Untuk urusan makan, awalnya saya bingung. Tapi setahu saya penumpang kelas I sampai III mendapat ruangan khusus untuk makan. Tidak antre jatah makan dengan nampan aluminium seperti di kelas ekonomi. Tanya petugas, akhirnya ketemu-lah restoran untuk penumpang kelas II.
Bagi saya saat itu, ini sudah cukup mewah. Kami duduk di hadapan meja yang penuh dengan makanan. Bisa tambah lagi.
Setiap kapal Pelni juga biasa dilengkapi mushola yang cukup besar. Azan selalu berkumandang di pengeras suara sampai ke lorong-lorong kapal, sesuai waktu sholat saat kapal berada.
Selalu ada sholat berjama'ah juga di mushola kapal. Karena semua warga kapal adalah musafir, maka sholat jama'ah pun sudah dikondisikan untuk jama' qoshor saja, setiap dzuhur dan maghrib. Tentu yang unik adalah, kiblat akan selalu berubah, mengikuti posisi arah kapal.
Gagal mendapatkan ATM di pelabuhan pertama, membuat saya segera berpikir untuk pelabuhan berikutnya, Dobo, ketika kami akan singgah di Kepulauan Aru, arah barat dari Tual. Tapi sialnya, ternyata jadwal kapal ini singgah di Dobo pada malam hari, maka lenyaplah kesempatan berikutnya pula.
Setiap pagi setelah sarapan, biasanya akan ada pemeriksaan tiket. Pada hari pertama dan kedua, perwira kapal yang memeriksa, masih selalu meminta tiket saya dan tiket bagasi tentunya.
"Sampai Bitung, Mas?"
"Iya Pak, sampai ujung", jawab saya.
"Ada bagasi?"
"Ada Pak, sebagian di bawah", sambil saya menunjukkan tiket bagasi saya.
Nah pertanyaan-pertanyaan seperti ini akhirnya tidak pernah terulang lagi setelah hari ketiga. Petugas biasa hanya membuka pintu dan menyapa "Gimana, aman". Sip pak.