Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sumba, Kuda, dan Malaria

29 Mei 2022   21:08 Diperbarui: 29 Mei 2022   21:11 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan musim di Pulau Sumba. Tampak pohon-pohon kering menggugurkan daunnya di akhir musim kemarau. (@Hanom Bashari)

2007. Sumba, Nusa Tenggara Timur

Menjelang siang, setelah makan terakhir di kamp, tim bergerak membongkar tenda dan segala perlengkapan kemping kami. Saya hanya duduk di pinggir. Kepala saya makin berat.

Semalam, pemandu utama kami mengingatkan, "lokasi kamp kita besok, di Loku Engu, agak angker Pak".

"Angker bagaimana Pak?"

"Ya, intinya kita harus lebih berhati-hati menjaga ucapan kita, tingkah laku kita.".

"Terus bagusnya bagaimana Pak?"

"Ya, mau bagaimana lagi. Tidak ada tempat sumber air lain yang lebih baik dan terdekat dari situ."

"Ya sudah, tidak apa-apa Pak. Kalau bapak-bapak mengizinkan kami membuat tenda dan bekerja di situ, kami akan patuhi apa yang boleh dan tidak boleh di sana", pungkas kami.

Siang ini, kami meninggalkan kamp di Pandangi Rowa, untuk menuju lokasi lain ke arah selatan di Loku Engu. Kami melewati jalan-jalan setapak tua. Saat itu, kami sedang melakukan survei keragaman hayati di salah satu taman nasional di Sumba.

Kami berada di wilayah Desa Malinjak, salah satu desa di bagian selatan Kabupaten Sumba Tengah, NTT. Hamparan hutan memang masih lebih banyak daripada padang ilalang.

Petak-petak hutan dan padang ilalang yang umum terlihat di Pulau Sumba. (@Hanom Bashari)
Petak-petak hutan dan padang ilalang yang umum terlihat di Pulau Sumba. (@Hanom Bashari)
Ketika siang bolong seperti ini, perjalanan sambil memanggul ransel-ransel besar ketika melintas pintas padang ilalang, benar-benar cobaan. Daun ilalang menyayat kulit-kulit tangan kami yang mulai merah kepanasan.

Menjelang jam tiga sore kami akhirnya kami tiba di Loku Engu. Di tepi sebuah sungai kecil dan tempat agak mendatar, kami mendirikan tenda untuk menginap beberapa hari ke depan.

Tenda-tenda telah didirikan. Sore ini seharusnya kami melakukan observasi kembali, namun sakit kepala saya semakin menyiksa serta perut mual mulai terasa. Saya izin kepada tim untuk tidak ikut observasi dan hanya teman saya dan tim-nya saja yang berangkat.

Saya memberanikan diri ke sungai, sekitar 10an meter dari kamp kami. Saya menghela napas, duduk di sebuah batu. Jelas, dalam beberapa hari terakhir, bahkan mungkin beberapa bulan, tidak pernah turun hujan di sini.

Lapisan batuan karst di dasar sungai terlihat, dengan sebagian ceruk-ceruk kecil terisi air, sebagiannya lagi mengering. Lumut-lumut kering telah menyegerap beberapa permukaan tak tergenang. Sementara pada ceruk yang terisi air, lumut dan dedaunan menutup permukaan air. Sungai ini menuju kering, tidak ada aliran apalagi mata air yang keluar.

Kami berhati-hati memilih ceruk-ceruk air dari sungai kering ini, mana ceruk air untuk sumber minum dan masak, mana untuk mandi dan cuci. Sepertinya sisa air di sejumlah ceruk ini masih cukup untuk kami dalam 4-5 hari ke depan. Saya masih mencoba untuk mandi cepat, sekadar membersihkan badan yang terasa lengket oleh keringat.

Hutan dan padang ilalang di Pulau Sumba. (@Hanom Bashari) 
Hutan dan padang ilalang di Pulau Sumba. (@Hanom Bashari) 
Saya kembali ke tenda. Duduk. Suhu badan saya makin terasa menghangat. Setelah meminta dibuatkan teh manis panas oleh tukang masak kami, saya membaringkan diri. Saya hampir tahu pasti, ada sesuatu yang bergerak muncul dari badan saya.

Sejak tadi pagi saya sudah menduga, ini malaria. Dari semua gejalanya, sore ini saya sudah memastikan, dia muncul.

Malaria merupakan penyakit khas daerah tropika. Di Indonesia, penyakit ini masih salah satu yang menakutkan. Daerah-daerah di NTT merupakan salah satu daerah tertinggi kasus malaria di Indonesia sampai saat ini. Ribuan kasus kerap terjadi setiap tahun di Indonesia, walaupun dilaporkan terus menurun.

Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, Indonesia saat ini masih memegang peringkat negara kedua tertinggi (setelah India) di Asia untuk jumlah kasus malaria, berdasarkan World Malaria Report 2020.

Nyamuk jenis Anopeles betina merupakan pengantar parasit tipe Plasmodium. Gigitan nyamuk membuat parasit masuk, mengendap di organ hati, dan menginfeksi sel darah merah.

Sel darah merah yang terinfeksi akan pecah setiap 48-72 jam. Setiap kali sel darah merah pecah maka akan menyebabkan tubuh menggigil, suhu tubuh meningkat dan berkeringat.

Gejala malaria sangat khas, tentu bagi yang pernah merasakan, seperti demam tinggi sampai menggigil, sakit kepala hebat, berkeringat, mual sampai muntah, dan tentu badan pegal-pegal.

Saya dapat mengenali gejala malaria, karena ini bukanlah yang pertama bagi saya. Saya lupa persisnya, namun dulu saya pernah menghitung, belasan kali malaria saya pernah kambuh.

Saya masih mempertahankan wudhu saya sampai menjelang magrib, sengaja untuk menghindari tersentuh air dingin saat itu. Teman saya sudah kembali. Tanpa saya duga, dia datang bersama teman saya lainnya. Ternyata tempat kami menginap tidak jauh dari tim survei lainnya menginap.

Maghrib tiba, saya bergegas sholat berjamak isya. Makanan segera disiapkan untuk saya lebih cepat. Tapi sialnya, mual saya makin menggila, tidak ada nafsu makan sama sekali.

Beberapa teman datang menemani saya. Malaria bukan hal yang aneh di Sumba, saya pun berusaha tenang dan memahami situasi, tidak terbawa suasana sakit ini.

"Mas, besok kembali saja ke Waikabubak", kata Om Dominggus, teman saya asli Sumba, yang kebetulan tinggal di desa Manurara, tak jauh dari tempat kami menginap ini.

"Iya, saya juga berpikir lebih baik begitu", sambil mencoba memaksa nasi dan air masuk ke dalam tenggorakan saya yang pahit.

"Begini saja", terang Om Doms. "Malam ini saya akan ke Tangairi untuk menyiapkan kuda. Besok Mas akan dijemput oleh adik-adik saya ke sini, terus diantar sampai Tangairi dan naik kuda sampai ke Lahona".

"Berapa jauh sampai Tangairi", tanya saya.

"Yaa mungkin setengah jam dari sini. Kuda tidak bisa sampai ke sini karena banyak menyeberangi sungai. Dari Tangairi nanti ada orang yang akan mengantar sampai Lahona. Kita antar sampai SD di Lahona. Sudah ada sinyal di sana".

"Baguslah, nanti saya sampai sana sudah bisa telepon kantor untuk dijemput".

"Tapi bagaimana besok pagi, apa bisa jalan?" tanya Om Doms.

"InsyaAllah bisa. Mungkin sebentar lagi saya akan demam berat. Tapi besok pagi mudah-mudahan lebih segar".

"Okelah, besok adik-adik saya akan jemput jam tujuhan. Istirahatlah sekarang".

Hal yang menakutkan dari malaria adalah saat demam hebat terjadi. Saya sudah menyadari ini.

Demam malaria yang biasa saya alami umumnya terjadi setiap 24 jam, pada jam yang hampir sama setiap hari. Konon, inilah ciri malaria tropika, jenis malaria terparah yang disebabkan Plasmodium falciparum.

Tak menunggu waktu lama setelah makan, saya segera muntah, untungnya tidak sebanyak makanan yang telah masuk. Saya salah strategi. Seharusnya saya segera makan dan minum obat sedari sore tadi, tidak menunggu malam tiba.

Di kotak obat setiap survei ke hutan, saya selalu menyediakan beberapa paket klorokuin tablet. Satu paket terbungkus 10 tablet masing-masing 150 gram. Saat itu saya biasa menggunakan dosis 4-4-2. Empat tablet hari pertama, empat tablet hari kedua pada jam yang sama, dan dua tablet hari ketiga, juga pada jam yang sama.

Beberapa kali dosis ini manjur untuk saya, minimal untuk menghilangkan gejala malaria dalam 2-3 hari. Namun dalam kondisi demam sudah meninggi, tentu bukan hal yang mudah bagi saya untuk menghabiskan 4 tablet sekali minum, obat yang super pahit ini.

Setengah berbaring dan kadang duduk, saya meminta teman saya untuk mengawasi saya. Saya tahu jika demam meninggi, saya mungkin akan berhalusinasi. Kita tidak sadar, apakah yang terjadi adalah nyata atau sekadar mimpi dan halusinasi.

