Baca juga: Ketinting, Kapal Layar, dan Kehidupan Desa Pesisir
---
Lapangan terbang Saumlaki, yang terletak di Desa Olilit saat itu bukanlah lapangan terbang yang berstandar baik, setidaknya menurut saya. Entah bagaimana, runway pesawat bergelombang. Jadi ketika pesawat mendarat, selalu saja terasa dua kali hentakan pendaratan.
Setelah turun, saat itu, saya lihat memang runway pesawat banyak retak dan terbongkar aspalnya. Bahkan sepanjang landasan terbang itu, banyak kotoran sapi bertebaran. Tidak hanya kotorannya ternyata, sapinya pun terlihat di kanan kiri runway tersebut.
Gedung ruang kedatangan memang sudah ada, tapi belum ada coveyor bagasi saat itu. Jadi kami menunggu bagasi di pintu masuk ruang kedatangan. Ternyata bagasi tidak dibawa oleh mobil khusus, tapi oleh kendaraan khusus, yaitu gerobak kayu yang ditarik oleh seorang buruh. Gerobak sampai, kami pun berebutan.
Saumlaki merupakan ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat, berada di Pulau Yamdena, kabupaten paling selatan di Provinsi Maluku.Â
Saat itu tidak banyak hiburan yang bisa disaksikan di kota kecil ini. Maka ketika ada tamu atau teman berkunjung, kami selalu bersemangat menjemput atau mengantar ke lapangan terbang ini, sekadar melihat kesibukan manusia di sana.
Pernah suatu ketika, teman saya akan kembali ke Ambon. Kami memanggilnya Bang Budi. Kebetulan dia berbadan cukup besar. Kami menemani check-in. Petugas check-in saya lihat juga lelaki berbadan cukup gemuk.
Setelah bagasi ditimbang dan diserahkan, tiba-tiba petugas bagasi berbicara dengan nada agak ketus.
"Bapak naik juga ke timbangan," kata sang petugas.
"Saya juga ditimbang?" Tanya Bang Budi.