur semua keberangkatan ini, namun sesungguhnya, hanya sayalah, sendiri, saat itu yang akan berangkat.

Misi saya saat itu adalah: membawa seluruh barang kantor beserta ratusan buku-buku yang berharga ini dengan selamat sampai ke pelabuhan Bitung, dalam 10 hari perjalanan laut.

Kapal su stom tiga kali, kapal su lapas tali, tidak ada kata untuk kembali lagi, dan dimulailah drama 10 hari.

Baca juga: Sumba, Kuda, dan Malaria

---

Pukul 10 malam, kapal tarik jangkar dan bergerak pelan. Biasanya kami suka juga duduk-duduk di pelabuhan, sekadar melihat keramaian jika kapal-kapal besar datang siang atau sore. Memperhatikan hilir mudik manusia, yang sibuk maupun terharu, yang tertawa maupun menangis saat kapal tiba dan berangkat dari pelabuhan.

Kali ini saya yang berdiri di tepi pagar kapal bagian dalam, melihat orang-orang berdadah-dadah dari atas kapal, termasuk teman-teman saya sendiri, yang sebagiannya saya tidak pernah bertemu lagi sampai saat ini.

Kapal telah bergerak menjauh. Saumlaki hanya tinggal titik-titik terang lampu, dan kami akhirnya keluar Teluk Saumlaki. Informasi pengeras suara menyebutkan tujuan pelabuhan selanjutnya adalah Tual, di Kepulauan Kei, arah timur laut Saumlaki.

Malam pertama ini saya masih khawatir. Sebelum masuk kamar, saya berjalan keliling dahulu, memastikan kardus-kardus kami masih tetap pada tempatnya. Tentu melihat-lihat dari jauh saja.

Kamar kelas II dengan kamar kelas I di kapal Pelni sesungguhnya sama saja, hanya berbeda jumlah penumpang yang berbagi kamar. Di kamar kelas II saat itu terdapat tiga ranjang tingkat, dengan satu kamar mandi di dalam. Kami penumpang di kamar itu tidak perlu berbagi kamar mandi dengan banyak penumpang lain.

Malam pertama di kapal saat itu, sesungguhnya membuat saya susah tidur. Saat itu saya sama sekali tidak punya dan tidak sempat membawa uang tunai dalam jumlah yang saya anggap cukup.

Hal yang saya khawatirkan adalah, bagasi penumpang saat itu adalah "obyekan" pada kru kapal. Kalau bagasi kami ini dipersoalkan oleh petugas, mau tidak mau saya harus memberikan tips kepada mereka. Dari mana uang tips tersebut.

Pagi hari, pengeras suara telah menginformasikan, kami akan tiba segera di Pelabuhan Kota Tual. Dari atas kapal, pelabuhan ini tampak lebih besar dari Saumlaki. Terdapat dua dermaga besar terpisah. Dermaga besar sedikit menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi biasanya lebih banyak di daerah tersebut.

Kapal Pelni di Pelabuhan Tual (www.beritabeta.com) 
Kapal Pelni di Pelabuhan Tual (www.beritabeta.com) 
Sejak semalam saya sudah memasang target. Ketika kapal berlabuh, maka misi utama saya adalah segera turun untuk mencari ATM dan mengambil uang tunai, tabungan. Sedikit was-was karena diumumkan bahwa kapal hanya singgah sekitar setengah jam. Maka begitu kapal sandar sempurna, saya sudah siap di pintu keluar kapal.

Saya turun bersama para penumpang lain yang berjejal dengan penumpang dan buruh bagasi berebut masuk. Menapak di pelabuhan saya celingukan, mata menyapu pelabuhan, mencari kotak kaca bertuliskan ATM. Tidak ada.

Setengah berlari saya keluar area pelabuhan menuju jalan terbesar yang bisa saya lewati. Sepanjang 100-200 meter ditelusuri, tanya kanan kiri, tidak ada informasi letak ATM berada. Stom kapal mulai berbunyi. Saya lunglai setengah berlari kembali ke kapal. Mungkin di pelabuhan berikutnya, saya bisa mendapatkan ATM ini.

Baca juga: Jika Ingin Kembali, Inilah Saatnya

---

Berada di kapal Pelni besar, menjadi penumpang kelas II termasuk nyaman. Kami mendapat sedikit privasi untuk kamar tidur dan kamar mandi. Walaupun maksimal dapat ditempati enam penumpang, tapi selama perjalanan ini, tidak pernah penumpang kamar saya ini penuh.