"Tolong awasi saya. Pastikan saya meminum empat tablet ini semua. Jika saya bilang mau istirahat dulu, tolong paksa saya minum. Jika saya tertidur, segera bangunkan saya. Jangan ada rasa kasihan dengan saya untuk ini. Tolong jangan marah kalau saya bersikap kasar nanti", begitu kira-kira pesan saya.

Setelah kejadian minum klorokuin ini beberapa bulan kemudian, saya selalu teringat kejadian tersebut seperti cerita pada novel Harry Potter. Saat Harry dan Profesor Dumbledore mencari horcrux di sebuah gua tepi laut. Karena harus meminum seluruh air beracun di dalam tempayan, sang Profesor meminta Harry untuk memastikan sang guru meminum seluruh air tersebut apapun yang terjadi.

Singkat cerita, setelah perjuangan lebih dari dua jam berpadu antara sadar dan berhalusinasi, saya bisa menuntaskan empat tablet masuk ke badan saya.  Saya pun tertidur.

Saya masih sempat terbangun tengah malam dengan badan penuh keringat, namun lebih terasa enteng di kepala. Pagi hari, badan seperti terasa segar, seakan-akan sudah baikan dan menuju sembuh. Tapi saya tahu, ini hanya episode jeda periode demam saja yang menipu.

Setelah subuhan, saya segera sarapan sebanyak yang saya mampu dan minum air sebanyak saya sanggup. Packing semua barang saya, dan saya pun berjalan meninggalkan kamp diiringi 3 orang.

Salah satu rumah masyarakat di Dusun Tangairi, Sumba Barat. Tipe rupa beratap ilalang yang paling umum di perdesaan, di Sumba. (@Hanom Bashari)
Salah satu rumah masyarakat di Dusun Tangairi, Sumba Barat. Tipe rupa beratap ilalang yang paling umum di perdesaan, di Sumba. (@Hanom Bashari)

Sekitar setengah jam, kami sampai di Dusun Tangairi, orang-orang sudah menunggu. Saya duduk di salah satu teras rumah kayu. Kuda abu-abu agak besar terlihat dituntun mendekat.

Ya, inilah sebenarnya inti yang ingin saya ceritakan. Inilah pertama kali saya melakukan perjalanan dengan menunggangi kuda.

Baca juga: Naik Pesawat Rasa Bus, Kami Mengaku Salah

"Nanti saya yang antar sampai Lahona Pak" kata salah seorang dari mereka, lelaki setengah baya dengan belitan kain tenun ikat khas Sumba di pinggangnya, serta terselip parang Sumba yang tipis dan bergagang bahan tanduk nan indah.

Seseorang kemudian melapisi punggung kuda dengan selembar kain yang sepertinya bekas selimut. Dalam banyangan saya tadinya, saya mungkin akan tampil keren, berkuda layaknya koboi, di tengah-tengah padang ilalang. Tapi hal itu ternyata tidak terjadi.

Saya menaiki kuda dengan hati-hati dari panggung rumah yang agak tinggi. Tas diserahkan ke penuntun saya. Kalau di film-film, penunggang kuda memegang tali kekang, tapi saya perhatikan, mana tali kekang yang harus saya pegang?.

"Pegangan pada rambut kuda Pak" kata penuntun saya seperti tahu apa yang saya cari. Hanya ada satu tali yang terhubung ke kuda, dari ikatan di mulut dan leher kuda. Dan, itu dipegang oleh penuntun kuda saya.

Saya mengucapkan salam dan terima kasih kepada warga dusun sebelum kuda akhirnya berjalan pelan. Berjalan bukan karena kendali saya tentunya, tapi karena dituntun dan ditarik oleh bapak di depan saya.

Gagallah saya tampil keren seperti para penunggang kuda di film-film itu.

Hutan musim di Pulau Sumba. Tampak pohon-pohon kering menggugurkan daunnya di akhir musim kemarau. (@Hanom Bashari)
Hutan musim di Pulau Sumba. Tampak pohon-pohon kering menggugurkan daunnya di akhir musim kemarau. (@Hanom Bashari)

Perjalanan awal masih cukup nyaman karena mendatar. Badan saya pun masih segar. Tapi kemudian cobaan datang.

Tujuan kami adalah Lahona, sebuah enclave di tengah hutan Taman Nasional, yang saat itu merupakan area yang dapat dijangkau dengan mobil terdekat yang dapat saya capai, dan bersinyal handphone.

Kami berangkat dari Dusun Tangairi yang hampir di pinggir pantai dan menuju Lahona dengan ketinggian sekitar 400 mdpl. Mau tidak mau akan ada pendakian.

Memang saya hanya duduk saja dalam perjalanan ini, termasuk perjalanan mendaki yang akhirnya mulai terjadi. Saya berada di punggung kuda tanpa pelana dan kekang, kuda miring ke atas depan dan saya tanpa pegangan, tentu saja saya segera melorot. Saya terpaksa pergegangan erat pada surai kuda.

Bertahan agar saya tidak merosot jatuh sambil berpegangan pada surai kuda ternyata bukan perkara gampang. Dan, ini saya lakukan sekitar tiga jam. Hal yang saya syukuri, pendakian ini tidak sampai membuat saya ngos-ngosan.

Sekitar dua jam mendaki, kami beristirahat sebentar di tepi sungai kecil. Saya merasakan hal aneh. Seperti ada rasa perih dan sakit di pantat saya. Tapi saya waktu itu tidak berpikir macam-macam, karena sudah banyak kemudahan yang saya alami dari perjalanan ini.

Padang rumput dan ilalang, yang umum dijumpai di Pulau Sumba. (@Hanom Bashari)
Padang rumput dan ilalang, yang umum dijumpai di Pulau Sumba. (@Hanom Bashari)

Setelah hampir tiga jam perjalanan dalam hutan-hutan kecil yang teduh, kami akhirnya tiba di sebuah dataran. Padang alang-alang beserta terik matahari menyambut kami di tengah hari. Kali ini masalah bertahan dari kemelorotan di punggung kuda sudah berakhir, namun sakit dan perih di pantat masih terasa.

"Kita berhenti di SD Inpres saja Pak ya?", tanya bapak yang menuntun saya.

"Iya Pak, tidak apa-apa, yang penting sudah di pinggir jalan dan ada sinyal", sahut saya.

Akhirnya kami tiba di tujuan. Saya turun dan segera tiduran di bale-bale yang ada di dekat situ. Bapak pengantar pamit, sambil memberikan tas kepada saya. Tentu saya mengucapkan terima kasih banyak atas segala bantuannya.

Saya segera menghubungi kantor saya di Waikabubak dan minta segera di jemput di SD Lahona.

Sambil menunggu, saya tiduran dan sedikit memakan bekal biskuit yang ada. Tiba-tiba sakit di kedua pantat saya kembali terasa perih. Ah, mumpung tidak ada orang, saya pun mulai meraba-raba.

Sial, ternyata pantat saya lecet di beberapa tempat. Pantas saya perih dari tadi. Gesekan antara punggung kuda saat tanjakan tadi ternyata tidak main-main.

Petak-petak hutan, padang ilalang, kebun, dan rumah di Pulau Sumba. (@Hanom Bashari)
Petak-petak hutan, padang ilalang, kebun, dan rumah di Pulau Sumba. (@Hanom Bashari)

Setelah menunggu satu jam lebih, sebuah mobil datang dan berhenti di dekat sekolah tempat saya beristirahat. Keluar dari mobil, orang yang saya kenal. Om Rius, pria berkumis teman saya di kantor, asli Flores tapi telah menetap lama di Sumba ini.

"Hallo friend, apa kabar. Aku dengar kena hantam malaria ini", sapa Om Rius sampai senyam senyum, berjalan santai menuju saya.

"Iyalah, bagaimana lagi".

"Santai friend, aku sudah check-in kan kamar di Lende Moripa. Kapan pun friend mau masuk, sudah siap. Sementara masih kelas satu. Lagi full. Besok baru bisa pindah ke VIP", terang Om Rius. Lende Moripa adalah Rumah Sakit terbaik yang ada di Waikabubak, ibukota Sumba Barat.

"Gapapa Om, yang penting ada".

Kami pun segera berjalan masuk ke mobil sewaan kami. Tas saya dibawa Om Rius. Tak berapa lama, mobil berjalan, kembali menuju Waikabubak.

Dalam tengah perjalanan, Om Rius asik mengoceh tentang keadaan kantor. Sesekali tertawa dengan perut buncitnya yang ikut terpingkal-pingkal. Mereka tidak anggap hal serius untuk setiap kejadian malaria seperti saya ini.

"Om Rius, sampai di kantor nanti, saya mau mandi dulu, ganti baju yang bersih. Nah, sebelum kita ke Lende Moripa, tolong belikan saya nasi padang dengan rendang dan bumbunya yang banyak. Saya ingin makan enak dahulu".

"Siap friend, santai saja". Tak lama saya terlelap dalam mobil.

Sumba, terkenal dengan kuda-kudanya yang dapat kita lihat di mana pun. Walau sayang, harapan saya melakukan perjalanan sambil menunggangi kuda Sumba yang terkenal tangguh itu, dalam keadaan yang kurang baik. 

Terima kasih banyak untuk semua yang sangat membantu saya saat itu.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun