Keadaan ini yang membuat saya sedikit lebih tenang. Setidaknya mudah-mudahan petugas kapal tidak ingin menanyakan posisi persis bagasi-bagasi saya yang bujibun itu.
Tenang namun tidak mengurangi kewaspadaan. Selesai sarapan saya biasa turun ke dek tempat tumpukan kardus-kardus saya berada. Memastikan semua tetap lengkap.
Jurus saya mengecek biasanya adalah hanya melihat dari kejauhan atau berjalan melintas di depan kardus-kardus saya tersebut, tanpa pernah sekali pun mencoba berhenti atau memeriksa langsung di dekat tumpukan kardus tersebut.
Beberapa kali saya melihat juga, petugas kapal memeriksa kardus-kardus bagasi saya tersebut, kemudian melihat kanan kiri seperti mencari pemilik bagasi. Tentu saya segera ngumpet.
---
Setelah Dobo, hari ketiga sore kami singgah di Pelabuhan Agats. Di sini cukup unik, karena kapal tidak sandar langsung ke dermaga. Kapal agak jauh dari dermaga dan kapal-kapal kecil hilir mudik mengantar penumpang dari pelabuhan ke kapal maupun sebaliknya.
Baca juga: Pindah Antar-Kapal di Tengah Laut: Antara Ketegangan dan Kesigapan
Terlihat jelas memang pelabuhan ini dikelilingi hutan bakau. Saya tidak dapat turun. Namun beberapa penumpang lain bercerita bahwa Agats merupakan kota yang dibangun di atas papan, karena kondisi tanahnya yang berawa.
Dari Agats kami bergerak ke Kota Merauke. Perjalanan ini cukup lama, karena kami sampai pada hari berikutnya. Sampai di Merauke pagi hari, saya pun tak mensia-siakan kesempatan, menjejakkan kaki benar-benar di bumi Papua, bahkan di kota paling timur di Indonesia ini.
Pengumuman di kapal menyebutkan bahwa kapal akan berhenti selama sekitar 6 jam, jadi kami akan berangkat lagi sekitar pukul tiga sore. Wah, kebetulan, bisa jalan-jalan. Namun masalah yang saya hadapi sesungguhnya tetap sama. Saya tidak punya uang tunai memadai, sehingga misi utama saya adalah tetap mencari ATM. Baiklah.*
(berlanjut ke bagian kedua).