Untuk urusan makan, awalnya saya bingung. Tapi setahu saya penumpang kelas I sampai III mendapat ruangan khusus untuk makan. Tidak antre jatah makan dengan nampan aluminium seperti di kelas ekonomi. Tanya petugas, akhirnya ketemu-lah restoran untuk penumpang kelas II.

Bagi saya saat itu, ini sudah cukup mewah. Kami duduk di hadapan meja yang penuh dengan makanan. Bisa tambah lagi.

Setiap kapal Pelni juga biasa dilengkapi mushola yang cukup besar. Azan selalu berkumandang di pengeras suara sampai ke lorong-lorong kapal, sesuai waktu sholat saat kapal berada.

Selalu ada sholat berjama'ah juga di mushola kapal. Karena semua warga kapal adalah musafir, maka sholat jama'ah pun sudah dikondisikan untuk jama' qoshor saja, setiap dzuhur dan maghrib. Tentu yang unik adalah, kiblat akan selalu berubah, mengikuti posisi arah kapal.

Gagal mendapatkan ATM di pelabuhan pertama, membuat saya segera berpikir untuk pelabuhan berikutnya, Dobo, ketika kami akan singgah di Kepulauan Aru, arah barat dari Tual. Tapi sialnya, ternyata jadwal kapal ini singgah di Dobo pada malam hari, maka lenyaplah kesempatan berikutnya pula.

Setiap pagi setelah sarapan, biasanya akan ada pemeriksaan tiket. Pada hari pertama dan kedua, perwira kapal yang memeriksa, masih selalu meminta tiket saya dan tiket bagasi tentunya.

"Sampai Bitung, Mas?"

"Iya Pak, sampai ujung", jawab saya.

"Ada bagasi?"

"Ada Pak, sebagian di bawah", sambil saya menunjukkan tiket bagasi saya.

Nah pertanyaan-pertanyaan seperti ini akhirnya tidak pernah terulang lagi setelah hari ketiga. Petugas biasa hanya membuka pintu dan menyapa "Gimana, aman". Sip pak.

Keadaan ini yang membuat saya sedikit lebih tenang. Setidaknya mudah-mudahan petugas kapal tidak ingin menanyakan posisi persis bagasi-bagasi saya yang bujibun itu.

Tenang namun tidak mengurangi kewaspadaan. Selesai sarapan saya biasa turun ke dek tempat tumpukan kardus-kardus saya berada. Memastikan semua tetap lengkap.

Jurus saya mengecek biasanya adalah hanya melihat dari kejauhan atau berjalan melintas di depan kardus-kardus saya tersebut, tanpa pernah sekali pun mencoba berhenti atau memeriksa langsung di dekat tumpukan kardus tersebut.

Beberapa kali saya melihat juga, petugas kapal memeriksa kardus-kardus bagasi saya tersebut, kemudian melihat kanan kiri seperti mencari pemilik bagasi. Tentu saya segera ngumpet.

---

Setelah Dobo, hari ketiga sore kami singgah di Pelabuhan Agats. Di sini cukup unik, karena kapal tidak sandar langsung ke dermaga. Kapal agak jauh dari dermaga dan kapal-kapal kecil hilir mudik mengantar penumpang dari pelabuhan ke kapal maupun sebaliknya.

Baca juga: Pindah Antar-Kapal di Tengah Laut: Antara Ketegangan dan Kesigapan

Terlihat jelas memang pelabuhan ini dikelilingi hutan bakau. Saya tidak dapat turun. Namun beberapa penumpang lain bercerita bahwa Agats merupakan kota yang dibangun di atas papan, karena kondisi tanahnya yang berawa.

Dari Agats kami bergerak ke Kota Merauke. Perjalanan ini cukup lama, karena kami sampai pada hari berikutnya. Sampai di Merauke pagi hari, saya pun tak mensia-siakan kesempatan, menjejakkan kaki benar-benar di bumi Papua, bahkan di kota paling timur di Indonesia ini.

Pengumuman di kapal menyebutkan bahwa kapal akan berhenti selama sekitar 6 jam, jadi kami akan berangkat lagi sekitar pukul tiga sore. Wah, kebetulan, bisa jalan-jalan. Namun masalah yang saya hadapi sesungguhnya tetap sama. Saya tidak punya uang tunai memadai, sehingga misi utama saya adalah tetap mencari ATM. Baiklah.*

(berlanjut ke bagian kedua).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun