Sel darah merah yang terinfeksi akan pecah setiap 48-72 jam. Setiap kali sel darah merah pecah maka akan menyebabkan tubuh menggigil, suhu tubuh meningkat dan berkeringat.
Gejala malaria sangat khas, tentu bagi yang pernah merasakan, seperti demam tinggi sampai menggigil, sakit kepala hebat, berkeringat, mual sampai muntah, dan tentu badan pegal-pegal.
Saya dapat mengenali gejala malaria, karena ini bukanlah yang pertama bagi saya. Saya lupa persisnya, namun dulu saya pernah menghitung, belasan kali malaria saya pernah kambuh.
Saya masih mempertahankan wudhu saya sampai menjelang magrib, sengaja untuk menghindari tersentuh air dingin saat itu. Teman saya sudah kembali. Tanpa saya duga, dia datang bersama teman saya lainnya. Ternyata tempat kami menginap tidak jauh dari tim survei lainnya menginap.
Maghrib tiba, saya bergegas sholat berjamak isya. Makanan segera disiapkan untuk saya lebih cepat. Tapi sialnya, mual saya makin menggila, tidak ada nafsu makan sama sekali.
Beberapa teman datang menemani saya. Malaria bukan hal yang aneh di Sumba, saya pun berusaha tenang dan memahami situasi, tidak terbawa suasana sakit ini.
"Mas, besok kembali saja ke Waikabubak", kata Om Dominggus, teman saya asli Sumba, yang kebetulan tinggal di desa Manurara, tak jauh dari tempat kami menginap ini.
"Iya, saya juga berpikir lebih baik begitu", sambil mencoba memaksa nasi dan air masuk ke dalam tenggorakan saya yang pahit.
"Begini saja", terang Om Doms. "Malam ini saya akan ke Tangairi untuk menyiapkan kuda. Besok Mas akan dijemput oleh adik-adik saya ke sini, terus diantar sampai Tangairi dan naik kuda sampai ke Lahona".
"Berapa jauh sampai Tangairi", tanya saya.
"Yaa mungkin setengah jam dari sini. Kuda tidak bisa sampai ke sini karena banyak menyeberangi sungai. Dari Tangairi nanti ada orang yang akan mengantar sampai Lahona. Kita antar sampai SD di Lahona. Sudah ada sinyal di sana".